• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KAMPUS MERDEKA DAN PENGEMBANGAN KAMPUS (2)

Inti gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nabiel Anwar Makarim terkait dengan Kampus Merdeka, sebenarnya mencakup empat hal, yaitu penyederhanaan pendirian program studi baru, penyederhanaan Akreditasi bagi PT, memberikan peluang kepada mahasiswa untuk mengambil kuliah di luar kampusnya, dan penguatan kerja sama dengan dunia bisnis, pemerintahan dan masyarakat.

Sebagaimana yang saya tulis kemarin, bahwa gagasan ini bukanlah hal yang baru, hanya meracik ulang terhadap realitas empiris dan regulasi yang terkait dengan penyelenggaran atau tata kelola institusi pendidikan tinggi. Bagi Mas Nadiem, bahwa tata kelola institusi pada lembaga pendidikan tinggi dirasakan masih sangat birokratis, sehingga akan mengikat sedemikian kuat perguruan tinggi tersebut untuk berkembang lebih cepat untuk mengikuti perubahan yang terus terjadi.

Memang harus diakui bahwa regulasi yang mengatur tata kelola kelembagaan PT itu sangat birokratis, misalnya dalam pengelolaan keuangan, tentu harus mengikuti seluruh regulasi yang terkait dengan keuangan, yang terkait dengan pengembangan dosen atau tenaga kependidikan juga harus dikaitkan dengan seluruh regulasi yang berkelindan dengan aturan ASN, dan terkait dengan pengembangan kelembagaan, seperti prodi, pusat pengembangan, dan pengembangan kemahasiswaan juga harus berkorelasi dengan regulasi Kementerian terkait. Belum lagi masing-masing regulasi tersebut berkait kelindan antara satu dengan lainnya, dengan pengawasan sesuai dengan tafsirnya masing-masing.

Dalam konteks pendirian prodi, maka bagi PT dengan akreditasi A atau B bisa mendirikan prodi sendiri dengan catatan harus memiliki kerjasama dengan institusi dalam dan luar negeri dalam Top Ranking 100 atau Quality Standart (QS) 100. Dalam bidang kerja sama, maka kerja sama ini mencakup kurikulum, praktik kerja dan penyerapan lulusan. Kementerian akan melakukan kerja sama dengan PT, dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan. PT juga wajib melakukan tracer study setiap tahun. PT wajib melakukan penelusuran terhadap para alumninya untuk mengetahui bagaimana serapan tenaga kerja alumni dan apa dan bagaimana alumni tersebut bekerja.

Kemudian, akreditasi akan tetap dilakukan oleh BAN-PT dengan catatan akreditasi akan berlaku selama 5 tahun bagi yang berperingkat A dan B, dan untuk peningkatan kualitas akreditasi, misalnya B ke A, maka PT bisa melakukan akreditasi ulang. Akreditasi A akan diberikan jika sebuah PT mendapatkan akreditasi dari lembaga terpercaya dalam bidang akreditasi di luar negeri. Sedangkan reakreditasi dilakukan secara otomatis. Hanya saja BAN-PT akan melakukan evaluasi jika misalnya terdapat penurunan kualitas.

PT juga harus memberi hak kepada mahasiswa untuk melakukan perkuliahan di luar lembaganya sendiri. Bisa saja mahasiswa memilih apakah akan berkuliah di PT lain atau tidak. Perkuliahan ke PT lain maksimal sebanyak 40 sks dan bisa juga ditambah mengambil kuliah pada prodi yang berbeda dalam satu institusi PT yang sama, maksimal 20 sks. Untuk mengimplementasikan hal ini, maka harus terdapat nota kesepahaman antar perguruan tinggi.

Seingat saya, pada tahun 2010 yang lalu dalam kegiatan Forum Rektor PTN Se Jawa Timur, yang dipimpin oleh ketua Forum Prof. Fasich dari Universitas Airlangga, pernah menggagas mengenai pertukaran mahasiswa. Bahkan konsep ini pernah dibahas dalam beberapa kali pertemuan. Sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel, maka saya tentu menyambut gembira program ini, dan telah mengimplementasikannya dengan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga. Yang terlibat dengan perkuliahan berbasis sistem ini adalah FE Universitas Airlangga dan Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel. Kala itu Dekan FE Universitas Airlangga adalah Prof. Suroso Imam Zajuli, dan program tersebut sudah dilakukan dalam dua atau tiga semester. Sayangnya program ini tidak berlanjut dan kemudian berhenti seirama dengan pergantian pimpinan.

Inovasi-inovasi sesungguhnya sudah pernah dilakukan meskipun hilang berganti. Hal ini bisa terjadi karena dukungan SDM dan anggaran yang tidak memadai. Termasuk misalnya kerja sama lintas perguruan tinggi untuk menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Berkat kerja sama dan dukungan anggaran dari Kementerian PDT, di kala Pak Lukman Edy menjadi menteri, maka terdapat program KKN integratif, dengan melibatkan IAIN (Kini UIN) Sunan Ampel, Univeritas Brawijaya dan UPN Surabaya. Sistem KKN Integratif ini dirancang dengan sangat matang dan menghasilkan Buku Pedoman KKN Integratif dan metodologinya. Hanya saja, ketika Pak Lukman Edy harus berhenti dan diganti dengan Menteri lainnya, maka program ini juga mengalami fase berhenti. Program yang digagas dengan sangat memadai dalam lintas keilmuan dan program studi ini akhirnya juga menemui masanya, berhenti dalam waktu yang panjang, untuk tidak menyatakan
“mati”.

Bagi masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat akademis, gagasan yang bisa dipastikan berjalan adalah di kala gagasan itu disampaikan atau dilontarkan dengan kebijakan oleh Menteri atau Presiden. Oleh karena itu, gagasan Kampus Merdeka yang dijadikan sebagai quick win Mendikbud Nadiem Makarim tersebut kiranya juga akan berhasil jika mendapat dukungan dari seluruh komponen dunia akademik.

Hanya saja yang perlu dipikirkan adalah membedakan antara kampus yang menghasilkan sarjana dan kampus yang melahirkan profesi. Jika kampus yang melahirkan sarjana tentu saja lebih banyak tuntutannya pada dimensi akademis, atau menemukan konsep, teori, model atau pengembangan “apa”, sedangkan untuk kampus dengan konsep vokasi tentu akan menghasilkan lulusan yang secara teknik bisa “apa”. Dua pola ini tentu berbeda di dalam proses pendidikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..