GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN BANGSA (1)
GENERASI MUDA BUDDHIS DAN KERUKUNAN BANGSA (1)
Saya dengan Maha Pandita Utama (MPU) Suhadi Senjaya memiliki hubungan yang dekat di saat saya masih menekuni dunia birokrasi terutama di saat menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Agama dan dipercaya oleh Pak Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, untuk menjadi Plt. Dirjen Bimbingan Masyarakat Buddha, selama setahun lebih. Dari sini, maka kedekatan hubungan secara personal itu terbentuk, misalnya dengan Pak Arif Harsono, pendiri Permabudhi, Pak David Hermansyah, pegiat Tridharma, Pak Suhadi, Ketua Parisadha Buddha, Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Bu Hartati, Pimpinan Walubi, dan juga yang lain-lain.
Dalam waktu setahun lebih menjadi Plt. Dirjen Bimas Buddha tersebut, maka saya bisa melakukan relasi personal maupun organisasional dengan sahabat-sahabat saya, baik dalam momentum kegiatan maupun lainnya. Misalnya saya terlibat dalam perumusan Permabudhi, pemikiran pengembangan pendidikan Agama Buddha, pengembangan organisasi-organisasi di dalam agama Buddha dan menghadiri upacara-upacara keagamaan di dalam agama Buddha, misalnya menghadiri acara “Meruwat Rupang Buddha” di Vihara Pak Aguan, dan juga menghadiri acara Pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Buddha internasional, Seminar maupun acara lainnya. Waktu setahun lebih menjadi Plt. Dirjen Bimas Buddha menjadi momentum yang sangat monumental.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Plt. Dirjen Bimas Buddha, saya juga masih sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Sahabat-sahabat saya dari Agama Buddha ini. Rupanya persahabatan yang tulus itu ditandai bukan karena jabatan atau kepentingan sesaat, akan tetapi difasilitasi oleh bertemunya rasa kemanusiaan yang tulus dan ikhlas. Dan saya merasakan ketulusan tersebut di dalam relasi personal yang kami lakukan bersama.
Termasuk di saat saya diundang di dalam acara “Penutupan Temu Generasi Muda (TGM) Parisadha Niciren Sosyu Indonesia (NSI),” yang malam itu ditutup di Hotel Samator Surabaya, milik Pak Arif Harsono. Acara yang diikuti oleh kurang lebih 170 pemuda ini dilakukan dalam waktu yang panjang, 2-8 Juli 2019, dan merupakan putaran yang ke 32. Acara ini diikuti oleh pemuda se Indonesia dan semuanya harus berkumpul di Jakarta lalu baru ke lokasi-lokasi yang diperlukan.
Mereka harus datang ke Jakarta dulu, sebab perlu pembekalan spiritual. Perjalanan ini tidak hanya perjalanan wisata duniawi, akan tetapi merupakan perjalanan untuk menghadirkan nuansa spiritual yang memang diperlukan di era sekarang. Itulah sebabnya di dalam acara ini mereka dihadirkan di Pesantren, misalnya Pesantren Raudlatut Thalibin, asuhan Kyai Mustafa Bisri, di Pesantren An Nuqayah di Sumenep, di Vihara Trowulan, Mojokerto, dan juga Vihara di Surabaya. Selain itu mereka juga memperoleh asupan pengetahuan mengenai kebangsaan, oleh Prof. Dr. Mahfud MD, Radar Pancadahana, Pak Suhadi Senjaya dan beberapa tokoh kebangsaan lainnya.
Acara penutupan ini tentu sangat meriah. Nyaris tidak dijumpai bahwa mereka telah berjalan panjang dari Jakarta ke Jawa Timur. Mereka merasakan bahwa perjalanan ini begitu penting, tidak hanya untuk kepentingan masa depan Agama Buddha, akan tetapi juga untuk masa depan bangsa dan negara. Saya kira pilihan yang sangat cerdas dari Pak Suhadi untuk memilih acara terakhir di Hotel Bintang 5, Hotel Samator. Selain lokasi yang strategis juga sangat layak untuk dijadikan sebagai tempat untuk bernostalgia dan bertemu anak- anak muda mileneal.
Bagi saya acara penutupan ini padat tetapi berkesan. Misalnya dibuka dengan tarian-tarian kreasi baru, dan dilanjutkan dengan drama satu babak, yang mengisahkan tentang perjalanan karir music Chrisye, yang ternyata adalah anak Tionghoa yang berkarir di dunia music pop Indonesia. Para pemainnya memiliki talenta yang baik, misalnya yang memerankan Chrisye, saya mengagumi aktivitas perannya sebagai Chrisye. Lalu juga mengisahkan perjalanan karir seni Bunyamin Sueb, tokoh legendaris Betawi yang sukses dalam dunia music local dan juga pemain film. Tidak kurang 70 album music yang dihasilkannya dan lima puluhan film yang juga diperaninya. Pelakon Bunyamin Sueb juga sangat berbakat dan memiliki talenta yang baik untuk seni peran. Mereka dipilih oleh kawan-kawan mereka sendiri untuk tampil dalam acara ini, selain tentu masukan dari Pak Radar Pancadahana.
Saya mencermati terhadap sambutan-sambutan dari Pak Suhadi, selaku pimpinan NSI dan juga penggerak acara TGM ini. Beliau menyatakan bahwa acara ini memiliki keunikan tersendiri, sebab seluruh peserta TGM ini biaya sendiri. Mereka mengumpulkan uangnya sendiri sampai bisa berangkat mengikuti acara TGM. Tidak hanya yang beragama Buddha akan tetapi juga ada dua mahasiswa UIN Ar Raniri Aceh yang bersama-sama dalam perjalanan panjang. Mereka bisa menyatu dengan sangat baik, tidak hanya sesama peserta tetapi juga dengan para santri pondok pesantren yang didatanginya. Bahkan acara selalu tambah waktunya karena keakraban yang bisa dijalin. Misalnya di Rembang yang seharusnya acara selesai jam 15.00 WIB ternyata selesai yang 16.30 WIB. Para kyai sangat welcome atas kedatangan peserta TGM, misalnya bahkan di Pesantren An Nuqayah, seluruh peserta diberi makan gratis.
Agama masih diperlukan di era Revolusi Industri 4.0. Ada banyak hal yang bisa ditanyakan kepada Google, misalnya akan tetapi ada juga yang mesin pencari tersebut tidak mampu menjawabnya. Kita berangkat di kawal oleh Patwal untuk mengejar waktu agar bisa datang di Rembang tepat waktu, akan tetapi ternyata hal itu tidak sesuai dengan rencana. Ada factor di luar kemampuan manusia untuk memprediksinya. Itulah sebabnya mereka ini harus tetap berada di dalam keberagamaannya. Mereka harus memperoleh siraman rohani selain siraman wawasan kebangsaan. Peserta TGM ini datang di Surabaya jam 24.00 WIB. Akan tetapi mereka tidak langsung ke Islamic Center, sebab mereka harus lapor dulu kepada Buddha bahwa mereka sudah datang di Surabaya dalam bentuk ritual kepada Tuhan.
Pak Suhadi menyatakan bahwa kegiatan seperti ini sangat baik untuk membina generasi muda yang ke depan tentu akan menjadi penerus generasi tua yang tentu akan meninggalkannya. Dan kita berharap banyak terhadap para generasi muda yang memahami kebinekaan bangsa ini.
Wallahu a’lam bi al shawab,