• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KAMPUS MERDEKA DAN PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI (3)

Sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya bahwa harus dibedakan kampus yang menghasilkan sarjana dengan gelar sarjana strata I, master akademis dan doktor akademis dan kampus yang menghasilkan tenaga profesional, sarjana terapan, master terapan dan doktor terapan. Perbedaan tersebut sangat wajar mengingat tujuan dan target akhir atau out put di antara keduanya memang sangat berbeda.

Akhir-akhir ini konsep “kampus merdeka” sedemikian menggema di Indonesia, terutama di Perguruan tinggi. Hampir seluruh PT menggemakan konsep ini, seakan bahwa konsep ini adalah resep terbaik untuk mengurai benang kusut pendidikan tinggi yang bertahun-tahun bermasalah. Saya menjadi teringat dengan ungkapan Prof. Dr. Muhammad NUH, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Pak SBY, bahwa jika kita ingin memasuki masalah, maka masuklah ke pendidikan, sebab di sini ada 1001 masalah.

Masalah-masalah di dalam dunia pendidikan memang nyaris tidak bisa diselesaikan. Hal itu tentu salah satunya juga dipicu oleh setiap menteri menginginkan ada program monumental atau legacy yang kemudian menjadi ciri khasnya. Jika kita runut misalnya tentang kurikulum, betapa setiap ganti menteri maka juga ganti kurikulum. Dan terkadang bukanlah upaya untuk merevisi apa yang sudah dilakukan oleh menteri pendahulunya akan tetapi sesuatu yang baru yang diinginkan menjadi legacy-nya. Misalnya: KTSP, lalu Kurtilas, lalu perubahan baru lagi. Lagi dan lagi. Di era sekarang juga terdapat keinginan untuk mengubah kerikulum lama dengan yang baru, yang dimulai dengan konsep merdeka belajar untuk pendidikan dasar dan menengah, lalu di PT dikenal dengan konsep Kampus Merdeka.

Demikian pula tentang ujian nasional, yang di masa lalu dijadikan sebagai tolok ukur standart kualitas pendidikan nasional, dan hal itu juga berlaku di beberapa negara lain, seperti Singapura dan Malaysia, lalu diubah di Era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Muhajir Effendi, dan kemudian sekarang akan diubah dengan meniadakan Ujian Nasional dan menggantinya dengan assesment, yang juga belum jelas juntrungannya. Saya juga berkeyakinan proyek ini juga akan berubah nanti pasca pemerintahan Pak Jokowi-Ma’ruf Amin. Semua dengan gampang bisa diubah tanpa pengkajian yang mendasar dan uji publik yang memadai untuk menyusun kebijakan. Saya melihat bahwa kebijakan lebih didasarkan pada “keinginan” menteri dan staf harus bekerja untuk gagasan tersebut.

Kembali ke Kampus Merdeka, memang harus ada perubahan di era disruftif dengan memperhatikan dan menyesuaikan dengan era yang tidak menentu yang dipicu oleh perkembangan revolusi industri 4.0. Saya kembali ingin menegaskan bahwa berdasarkan pengalaman negara lain yang sudah melakukan perubahan konsepsi pendidikan tingginya, maka sebenarnya ada empat hal yang mendasar, yaitu melakukan perubahan kurikulum, mengembangkan jejaring nasional maupun internasional, penguatan penguasaan TI dan memperkuat lulusannya. Afrika Selatan, Korea, Australia, Singapura, dan negara-negara lainnya sudah melakukannya, maka yang sungguh diperlukan adalah bagaimana mengaransemen perubahan sesuai dengan pengalaman tersebut.

Apapun namanya, apakah Kampus merdeka, atau yang lain itu hanya asesori, tetapi yang lebih prinsipil adalah bagaimana mengubah mind set pengelola pendidikan tinggi untuk sadar dan merespon hal ini secara mendalam. Yang penting adalah ubah kurikulum agar relevan dengan tuntutan perubahan. Apapun prodinya, maka yang mendasar adalah bagaimana agar kurikulum itu selaras dengan tuntutan dunia global sekarang ini.

Tujuan perubahan kurikulum adalah untuk mengubah proses pembelajran dan pendidikan, lalu menghasilkan out put lulusan yang relevan dengan tuntutan perubahan. Bagaimana dengan institusi pendidikan yang basis pendidikan adalah ilmu agama, seperti STAIN, IAIN dan UIN. Maka semua juga harus berubah. Yang perlu dilakukan adalah:

Pertama, ubah kurikulum dengan mengurangi perspektif mata kuliah teoretik dan perkuat basis pengalaman lapangan. Dari 144 sks bisa kiranya dicek lagi berapa yang pas untuk teori dan berapa untuk pengalaman lapangan. Mungkin kita tidak perlu seekstrim Malaysia yang 50:50, tetapi kiranya bisa 60:40 untuk perubahan kurikulum. Petakan secara jelas tentang manakah mata kuliah yang mengandung conten pengalaman lapangan maka harus diberikannya untuk hal tersebut. Sedangkan mereka juga harus memperoleh pengalaman lapangan secara mandiri untuk memasuki dunia kerja, sekurang-kurangnya satu semester yang setara dengan 15 sks, sekurang-kurangnya. Pengalaman lapangan ini sekaligus menjadi bagian dari tugas akhir (skripsi) mahasiswa.

Kedua, untuk kepentingan tersebut, maka pimpinan PT harus melakukan kerja sama dengan institusi lain sebagai tempat untuk “magang” atau kerja “lapangan” para mahasiswa. Misalnya mahasiswa jurusan ilmu al Qur’an dan tafsir, maka dapat dikerjasamakan dengan lembaga-lembaga pendidikan tahfidz al Qur’an, lembaga-lembaga pendidikan al Qur’an atau lembaga-lembaga kajian yang berbasis al Qur’an dan sebagainya.

Ketiga, selain itu seluruh mahasiswa harus diajari untuk melek teknologi informasi, dengan membekali mereka dengan matakuliah khusus di bidang teknolgi informasi. Apapun jurusannya, maka mereka harus mendapatkan mata kuliah ini. jika perlu diberi bobot sks yang besar agar mereka siap bertarung di era global.

Proses pembelajaran juga harus diubah dari base on human-knowlegde process menjadi human-technological information process. Pembelajran yang tetap melihat keunikan manusia tetapi menggunakan instrumen TI. Pembelajran harus berubah dari human-knowlegde ke human-capacity. Jika diperlukan harus ada uji talenta bagi mahasiswa agar mereka dapt memilih yang relevan dengan keinginannya.

Keempat, saya membayangkan bahwa PT itu ke depan akan seperti pasar raya atau mall yang di dalamnya menyediakan banyak layanan dan para mahasiswa yang datang akan dapat memilih mana yang dianggap cocok dan diperlukan. Bisakah seperti ini? Maka menurut saya inilah tantangan pembelajaran dan pendidikan di masa depan seirama dengan era disruptif yang mengharuskan semua berubah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..