Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MODERASI BERAGAMA SEBAGAI KEWAJIBAN INSTITUSI

Kegelisahan saya tentang semakin menguatnya radikalisme yang mengarah ke ekstrimisme itu sudah sangat lama. Sedari dahulu saya selalu menulis tentang kegelisahan ini, sampai akhirnya menghasilkan tulisan yang dibukukan dengan judul “Islam Nusantara Berkemajuan: Tantangan dan Solusi Moderasi Agama”. Lahirnya buku ini tentu tidak terlepas dari ide-ide dan keinginan agar Indonesia tercinta ini terus berada di dalam kedamaian, kerukunan, persatuan dan kesatuan, sehingga keinginan untuk menjadi negara yang dapat memberikan kebahagiaan kepada warganya akan terwujudkan.

Kala saya kembali menjadi dosen di UIN Sunan Ampel—awal September 2018—tercetus gagasan untuk mengembangkan satu program melalui UIN Sunan Ampel dengan aktivitasnya melakukan penyebaran gagasan atau ide tentang tantangan dan upaya moderasi agama di seluruh Jawa Timur, terutama untuk para takmir masjid yang tersebar di setiap kecamatan maupun desa-desa. Kegiatan ini harus merupakan kerja bareng antara UIN, Kabupaten/Kota dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

Jika dihitung maka gagasan ini sudah ada pada awal bulan September 2018 yang lalu, sehingga secara riil dapat dinyatakan sudah satu tahun tiga bulan ide ini berputar-putar di dalam pemikiran dan rencana aksi di dalam kedirian kita, terutama pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Respon positif memang diberikan oleh pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel, terbukti bahwa dalam kurun waktu setahun lebih tersebut sudah dilakukan upaya untuk mendekati beberapa bupati, antara lain Bupati Magetan dan Bupati Nganjuk. Kedua kabupaten yang menyatakan siap untuk bekerja sama dengan FDK UIN Sunan Ampel, dan secara pribadi juga sudah saling menyataan kesetujuan. Bupati Magetan, Dr. Suprawoto adalah sahabat saya ketika Beliau dan saya sama-sama bekerja di Kementerian. Pak Prawoto di Kemenkoinfo dan saya di Kemenag. Gayung bersambut bahwa Pak Prowoto sangat mendukung program ini.

Waktu berjalan terus tanpa bisa kita hadang, dan tidak terasa sedemikian cepat, ternyata sudah setahun tiga bulan semenjak gagasan ini dilahirkan, dan baru kemarin (Senin, 2/3/2020) secara institusional gerakan moderasi beragama tersebut dirapatkan dengan mengundang personil-personil yang memiliki talent dalam upaya moderasi beragama. Pada hari itu kita laksanakan rapat untuk menindaklanjuti gagasan Gerakan Moderasi Beragama yang sekarang sedang menjadi topik hangat di PTKIN. Sebagaimana diketahui bahwa PTKIN di seluruh Indonesia memiliki program Rumah Moderasi, yang secara institusional menjadi tanggungjawabnya. Tidak terkecuali juga UIN Sunan Ampel Surabaya.

Maka, kehadiran lembaga “Pusat Moderasi Beragama dan Perubahan Sosial” pada FDK ini memiliki momentum yang tepat, dan seharusnya sudah lama bisa direalisasikan. Namun demikian, keterlambatan kelahiran bayi “moderasi beragama” ini tetap saja memiliki makna penting pada saat PTKN harus memiliki Rumah Moderasi. Bagi saya tidak perlu soft launching apalagi grand launching Pusat Kajian Kebinekaan dan Harmoni Sosial” atau disingkat PK2HS ini, sebab yang justru penting adalah apa dan bagaimana aksinya di tengah “darurat” radikalisme yang terjadi sekarang ini. Saya menjadi teringat Pak Jokowi dalam pengukuhan Profesor Asep Saifuddin Halim menyatakannya adanya “Radikalisme Hijau”. Konsep ini digunakan untuk menunjuk pada gerakan radikalisme yang difasilitasi oleh tafsir kekerasan dalam beragama.

Forum yang dihadiri oleh Dekan FDK, Dr. Abdul Halim, Wadek I, Dr. Choirul Arif, Dr. Anshori, Dr. Riesdiyah, Firdaus, Zudan, Emmy dan Faiz telah menyelesaikan matrik akurat tentang program apa saja yang akan dilakukan. Melalui matrik tersebut maka akan dapat dipastikan apa yang menjadi masalahnya dan apa akar masalahnya, apa dan siapa sasarannya, apa alternatif kegiatannya, siapa yang bertanggungjawab, kapan waktunya yang tepat, apa targetnya dan bagaimana penganggarannya. Matrik tersebut harus rinci dan jelas, sehingga memudahkan untuk mengukur tingkat kegagalan atau keberhasilannya. Terus terang saja bahwa para akademisi itu kebanyakan berbicara dalam level konsep, dan tidak berpikir mendalam (detailed), sehingga banyak pikiran konseptual yang bagus tetapi kedodoran di dalam aplikasinya sebab kurangnya berpikir technical-implementatif yang mendalam dan mendasar.

Dari forum ini sekurang-kurang ada tiga pokok pikiran mendasar, ialah: pertama, perlunya untuk sharing realitas empiris tentang gerakan radikalisme yang sudah semakin menguat dan memasuki banyak segmen masyarakat, termasuk berbasis kemasjidan. Itulah sebabnya diperlukan “semacam” workshop dengan para takmir masjid di tingkat kabupaten untuk menghasilkan pemahaman bahwa kita semua sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan, tetapi juga bukan sangat berat adalah semakin menguatnya radikalisme. Kedua, dari workshop ini akan dapat dihasilkan rencana-rencana bersama untuk menanggulangi langkah gerakan radikalisme berbasis masjid dan keumatan. Di antara rencana tersebut misalnya melakukan riset partisipatif, membangun jejaring, memperkuat kerja sama, membangun sinergi dan memperkuat masjid sebagai basis pemberdayaan umat. Ketiga, perlunya melakukan pendampingan terhadap masyarakat sasaran agar mereka bisa menjadi detektor dini terhadap pergerakan radikalisme, baik yang soft radicalism maupun hard radicalism.

Namun demikian, untuk tindak lanjut maka diperlukan kajian teks tentang pola gerakan radikalisme berbasis pada hasil-hasil penelitian yang sudah ada sampai sekarang yang dapat dijadikan sebagai penyamaan wawasan tentang upaya moderasi beragama. Memang kita harus cepat melakukan aksi, sebab kita berhadapan dengan waktu dan upaya militan yang dilakukan oleh mereka yang dilabel sebagai kaum radical dimaksud. Dan bagi saya, institusi pemerintah –khususnya pendidikan tinggi—harus berkontribusi positif untuk gerakan moderasi beragama tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..