• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MODERASI BERAGAMA SEBAGAI KEWAJIBAN INSTITUSI

Kegelisahan saya tentang semakin menguatnya radikalisme yang mengarah ke ekstrimisme itu sudah sangat lama. Sedari dahulu saya selalu menulis tentang kegelisahan ini, sampai akhirnya menghasilkan tulisan yang dibukukan dengan judul “Islam Nusantara Berkemajuan: Tantangan dan Solusi Moderasi Agama”. Lahirnya buku ini tentu tidak terlepas dari ide-ide dan keinginan agar Indonesia tercinta ini terus berada di dalam kedamaian, kerukunan, persatuan dan kesatuan, sehingga keinginan untuk menjadi negara yang dapat memberikan kebahagiaan kepada warganya akan terwujudkan.

Kala saya kembali menjadi dosen di UIN Sunan Ampel—awal September 2018—tercetus gagasan untuk mengembangkan satu program melalui UIN Sunan Ampel dengan aktivitasnya melakukan penyebaran gagasan atau ide tentang tantangan dan upaya moderasi agama di seluruh Jawa Timur, terutama untuk para takmir masjid yang tersebar di setiap kecamatan maupun desa-desa. Kegiatan ini harus merupakan kerja bareng antara UIN, Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Jika dihitung maka gagasan ini sudah ada pada awal bulan September 2018 yang lalu, sehingga secara riil dapat dinyatakan sudah satu tahun tiga bulan ide ini berputar-putar di dalam pemikiran dan rencana aksi di dalam kedirian kita, terutama pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Respon positif memang diberikan oleh pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel, terbukti bahwa dalam kurun waktu setahun lebih tersebut sudah dilakukan upaya untuk mendekati beberapa bupati, antara lain Bupati Magetan dan Bupati Nganjuk. Kedua kabupaten yang menyatakan siap untuk bekerja sama dengan FDK UIN Sunan Ampel, dan secara pribadi juga sudah saling menyataan kesetujuan. Bupati Magetan, Dr. Suprawoto adalah sahabat saya ketika Beliau dan saya sama-sama bekerja di Kementerian. Pak Prawoto di Kemenkoinfo dan saya di Kemenag. Gayung bersambut bahwa Pak Prowoto sangat mendukung program ini.

Waktu berjalan terus tanpa bisa kita hadang, dan tidak terasa sedemikian cepat, ternyata sudah setahun tiga bulan semenjak gagasan ini dilahirkan, dan baru kemarin (Senin, 2/3/2020) secara institusional gerakan moderasi beragama tersebut dirapatkan dengan mengundang personil-personil yang memiliki talent dalam upaya moderasi beragama. Pada hari itu kita laksanakan rapat untuk menindaklanjuti gagasan Gerakan Moderasi Beragama yang sekarang sedang menjadi topik hangat di PTKIN. Sebagaimana diketahui bahwa PTKIN di seluruh Indonesia memiliki program Rumah Moderasi, yang secara institusional menjadi tanggungjawabnya. Tidak terkecuali juga UIN Sunan Ampel Surabaya.

Maka, kehadiran lembaga “Pusat Moderasi Beragama dan Perubahan Sosial” pada FDK ini memiliki momentum yang tepat, dan seharusnya sudah lama bisa direalisasikan. Namun demikian, keterlambatan kelahiran bayi “moderasi beragama” ini tetap saja memiliki makna penting pada saat PTKN harus memiliki Rumah Moderasi. Bagi saya tidak perlu soft launching apalagi grand launching Pusat Kajian Kebinekaan dan Harmoni Sosial” atau disingkat PK2HS ini, sebab yang justru penting adalah apa dan bagaimana aksinya di tengah “darurat” radikalisme yang terjadi sekarang ini. Saya menjadi teringat Pak Jokowi dalam pengukuhan Profesor Asep Saifuddin Halim menyatakannya adanya “Radikalisme Hijau”. Konsep ini digunakan untuk menunjuk pada gerakan radikalisme yang difasilitasi oleh tafsir kekerasan dalam beragama.

Forum yang dihadiri oleh Dekan FDK, Dr. Abdul Halim, Wadek I, Dr. Choirul Arif, Dr. Anshori, Dr. Riesdiyah, Firdaus, Zudan, Emmy dan Faiz telah menyelesaikan matrik akurat tentang program apa saja yang akan dilakukan. Melalui matrik tersebut maka akan dapat dipastikan apa yang menjadi masalahnya dan apa akar masalahnya, apa dan siapa sasarannya, apa alternatif kegiatannya, siapa yang bertanggungjawab, kapan waktunya yang tepat, apa targetnya dan bagaimana penganggarannya. Matrik tersebut harus rinci dan jelas, sehingga memudahkan untuk mengukur tingkat kegagalan atau keberhasilannya. Terus terang saja bahwa para akademisi itu kebanyakan berbicara dalam level konsep, dan tidak berpikir mendalam (detailed), sehingga banyak pikiran konseptual yang bagus tetapi kedodoran di dalam aplikasinya sebab kurangnya berpikir technical-implementatif yang mendalam dan mendasar.

Dari forum ini sekurang-kurang ada tiga pokok pikiran mendasar, ialah: pertama, perlunya untuk sharing realitas empiris tentang gerakan radikalisme yang sudah semakin menguat dan memasuki banyak segmen masyarakat, termasuk berbasis kemasjidan. Itulah sebabnya diperlukan “semacam” workshop dengan para takmir masjid di tingkat kabupaten untuk menghasilkan pemahaman bahwa kita semua sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan, tetapi juga bukan sangat berat adalah semakin menguatnya radikalisme. Kedua, dari workshop ini akan dapat dihasilkan rencana-rencana bersama untuk menanggulangi langkah gerakan radikalisme berbasis masjid dan keumatan. Di antara rencana tersebut misalnya melakukan riset partisipatif, membangun jejaring, memperkuat kerja sama, membangun sinergi dan memperkuat masjid sebagai basis pemberdayaan umat. Ketiga, perlunya melakukan pendampingan terhadap masyarakat sasaran agar mereka bisa menjadi detektor dini terhadap pergerakan radikalisme, baik yang soft radicalism maupun hard radicalism.

Namun demikian, untuk tindak lanjut maka diperlukan kajian teks tentang pola gerakan radikalisme berbasis pada hasil-hasil penelitian yang sudah ada sampai sekarang yang dapat dijadikan sebagai penyamaan wawasan tentang upaya moderasi beragama. Memang kita harus cepat melakukan aksi, sebab kita berhadapan dengan waktu dan upaya militan yang dilakukan oleh mereka yang dilabel sebagai kaum radical dimaksud. Dan bagi saya, institusi pemerintah –khususnya pendidikan tinggi—harus berkontribusi positif untuk gerakan moderasi beragama tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

KAMPUS MERDEKA DAN PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI (3)

Sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya bahwa harus dibedakan kampus yang menghasilkan sarjana dengan gelar sarjana strata I, master akademis dan doktor akademis dan kampus yang menghasilkan tenaga profesional, sarjana terapan, master terapan dan doktor terapan. Perbedaan tersebut sangat wajar mengingat tujuan dan target akhir atau out put di antara keduanya memang sangat berbeda.

Akhir-akhir ini konsep “kampus merdeka” sedemikian menggema di Indonesia, terutama di Perguruan tinggi. Hampir seluruh PT menggemakan konsep ini, seakan bahwa konsep ini adalah resep terbaik untuk mengurai benang kusut pendidikan tinggi yang bertahun-tahun bermasalah. Saya menjadi teringat dengan ungkapan Prof. Dr. Muhammad NUH, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Pak SBY, bahwa jika kita ingin memasuki masalah, maka masuklah ke pendidikan, sebab di sini ada 1001 masalah.

Masalah-masalah di dalam dunia pendidikan memang nyaris tidak bisa diselesaikan. Hal itu tentu salah satunya juga dipicu oleh setiap menteri menginginkan ada program monumental atau legacy yang kemudian menjadi ciri khasnya. Jika kita runut misalnya tentang kurikulum, betapa setiap ganti menteri maka juga ganti kurikulum. Dan terkadang bukanlah upaya untuk merevisi apa yang sudah dilakukan oleh menteri pendahulunya akan tetapi sesuatu yang baru yang diinginkan menjadi legacy-nya. Misalnya: KTSP, lalu Kurtilas, lalu perubahan baru lagi. Lagi dan lagi. Di era sekarang juga terdapat keinginan untuk mengubah kerikulum lama dengan yang baru, yang dimulai dengan konsep merdeka belajar untuk pendidikan dasar dan menengah, lalu di PT dikenal dengan konsep Kampus Merdeka.

Demikian pula tentang ujian nasional, yang di masa lalu dijadikan sebagai tolok ukur standart kualitas pendidikan nasional, dan hal itu juga berlaku di beberapa negara lain, seperti Singapura dan Malaysia, lalu diubah di Era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhajir Effendi, dan kemudian sekarang akan diubah dengan meniadakan Ujian Nasional dan menggantinya dengan assesment, yang juga belum jelas juntrungannya. Saya juga berkeyakinan proyek ini juga akan berubah nanti pasca pemerintahan Pak Jokowi-Ma’ruf Amin. Semua dengan gampang bisa diubah tanpa pengkajian yang mendasar dan uji publik yang memadai untuk menyusun kebijakan. Saya melihat bahwa kebijakan lebih didasarkan pada “keinginan” menteri dan staf harus bekerja untuk gagasan tersebut.

Kembali ke Kampus Merdeka, memang harus ada perubahan di era disruftif dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan era yang tidak menentu yang dipicu oleh perkembangan revolusi industri 4.0. Saya kembali ingin menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman negara lain yang sudah melakukan perubahan konsepsi pendidikan tingginya, maka sebenarnya ada empat hal yang mendasar, yaitu melakukan perubahan kurikulum, mengembangkan jejaring nasional maupun internasional, penguatan penguasaan TI dan memperkuat lulusannya. Afrika Selatan, Korea, Australia, Singapura, dan negara-negara lainnya sudah melakukannya, maka yang sungguh diperlukan adalah bagaimana mengaransemen perubahan sesuai dengan pengalaman tersebut.

Apapun namanya, apakah Kampus merdeka, atau yang lain itu hanya asesori, tetapi yang lebih prinsipil adalah bagaimana mengubah mind set pengelola pendidikan tinggi untuk sadar dan merespon hal ini secara mendalam. Yang penting adalah ubah kurikulum agar relevan dengan tuntutan perubahan. Apapun prodinya, maka yang mendasar adalah bagaimana agar kurikulum itu selaras dengan tuntutan dunia global sekarang ini.

Tujuan perubahan kurikulum adalah untuk mengubah proses pembelajran dan pendidikan, lalu menghasilkan out put lulusan yang relevan dengan tuntutan perubahan. Bagaimana dengan institusi pendidikan yang basis pendidikan adalah ilmu agama, seperti STAIN, IAIN dan UIN. Maka semua juga harus berubah. Yang perlu dilakukan adalah:

Pertama, ubah kurikulum dengan mengurangi perspektif mata kuliah teoretik dan perkuat basis pengalaman lapangan. Dari 144 sks bisa kiranya dicek lagi berapa yang pas untuk teori dan berapa untuk pengalaman lapangan. Mungkin kita tidak perlu seekstrim Malaysia yang 50:50, tetapi kiranya bisa 60:40 untuk perubahan kurikulum. Petakan secara jelas tentang manakah mata kuliah yang mengandung conten pengalaman lapangan maka harus diberikannya untuk hal tersebut. Sedangkan mereka juga harus memperoleh pengalaman lapangan secara mandiri untuk memasuki dunia kerja, sekurang-kurangnya satu semester yang setara dengan 15 sks, sekurang-kurangnya. Pengalaman lapangan ini sekaligus menjadi bagian dari tugas akhir (skripsi) mahasiswa.

Kedua, untuk kepentingan tersebut, maka pimpinan PT harus melakukan kerja sama dengan institusi lain sebagai tempat untuk “magang” atau kerja “lapangan” para mahasiswa. Misalnya mahasiswa jurusan ilmu al Qur’an dan tafsir, maka dapat dikerjasamakan dengan lembaga-lembaga pendidikan tahfidz al Qur’an, lembaga-lembaga pendidikan al Qur’an atau lembaga-lembaga kajian yang berbasis al Qur’an dan sebagainya.

Ketiga, selain itu seluruh mahasiswa harus diajari untuk melek teknologi informasi, dengan membekali mereka dengan matakuliah khusus di bidang teknolgi informasi. Apapun jurusannya, maka mereka harus mendapatkan mata kuliah ini. jika perlu diberi bobot sks yang besar agar mereka siap bertarung di era global.

Proses pembelajaran juga harus diubah dari base on human-knowlegde process menjadi human-technological information process. Pembelajran yang tetap melihat keunikan manusia tetapi menggunakan instrumen TI. Pembelajran harus berubah dari human-knowlegde ke human-capacity. Jika diperlukan harus ada uji talenta bagi mahasiswa agar mereka dapt memilih yang relevan dengan keinginannya.

Keempat, saya membayangkan bahwa PT itu ke depan akan seperti pasar raya atau mall yang di dalamnya menyediakan banyak layanan dan para mahasiswa yang datang akan dapat memilih mana yang dianggap cocok dan diperlukan. Bisakah seperti ini? Maka menurut saya inilah tantangan pembelajaran dan pendidikan di masa depan seirama dengan era disruptif yang mengharuskan semua berubah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KAMPUS MERDEKA DAN PENGEMBANGAN KAMPUS (2)

Inti gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nabiel Anwar Makarim terkait dengan Kampus Merdeka, sebenarnya mencakup empat hal, yaitu penyederhanaan pendirian program studi baru, penyederhanaan Akreditasi bagi PT, memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengambil kuliah di luar kampusnya, dan penguatan kerja sama dengan dunia bisnis, pemerintahan dan masyarakat.

Sebagaimana yang saya tulis kemarin, bahwa gagasan ini bukanlah hal yang baru, hanya meracik ulang terhadap realitas empiris dan regulasi yang terkait dengan penyelenggaran atau tata kelola institusi pendidikan tinggi. Bagi Mas Nadiem, bahwa tata kelola institusi pada lembaga pendidikan tinggi dirasakan masih sangat birokratis, sehingga akan mengikat sedemikian kuat perguruan tinggi tersebut untuk berkembang lebih cepat untuk mengikuti perubahan yang terus terjadi.

Memang harus diakui bahwa regulasi yang mengatur tata kelola kelembagaan PT itu sangat birokratis, misalnya dalam pengelolaan keuangan, tentu harus mengikuti seluruh regulasi yang terkait dengan keuangan, yang terkait dengan pengembangan dosen atau tenaga kependidikan juga harus dikaitkan dengan seluruh regulasi yang berkelindan dengan aturan ASN, dan terkait dengan pengembangan kelembagaan, seperti prodi, pusat pengembangan, dan pengembangan kemahasiswaan juga harus berkorelasi dengan regulasi Kementerian terkait. Belum lagi masing-masing regulasi tersebut berkait kelindan antara satu dengan lainnya, dengan pengawasan sesuai dengan tafsirnya masing-masing.

Dalam konteks pendirian prodi, maka bagi PT dengan akreditasi A atau B bisa mendirikan prodi sendiri dengan catatan harus memiliki kerjasama dengan institusi dalam dan luar negeri dalam Top Ranking 100 atau Quality Standart (QS) 100. Dalam bidang kerja sama, maka kerja sama ini mencakup kurikulum, praktik kerja dan penyerapan lulusan. Kementerian akan melakukan kerja sama dengan PT, dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan. PT juga wajib melakukan tracer study setiap tahun. PT wajib melakukan penelusuran terhadap para alumninya untuk mengetahui bagaimana serapan tenaga kerja alumni dan apa dan bagaimana alumni tersebut bekerja.

Kemudian, akreditasi akan tetap dilakukan oleh BAN-PT dengan catatan akreditasi akan berlaku selama 5 tahun bagi yang berperingkat A dan B, dan untuk peningkatan kualitas akreditasi, misalnya B ke A, maka PT bisa melakukan akreditasi ulang. Akreditasi A akan diberikan jika sebuah PT mendapatkan akreditasi dari lembaga terpercaya dalam bidang akreditasi di luar negeri. Sedangkan reakreditasi dilakukan secara otomatis. Hanya saja BAN-PT akan melakukan evaluasi jika misalnya terdapat penurunan kualitas.

PT juga harus memberi hak kepada mahasiswa untuk melakukan perkuliahan di luar lembaganya sendiri. Bisa saja mahasiswa memilih apakah akan berkuliah di PT lain atau tidak. Perkuliahan ke PT lain maksimal sebanyak 40 sks dan bisa juga ditambah mengambil kuliah pada prodi yang berbeda dalam satu institusi PT yang sama, maksimal 20 sks. Untuk mengimplementasikan hal ini, maka harus terdapat nota kesepahaman antar perguruan tinggi.

Seingat saya, pada tahun 2010 yang lalu dalam kegiatan Forum Rektor PTN Se Jawa Timur, yang dipimpin oleh ketua Forum Prof. Fasich dari Universitas Airlangga, pernah menggagas mengenai pertukaran mahasiswa. Bahkan konsep ini pernah dibahas dalam beberapa kali pertemuan. Sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel, maka saya tentu menyambut gembira program ini, dan telah mengimplementasikannya dengan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Yang terlibat dengan perkuliahan berbasis sistem ini adalah FE Universitas Airlangga dan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Kala itu Dekan FE Universitas Airlangga adalah Prof. Suroso Imam Zajuli, dan program tersebut sudah dilakukan dalam dua atau tiga semester. Sayangnya program ini tidak berlanjut dan kemudian berhenti seirama dengan pergantian pimpinan.

Inovasi-inovasi sesungguhnya sudah pernah dilakukan meskipun hilang berganti. Hal ini bisa terjadi karena dukungan SDM dan anggaran yang tidak memadai. Termasuk misalnya kerja sama lintas perguruan tinggi untuk menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Berkat kerja sama dan dukungan anggaran dari Kementerian PDT, di kala Pak Lukman Edy menjadi menteri, maka terdapat program KKN integratif, dengan melibatkan IAIN (Kini UIN) Sunan Ampel, Univeritas Brawijaya dan UPN Surabaya. Sistem KKN Integratif ini dirancang dengan sangat matang dan menghasilkan Buku Pedoman KKN Integratif dan metodologinya. Hanya saja, ketika Pak Lukman Edy harus berhenti dan diganti dengan Menteri lainnya, maka program ini juga mengalami fase berhenti. Program yang digagas dengan sangat memadai dalam lintas keilmuan dan program studi ini akhirnya juga menemui masanya, berhenti dalam waktu yang panjang, untuk tidak menyatakan
“mati”.

Bagi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat akademis, gagasan yang bisa dipastikan berjalan adalah di kala gagasan itu disampaikan atau dilontarkan dengan kebijakan oleh Menteri atau Presiden. Oleh karena itu, gagasan Kampus Merdeka yang dijadikan sebagai quick win Mendikbud Nadiem Makarim tersebut kiranya juga akan berhasil jika mendapat dukungan dari seluruh komponen dunia akademik.

Hanya saja yang perlu dipikirkan adalah membedakan antara kampus yang menghasilkan sarjana dan kampus yang melahirkan profesi. Jika kampus yang melahirkan sarjana tentu saja lebih banyak tuntutannya pada dimensi akademis, atau menemukan konsep, teori, model atau pengembangan “apa”, sedangkan untuk kampus dengan konsep vokasi tentu akan menghasilkan lulusan yang secara teknik bisa “apa”. Dua pola ini tentu berbeda di dalam proses pendidikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

KAMPUS MERDEKA DAN GAGASAN PENGEMBANGAN KAMPUS (1)

Sebenarnya gagasan Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, bukanlah sesuatu yang baru. Hanya casing saja yang  dilabel sebagai barang baru, akan tetapi substansinya tentu sudah didapatkan di masa lalu. Saya kira, sudah banyak perguruan tinggi, terutama program studi Sains dan Teknologi, yang menerapkannya. Meskipun dengan cara dan kadar yang berbeda-beda. UI, UGM, UB, UA, ITS dan ITB dan beberapa PT lainnya.

Kampus-kampus tersebut memang mengharuskan mahasiswanya untuk “magang” baik di institusi pemerintahan maupun swasta yang bergerak sesuai dengan bidang atau prodi mahasiswa yang bersangkutan. Mahasiswa Prodi Teknik Perkapalan di ITS harus sudah magang di semester VI sesuai dengan peminatannya. Pemagangan dilakukan selama satu semester. Dari pemagangan tersebut mahasiswa bisa menyusun tugas akhir sesuai dengan minat dan kecenderungannya. Mahasiswa prodi Tehnik Perkapalan, maka akan magang misalnya di Pelindo, atau perusahaan perkapalan lain yang relevan dengan program studinya.

Bagi prodi ilmu sosial, memang terdapat varian di dalam program pemagangan. Di Universitas Brawijaya, misalnya menerapkan konsep tidak ada beasiswa yang gratis, sebab semua beasiswa diekivalenkan dengan program “magang”. Misalnya, mahasiswa Prodi Sains dan Teknologi, maka harus membimbing adik-adik kelasnya, atau mahasiswa Prodi Administrasi Negara harus magang di institusi pemerintahan, mahasiswa Prodi Ilmu Politik bisa magang di institusi politik dan sebagainya. Selain itu juga menerapkan magang dalam arti yang sesungguhnya ialah bekerja paruh waktu pada institusi atau masyarakat yang relevan dengan program studinya.

PTKIN sebenarnya juga sudah memiliki konsep sertifikat tambahan, atau lampiran ijazah, yang dikonsepsikan sebagai Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI). Dalam pengalaman saya di UIN Sunan Ampel, maka setiap mahasiswa harus memiliki sertifikat komputer, sertifikat bahasa, sertifikat manajemen atau pelatihan lain yang bisa menjadi modal dasar bagi yang bersangkutan dalam menghadapi kehidupan. Sekarang pengalaman tersebut telah dilembagakan oleh seluruh PTKIN dalam bentuk memberikan pengakuan atas sertifikat-sertifikat dimaksud dan menjadikannya sebagai persyaratan untuk kelulusan. Jadi mahasiswa bisa mendapatkan ijazah jika telah memenuhi persyaratan SKPI.

Tentu saja hal ini berbeda dengan magang sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Mas Nadiem Makarim. Baginya, bahwa magang merupakan bentuk kerja lapangan paruh waktu di perusahaan atau institusi lainnya yang relevan dengan program studinya. Jika di beberapa PTN waktunya satu semester, maka Mas Nadiem menginginkan waktu yang lebih lama, bisa dua semester. Jadi, yang diinginkannya adalah memberi kesempatan mahasiswa untuk memiliki pengalaman bekerja yang lebih lama, sehingga mahasiswa tersebut dapat melakukan kerja praksis kelak ketika sudah keluar dari PT.

Namun demikian, sebagaimana yang saya sampaikan di UIN Raden Fatah Palembang, bahwa program Kampus Merdeka jangan menjadikan alumni PT hanya menjadi tukang, misalnya tukang pendidikan, tukang sains dan tehnik, tukang agama, tukang pembangunan, tukang komunikasi dan sebagainya, akan tetapi harus menjadikan mahasiswa sebagai ahli pendidikan yang berpikir, ahli sain dan tehnik yang berpikir, ahli agama yang berpikir, ahli pembangunan yang berpikir, ahli komunikasi yang berpikir dan sebagainya.” Jadi program Kampus Merdeka justru akan menjadikannya agar bisa berpikir independent, berpikir bebas tetapi konstruktif untuk diri dan masyarakatnya. Konsepsi seperti ini pernah disampaikan oleh Jack Ma –pendiri Alibaba Group—yang menyatakan bahwa pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan potensi berbasis kekhasan manusia. Dan salah satu yang disarankannya adalah berpikir kritis atau berpikir independent.

Jadi, gagasan Kampus Merdeka, sesungguhnya bukanlah merupakan gagasan yang sama sekali baru, akan tetapi merupakan akumulasi dari berbagai gagasan yang kemudian dilabel dengan nama tersebut. Bukankah kampus-kampus pada PTU sudah banyak yang menyelenggarakan magang untuk mahasiswanya. Bukankah PTKIN juga sudah menyelenggarakan program sertifikasi atau Surat Keterangan Pendamping Ijazah, dan bukankah Jack Ma sudah melansir pendapatnya tersebut pada tahun 2017 yang lalu.

Demikian pula Kerangka Kompetensi Nasional Indonesia (KKNI) sebagai pengejawantahan dari UU No 12 Tahun 2012 juga sudah mengamanatkan tentang program magang sebagai salah satu bentuk untuk memenuhi kualitas KKNI. Oleh karena itu yang penting bukan casing baru –sebutan Kampus Merdeka—akan tetapi bagaimana memperkuat dan memperjelas mengenai KKNI dengan program magang itu dalam satu kebijakan yang lebih feasible dan aplicable.

Saya kira tugas para pimpinan PTN dan juga seluruh civitas akademikanya adalah mendukung terhadap perubahan mindset dalam rangka menghadapi Era Industri 4.0 dan juga era disrupsi, yang memang menantang kita semua untuk melakukan perubahan. Dan ini bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENCERMATI KEBERAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA

Data yang dirilis oleh Alvara Research Center tentang Indonesia Moslem Report 2019 tentu sangat menarik. Bukan hanya karena yang menyelenggarakan riset atau survey adalah Alvara Research Center yang akhir-akhir ini terkenal dalam melakukan survey, baik agama maupun politik, akan tetapi tentu juga terkait dengan content riset yang menarik untuk dicermati.

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Indonesia semenjak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang religius, artinya bahwa kita semua telah mengidentifikasi diri bahwa kita adalah orang yang religius. Bagi bangsa Indonesia, agama adalah pedoman di dalam melakukan tindakan, makanya, tidak berlebihan jika Alvara menyatakan bahwa terdapat sebanyak 80,2 persen menyatakan bahwa agama sangat penting. Dan dari survey ini juga diketahui bahwa seirama dengan pertambahan usia, maka semakin besar peluang untuk beragama.

Berdasarkan riset ini juga disampaikan bahwa umat Islam menunaikan shlat dengan baik. Yang melakukan shalat sebanyak 99,6 persen, sementara itu yang tidak shalat sebanyak 0,4 persen. Selain itu juga dinyatakan bahwa yang melalukan shalat secara rutin ialah 4 dari 10 orang Indonesia. sedangkan sisanya melakukan shalat juga tetapi belum rutin 5 kali sehari. Hal lain yang ditemukan bahwa generasi milenial yang lebih tua cenderung mengamalkan shalat 5 waktu secara aktif dibandingkan dengan generasi milenial yang lebih muda, generasi Z atau younger millenials.

Lebih jauh, data ini juga menggambarkan tentang kecenderungan melaksanakan shalat berjamaah, kadang-kadang berjamaah atau yang melakukan shalat sendiri dan bahkan tidak melaksanakan shalat sama sekali. Generasi X yang lebih tua (40,6%) menyatakan sering melalukan shalat, dibandingkan dengan generasi X yang lebih muda dengan persentase sebesar 35%, 34% dan 33,9%, yang sering melakukan shalat 5 waktu. Dan yang menyatakan selalu shalat 5 waktu dan kadang-kadang berjamaah dari generasi X muda sebesar (32,6%), generasi milenial muda (30,5%), generasi milenial tua (30,8%).

Data yang dilaporkan oleh Alvara ini tentu menarik dilihat dari semakin berkembangnya keberagamaan masyarakat Indonesia terutama dalam melaksanakan shalat wajib. Namun demikian tentu ada pertanyaan yang tetap menggelitik untuk dikemukakan? Apakah hasil riset ini merupakan fenomena perkotaan dan anak muda perkotaan, ataukah mencakup juga generasi milenial yang lebih senior di pedesaan atau di daerah pinggiran perkotaan, atau lebih jauh apakah ini fenomena anak muda yang melek teknologi ataukah juga mencakup mereka yang selama ini belum terjangkau oleh teknologi informasi khususnya media sosial atau smartphone.

Jika data ini dibandingkan dengan data tentang perilaku para milenial dalam menghadapi era medsos, maka juga diketahui bahwa para milenial merupakan generasi gadget yang luar biasa. Misalnya hasil survey yang menyatakan bahwa 1 (satu) menit setelah terbangun dari tidurnya, maka yang dicari pertama kali adalah smartphone. Artinya, bahwa HP menjadi ingatan pertama bagi generasi milenial dalam kehidupan sosialnya. Selain itu juga data yang menyatakan bahwa para milenial tersebut ternyata menyukai belanja, traveling, kuliner, yang bisa saja dalam sebulan menghabiskan uang yang cukup besar. Survey menyatakan sekitar 11-13 juta rupiah. Selain itu juga para milenial menyukai kehidupan yang bebas, baik dalam memilih persahabatan bahkan dalam bekerja. Semua ini tentu memberikan gambaran tentang bagaimana para milenial tersebut berperilaku dan bereksistensi diri di tengah pergaulan sosial terutama melalui media sosial.

Harus diakui bahwa memang sedang terjadi peningkatan pemahaman dan pengamalan beragama pada masyarakat Indonesia. jika kita baca di media sosial betapa banyaknya konten media sosial yang berseliweran dengan pembahasan mengenai hal ihwal keagamaan. Semua ini memberikan gambaran bahwa media sosial sebenarnya tidak hanya menjadi wadah interaksi di antara sesama netizen, tetapi juga bisa menjadi wadah untuk berdakwah.

Data yang diungkap oleh alvara 2019 tersebut juga memberi makna bahwa kehidupan keagamaan kita semakin menuju kepada pemahaman agama yang lebih mendalam, misalnya bahwa semakin banyak orang Indonesia yang ingin melakukan shalat jamaah, semakin banyak yang ingin mengaktualkan kehidupan keberagamaannya secara lebih mendasar dan juga kenyataan bahwa semakin banyak perempuan dan lelaki yang berlalu lalang dengan pakaian Islami dan sebagainya.

Kita tentu merasa gembira dengan hasil survey ini, hanya saja yang diharapkan adalah jangan sampai peningkatan pemahaman dan pengamalan beragama ini lalu mereduksi tentang makna bernegara dan berbangsa, misalnya dengan keinginan untuk menjadi Islam kaffah tetapi harus berbarengan dengan keinginan untuk mendirikan negara Islam atau mengganti Pancasila dengan dasar negara yang lain.

Wallahu a’lam bi al shawab.