MENGEMBANGKAN PTAIS
Salah satu di antara yang mengusik saya untuk mengembangkan PTAIS adalah perlunya untuk mengembangkan akses pendidikan Islam, terutama di tingkat pendidikan tinggi. Kala Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada Lementeian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan moratorium pengembangan kelembagaan PT, maka secara sengaja saya tidak melakukannya. Hal ini saya sampaikan di banyak kesempatan dalam berbagai pertemuan.
Pengembangan akses PTAI dirasakan sangat penting sebab sumbangan APK PTAI kita memang masih sedikit. Dari sebanyak 27 persen sumbangan APK PT, maka Mita baru memberikan sumbangan sebesar 2,8 persen. Makanya sangat penting mengembangkan status PTAI agar ke depan akan sangat dimungkinkan perluasan akses pendidikan tersebut.
Sesungguhnya yang diharapkan dari pengembangan lembaga pendidikan Islam adalah peningkatan akses dan mutu pendidikan. Oleh sebab itu, kedua aspek ini haruslah menjadi bagian dari kebijakan pengembangan PTAI khususnya pendidikan tinggi Islam. Peningkatan akses hanya bisa dicapai jika terdapat tambahan program studi, perubahan status dan juga sarana prasarana pendidikan.
Di antara faktor peningkatan akses tersebut, maka yang bisa dibantu dengan percepatan adalah penambahan program studi dan perubahan status pendidikan. Makanya, direktorat Jenderal Pendidikan Islam mestilah harus memastikan bahwa penambahan prodi baru dan perluasan status kelembagaan dapat dilakukan oleh PTAI. Hal ini tentu didasari oleh kenyataan bahwa untuk pengembangan sarana prasarana pendidikan bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan mengingat anggaran pendidikan Islam yang masih terbatas.
Melalui perluasan akses yang memang diharapkan
GURU UNTUK MEWIRAUSAHAKAN PENDIDIKAN
Judul ini mungkin agak seksi. Tetapi memang saya pilih dalam kerangka untuk memberikan pemahaman bahwa pendidikan sebenarnya tidak hanya diharapkan untuk menghasilkan kaum akademikus atau teoretikus yang andal, akan tetapi pendidikan juga diharapkan sebagai penghasil para wirausahawan yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas usahanya di dalam memenuhi hajad hidupnya.
Memang seharusnya ada ambisi agar pendidikan akan dapat memberi manfaat bagi para alumninya agar dapat memiliki kemampuan untuk menjadi pengusaha di masa depan. Tujuan ini mungkin ambisius akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa mimpi ini suatu ketika akan bisa tercapai. Orang yang berjaya dan berhasil adalah yang memiliki kemampuan untuk menjawab mimpinya untuk menjadi kenyataan.
Lembaga pendidikan menurut saya dapat menjadi instrumen utama untuk menghasilkan SDM yang andal. Kehebatan lembaga pendidikan akan menjadi penentu keberhasilan SDM di masa depan. Oleh karena itu, jika banyak lembaga pendidikan berkualitas maka tentu akan juga menghasilkan SDM yang berkualitas.
Saya diundang dalam acara diskusi di Rakernas Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan juga peringatan ulang tahun ke 60. Acara yang digelar dengan mendatangkan seluruh pimpinan wilayah IPNU ini membicarakan satu aspek yang sangat mendasar yaitu bagaimana kontribusi IPNU dalam pendidikan bangsa. Ketepatan saya memperoleh sesi diskusi yang dipandu langsung oleh ketua Umum IPNU, Khoirul Anam.
Sebagaimana biasanya, maka saya sampaikan bahwa salah satu tantangan pendidikan di Indonesia. Pertama, tentang kualitas pendidikan Indonesia yang masih belum menunjukkan peningkatan kualitas yang signifikan. Dari berbagai survei yang diselenggarakan oleh badan nasional atau internasional, masih menempatkan pendidikan Indonesia pada peringkat menengah atau bahkan peringkat bawah. Indeks pengembangan pendidikan Indonesia tentu kalah dibanding dengan Malaysia Thailand dan bahkan Filipina. Peringkat pendidikan Indonesia di dunia internasional belumlah sesuai dengan harapan kita bersama.
Untuk peningkatan kualitas pendidikan, sesungguhnya Pemerintah sudah memberikan anggaran yang memadai khususnya untuk peningkatan kualitas guru dan dosen, melalui skema program sertifikasi yang diharapkan bisa menjadi pengungkit terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan kemudian secara sistemik akan bisa membawa kepada peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Akan tetapi ternyata bahwa peningkatan standart pendapatan guru dan dosen juga belum memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan kita. Saya tentu tidak ingin menyalahkan bahwa guru adalah satu-satunya faktor yang menyebabkan keterpurukan pendidikan, sebab tentu ada variabel lain yang juga secara sistemik akan berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Namun demikian, tentu saja di pundak para gurulah sesungguhnya harapan besar akan peningkatan pendidikan akan bisa dicapai.
Upaya peningkatan kualitas guru tentu harus terus dilaksanakan. Di antara upaya tersebut adalah melalui program penyetaraan pendidikan para guru. Bagi mereka yang masih berijazah D1 atau D2, maka menjadi wajib baginya untuk menyelesaikan pendidikan setara Strata satu. Sesungguhnya tidak hanya untuk memenuhi agar yang bersangkutan bisa mengikuti program sertifikasi akan tetapi yang lebih penting adalah untuk peningkatan kualitas profesionalitasnya. Selain itu juga program pelatihan, kursus, workshop, diskusi dan sebagainya yang diharapkan akan bisa mengupdate kemampuan para guru.
Kedua, tantangan pendidikan kewirausahaan. Pendidikan juga diharapkan bisa menghasilkan out put alumni yang memiliki basis keahlian yang baik. Salah satu keunggulan lembaga pendidikan dewasa ini adalah tentang kewirausahaan. Coba kita tengok lembaga pendidikan seperti Ciputra University dan Podomoro University lalu mengusung diri sebagai lembaga pendidikan tinggi berbasis pada kewirausahaan. Sebab di sanalah jualan mereka tentang lembaga pendidikan tinggi. Makanya, yang diusung oleh keduanya dalam hal tenaga pendidik adalah mereka yang memiliki keahlian di bidang pendidikan kewirausahaan.
Pemilihan pada lembaga pendidikan berbasis pada kewirausahaan tentu didasari oleh pikiran yang sangat rasional. Dengan luas wilayah Indonesia, jumlah penduduk yang besar dan juga kebutuhan yang sangat variatif, maka tentu tidak salah jika menjadi wirausahawan adalah lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Bahkan Kyai Wahid Hasyim di masa lalu juga menyatakan bahwa kebanyakan urusan dunia diperoleh melalui dunia perdagangan atau bisnis.
Pendidikan adalah lembaga penyedia SDM yang secara khusus terkait dengan program kewirausahaan. Oleh karena itu yang sesungguhnya diperlukan oleh lembaga pendidikan adalah para guru yang memiliki semangat dan kemampuan untuk menjelaskan tentang dunia kewirausahaan. Di sinilah makna pentingnya para guru memahami kewirausahaan dan kemudian dapat membangkitkan semangat para siswanya untuk kepentingan tersebut.
Pendidikan Islam tentunya harus bersearah dengan kemauan zaman ini. Bagi saya bahwa pendidikan keagamaan yang berhasil adalah pendidikan keagamaan yang mampu memberikan kemampuan soft skilled bagi siswa atau anak didiknya untuk bersemangat dan mampu menjawab tantangan zaman. Di dalam hal ini maka keberadaan para guru dan segenap jajaran penyelenggara pendidikan yang peka terhadap pentingnya kewirausahaan pendidikan tentunya memperoleh nilai lebih.
Jadi, perlu ada pemihakan terhadap keinginan menjadikan lembaga pendidikan sebagai sumber untuk mencetak wirausahawan yang berkemampuan untuk maju dan berprestasi.
Wallahualam bisshawab.
KYAI SAHAL DAN WARISAN KEBANGSAANNYA
Saya masih ingin menulis sekali lagi tentang Kyai Sahal. Saya juga tidak tahu mengapa keinginan itu begitu kuat. Tetapi yang jelas saya merasa bahwa kehadiran kyai Sahal bagi bangsa Indonesia sungguh sangat penting.
Kyai Sahal meskipun memiliki pengaruh yang sangat besar dalam jajaran umat Islam dan umat agama lain dan bagi masyarakat Indonesia akan tetapi beliau sangat sederhana. Tidak ada kemewahan layaknya orang lain yang memiliki pengaruh besar. Padahal sebagai Rois Am Syuriah NU dan juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesis (MUI), maka seharusnya beliau memiliki kemewahan yang memadai. Namun demikian, kita tentu melihat bagaimana Kyai yang satu ini tetap sederhana dalam penampilan dan keadaannya.
Di antara warisan penting Kyai Sahal adalah pandangannya tentang nasionalisme dan kebangsaan. Siapapun tidak akan ada yang meragukan mengenai pandangan, sikap dan tindakannya tentang kebangsaan dan nasionalisme keindonesiaan. Sungguh beliau adalah contoh nyata tentang seorang kyai yang berpandangan sangat mendasar tentang keislaman, keindonesian dan modernitas.
Tentang keislaman, maka konsepsi tentang Islam rahmatan lil alamin atau Islam moderat adalah bagian mendasar dari pemikirannya. Dan beliaulah yang mempengaruhi banyak pemikir lainnya. Saya kira Gus Dur, KH Hasyim Muzadi dan juga KH Said Aqil Siraj sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan hasil akumulasi dari pemikiran beliau tentang keislaman.
Jika ulama NU memiliki arus utama pemikiran tentang Islam rahmatan lil alamin, maka tentu karena pengaruh beliau. Ibaratnya beliau adalah ideolog Islam rahmatan lil alamin. Sebagai ideolog Islam moderat, tentu ideologi tersebut berasal dari kemampuannya untuk membaca Islam Indonesia yang sesungguhnya memiliki kekhasan dan berbeda dengan Islam di tempat lain, misalnya Islam di timur tengah. Jika Islam di timur tengah menyajikan Islam yang puris atau Islam yang dianggap apa adanya, sesuai dengan amalan yang benar tentang Islam, maka Islam keindonesiaan adalah Islam yang menghadirkan nuansa kultur yang kental. Namun demikian bukanlah Islam yang tidak orisinal, akan tetapi adalah Islam yang dihias dengan tasawuf dan kultur lokal yang selaras, serasi dan seimbang.
Islam yang tidak menghabisi dan kejam terhadap tradisi lokal, akan tetapi Islam yang ramah dan menjunjung tinggi terhadap tradisi lokal yang tidak bertentangan dengannya. Jika ada yang bertentangan dengan Islam maka secara lambat tetapi pasti akan digantikan dengan prinsip Islam yang mendasar. Di dalam tulisan saya tentang Islam Pesisir, maka saya sebutkan istilah “tayuban menjadi thayiban.” Dahulu di sumur wali selalu diselenggarakan acara tayuban atau tarian Jawa dengan musik gamelan, akan tetapi sekarang tradisi tayuban digantikan dengan tahlilan dan tradisi lain yang berbeda tidak dipangkas habis. Maka terjadilah kegiatan thayiban.
Tentang keindonesiaan Kyai Sahal tentu juga tidak ada yang meragukannya. Ucapan, sikap dan tindakan beliau tentang bagaimana menghargai dan menjadikan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan sebagai pilar kehidupan bangsa Indonesia tentu tidak ada yang meragukannya. Beliau sangat concerns berbicara tentang keindonesiaan ini. Bahkan di dalam setiap pidatonya di muka publik selalu disisipkan tentang watak kebangsaannya. Misalnya di dalam acara pembukaan Munas Alim Ulama di Surabaya, lalu ketika memberikan sambutan pada acara di STAIMAFA, Jepara, dan juga acara peresmian Program Studi Strata dua INISNU Jepara dan juga lainnya. Watak kebangsaannya itulah yang membuatnya beliau dihargai dan dihormati oleh sesama umat Islam dan non muslim.
Bagi saya dan saya sependapat dengan Kyai Sahal bahwa tidak harus dibedakan dan dipisahkan antara keislaman, keindonesiaan dan kemodernenan. Ketiganya merupakan suatu sistem dalam kehidupan bangsa Indonesia. kalau kita bisa memadukan ketiganya di dalam praksis kehidupan, maka dapat dipastikan kita akan memperoleh kemajuan.
Demikian pula tentang modernitas. Kyai Sahal tidaklah menolak kemoderenan sebagai bagian dari kehidupan umat Islam. Islam yang modern tidaklah identik dengan sikap hidup ke barat-baratan. Bukan sikap hidup yang west life. Tetapi modern identik dengan kemajuan dan perkembangan. Gagasannya untuk mendirikan universitas yang unggul dalam ilmu pengetahuan adalah bagian dari keinginannya untuk menjadikan warga NU memiliki keunggulan di dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itu betapa gembiranya kala INISNU Jepara menjadi universitas sebab hal itu tentu menjadi keinginan beliau. UNISNU bagi kyai Sahal adalah lambang dari proses pencarian untuk menuju kepada kemoderenan.
Selain itu, sikapnya yang tegas terhadap gerakan radikalisme yang cenderung eksklusif juga menjadi ciri khas pemikiran, sikap dan tindakannya. Secara tegas dinyatakan bahwa gerakan radikalisme yang mengusung Islam garis keras yang mengusung kekerasan di dalam menyebarkan Islam bukanlah ciri khas Islam. Cara seperti itu, bagi Kyai Sahal justru akan mencederai Islam yang sebenarnya anti kekerasan. Pandangannya tentang radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh sebagian kecil umat Islam akan merusak citra Islam dalam pandangan dunia internasional dan justru akan menjauhkan Islam dari umatnya.
Warisan penting kyai Sahal bagi NU dan bagi bangsa Indonesia adalah tentang pemikiran, sikap dan tindakannya yang sangat nasionalis. Perlunya menjadikan Pancasila, UUD 1945, kebinekaan dan NKRI sebagai pilar bangsa yang harus terus dipupukkembangkan merupakan pandangan yang sangat orisinal bagi kemajuan dan keberhasilan bangsa Indonesia untuk menjadi negara besar di kemudian hari.
Jadi, bangsa Indonesia memiliki hutang budi kepada Kyai Sahal, utamanya bagi pemantapan pilar bangsa bagi segenap bangsa Indonesia.
Wallahualam bisshawab.
KH SAHAL MAHFUDZ DAN FIQH SOSIAL
KH Sahal adalah kyai yang sangst konsisten dengan padangan hidupnya dan juga pemikiran keagamaannya. Di kalangan orang NU, maka beliau dikenal dengan sebutan NU tulen atau kalau dalam bahasa orang Tuban disebut sebagai NU tus. Yaitu orang NU yang semenjak muda telah mengambil NU sebagai jalan pikiran dan tindakannya. Gagasan tentang fiqh sosial tersebut tercermin dalam dua hal, yaitu:
Pertama, tentang relasi antara agama dan negara. Gagasannya tentang Islam rahmatan lil alamin dan ketuntasan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup orang Indonesia tentu merupakan pikiran yang sangat mendasar. Gagasan dan tindakannya yang sangat mendasar tentang NU, Pancasila dan Negara adalah merupakan akumulasi dari pengalamannya dalam bergaul dengan banyak kalangan, baik mereka yang berlatar belakang suku Jawa maupun lainnya serta dengan orang Islam maupun non muslim.
Kyai Sahal adalah kyai Pesantren tradisional yang memiliki pandangan tuntas tentang relasi antara agama dan negara. Berdasarkan atas kajiannya tentang Islam dalam kaitannya dengan negara atau Pemerintah, maka sampaikan beliau kepada kesimpulan bahwa Islam dan negara haruslah berhubungan secara simbiosis. Islam membutuhkan negara sebagai tempat untuk mengembangkannya dan di sisi lain negara juga membutuhkan agama sebagai basis moralitas di dalam mengatur kehidupan rakyat dan negara.
Ungkapan beliau yang sering saya ungkapkan di dalam banyak kesempatan adalah tentang Pancasila sebagai dasar negara yang final dan UUD 1945 juga sebagai landasan konstitusional bernegara, NKRI sebagai bentuk final dari negara Indonesia serta kebhinekaan sebagai basis relasi sosial yang baik bagi kenyataan sosial dan kultural masyarakat Indonesia.
Pidato beliau di Musyawarah Alim Ulama di Surabaya itulah yang menjadi dasar pemikiran dari NU baik secara organisasional maupun sosial politik dalam membangun relasi yang baik antara Pemerintah dan NU maupun dengan dunia internasional yang memang membutuhkan ketentraman dan kedamaian. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebhinekaan adalah sesuatu yang sudah final bagi bangsa Indonesia.
Kedua, gagasan tentang aspek kesejahteraan sosial dan lingkungan. Gagasan seperti ini sesungguhnya adalah cara pandang yang berbeda tentang fiqh yang selama ini bercorak hitam putih dan kemudian memperoleh sentuhan pikiran modern, sehingga fiqh busa bernegosiasi dengan dunia sosial, politik dan juga kebudayaan. Melalui konsepsi fiqh sosial, maka Kyai Sahal menggambarkan bahwa fiqh yang selama ini hanya dimaknai sebagai hukum ibadah lalu menjadi memiliki cakupan makna yang lebih luas.
Misalnya kemiskinan yang selama ini hanya dilihat sebagai masalah sosial lalu bisa didekati dengan konsepsi fiqh yang penyelesaiannya merupakan bagian dari ajaran agama. Yang dicari bukan dalil agamanya, akan tetapi adalah bagaimana memecahkan masalah kemiskinan tersebut dalam konteks zamannya. Melalui pendekatan fiqh sosial tersebut maka persoalan kemiskinan bisa menjadi bagian dari konsepsi Islam yang jelas. Jadi fiqh bukan bicara persoalan hitam putih ajaran Islam yang berupa peribadatan saja akan tetapi dapat memasuki ranah sosiologis dan bahkan antropologis.
Sebagai pimpinan organisasi yang mengusung tema Islam kultural, maka beliau memiliki perhatian yang mendasar tentang dimensi kebudayaan dan tradisi Islam yang bernuansa khas lokalitas, makanya beliau sangat fasih membaca nuansa zamannya. Beliau mampu membaca persoalan lingkungan, ketenagakerjaan, pertanahan, nasionalisme, kebangsaan dan juga keislaman. Melalui perangkat ilmu ushul fiqh tersebut, maka integrasi antara Islam dan dunia di hadapannya mampu diterjemahkan secara baik dan memadai.
Ada orang yang menyatakan bahwa Kyai Sahal adalah Ushul fiqh berjalan. Maksudnya bahwa pada diri Kyai Sahal terdapat pemahaman dan praksis Ushul fiqh yang hidup. Mungkin bisa dinyatakan sebagai The living of Ushul fiqh. Jadi pada dirinya sudah tergambar dan dipahami orang sebagai ahli Ushul fiqh yang sangat dihormati dan tidak tertandingi.
Untuk menjadi seperti ini tentu saja ada variabel penting yang tidak bisa dilupakan, yaitu kemampuan memahami teks-teks kitab kuning terutama di bidang ilmu ini, pemahaman yang baik tentang ilmu pendukung seperti ilmu sosial dan juga konteks zaman yang melingkupi semua itu. Jadi ada pengintegrasian antara teks ajaran agama yang sering hitam putih dan konteks zaman yang variatif dan jamak. Pemahaman yang utuh tentang kehidupan inilah yang mengantarkannya pada suatu kemampuan ahli Ushul fiqh yang unggul.
Kiranya tidak hanya orang NU yang kehilangan dengan kepergian beliau ke alam baka, akan tetapi juga organisasi keislaman dan organisasi sosial lainnya dan bahkan dunia ilmu keislaman yang juga merasakannya. Sungguh kita akan merasakan bahwa untuk mencetak orang sekelas Beliau memerlukan waktu yang sangat panjang.
Jadi rasanya masih memerlukan waktu panjang untuk menghasilkan ulama yang arif bijaksana dan yang sekaligus memiliki rasa nasionalisme dan kebangsaan yang tidak diragukan.
Semoga Allah menerima semua amal baiknya dan bagi kita bangsa Indonesia akan tetap melestarikan legacy nasionalisme dan kebangsaannya.
Wallahualam bisshawab.
PERUBAHAN MINDSET MENJADI UIN
Tadi pagi jam 05 WIB saya didatangi tamu dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya. Pagi sekali dia datang ternyata dia naik kereta api, sehingga dari stasiun Gambir lalu datang ke rumah. Dia adalah Umar Faruq, dosen fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya.
Sebagaimana biasanya maka kami membincangkan tentang pendidikan Islam khususnya UIN Sunan Ampel. Sebagai orang yang pernah dibesarkan di UIN Sunan Ampel, maka tentu sangat wajar jika kemudian masih terus berpikir tentang bagaimana UIN Sunan Ampel ke depan. Sebagai dosen dan profesor di UIN Sunan Ampel adalah kebanggaan yang sangat besar bagi saya. Itulah sebabnya kala bertemu dengan civitas akademika UIN Sunan Ampel tentu yang terpikir adalah bagaimana mengembangkan UIN itu.
Akhir-akhir ini saya sedang terpikir mengenai ungkapan Pak Menteri Agama, Dr. Suryadharma Ali, yang sering mengingatkan tentang perubahan status dari STAIN ke IAIN dan dari IAIN ke UIN bukan hanya perubahan lembaga dan namanya akan tetapi yang lebih penting adalah perubahan mindset civitas akademika menjadi PTAIN yang berkualitas dengan mandatnya yang lebih luas tersebut.
Saya merasakan betapa mendalamnya ungkapan ini. Sebab disadari atau tidak bahwa transformasi ke PTAIN yang mandatnya lebih luas tentu saja mengandung konsekuensi tentang pengembangan akademik yang juga lebih luas, kualitas yang lebih baik, dan manajerial yang lebih andal. Jadi, bukan hanya perubahan simbol akan tetapi adalah perubahan simbol dan substansi sekaligus.
Semua civitas akademika yang PTAI-nya berubah, maka harus melakukan transformasi pemikirannya. Semua harus tertuju pada satu visi mengembangkan pendidikannya menjadi lebih maju dan unggul, baik keunggulan komperatif maupun keunggulan kompetitif. Semua harus bergerak menuju satu titik menjadikan PTAI yang dapat mencetak manusia Indonesia yang berakhlakul karimah, cerdas dan kompetitif. Oleh karena itu harus ada perubahan yang sangat mendasar mengenai cara pandang dan substansi pengembangan pendidikan tinggi tersebut.
Sekarang saya ingin melihat salah satu kelemahan mendasar, yang saya kira menjadi problem utama seluruh PTAIN, yaitu tentang problem kualitas mahasiswa. Ke depan kita ingin memperoleh out put alumni yang andal di tengah blantika kehidupan yang makin kompleks. Kompetisi yang tidak mudah dan juga makin banyaknya sumber daya manusia yang unggul dalam berbagai keahliannya. Makanya, harus ada perumusan ulang tentang bagaimana mengembangkan kemampuan mahasiswa agar bisa menjadi yang unggul tersebut.
Berbasis pada pengamatan yang sederhana saja, sesungguhnya bisa dilihat bahwa program pembelajaran di PTAIN kita masih belum optimal. Jika dilakukan survei terhadap berapa banyak mahasiswa membaca buku dalam satu semester, maka tentu akan terdapat jawaban yang kurang menggembirakan. Mahasiswa PTAIN masih cenderung mengandalkan bahan kuliah dari dosennya dan belum melakukan browsing informasi yang lebih luas.
Sesungguhnya, dewasa ini sedang terjadi banjir informasi. Melalui teknologi informasi yang semakin kuat, maka orang dengan sangat mudah untuk mengaksses informasi ini. Akan tetapi yang tidak kalah penting adalah mindset untuk terus mencari dan berusaha untuk menemukan informasi penting yang diperlukan.
Hanya sayangnya bahwa di tengah banjir informasi tersebut tidak bisa dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa. Mereka lebih cenderung untuk memasuki wilayah jejaring sosial dari pada masuk ke wilayah pencarian informasi akademik. Tentu akibatnya adalah terbuangnya waktu untuk kepentingan individu dalam pemenuhan kebutuhan non akademik.
Seharusnya bahwa mahasiswa harus memiliki kemampuan untuk memilah mana yang lebih penting untuk keberlangsungan dan kemajuan pendidikannya. Kita sungguh menginginkan bahwa mahasiswa PTAIN adalah mereka yang memiliki keunggulan dalam prestasi akademik dan keunggulan mentalitas dan kesungguhan untuk berprestasi. Mereka adalah orang pilihan yang kelak akan menjadi kader bangsa di dalam berbagai bidang keahliannya. Makanya, jika kemudian mereka lebih tertarik kepada jejaring sosial ketimbang dunia akademik. Dengan tindakan semacam ini, maka akan dapat dipastikan bahwa mereka akan tertinggal dalam persaingan atau kompetisi di era global.
Belajar adalah latihan dan pembiasaan bahkan juga paksaan. Makanya, dosen juga harus memberikan arahan yang kuat tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh mahasiswa. Di dalam konteks ini, kita juga bisa bertanya ada berapa banyak tugas bacaan buku untuk mahasiswa yang diarahkan oleh para dosennya. Apakah cukup satu paper dalam satu semester, atau cukup dengan ujian saja atau ada sejumlah buku yang harus dibaca dan dipresentasikan di ruang kuliah atau di tempat lain. Dosen dengan demikian adalah pentransfer ilmu dan sekaligus juga pamong bagi para mahasiswanya agar mahasiswanya dapat meraih prestasi belajar yang sangat baik.
Semua di antara kita tentu sependapat bahwa kualitas alumni sebuah perguruan tinggi tentu tergantung pada seberapa kualitas proses pembelajaran dan dosennya yang berkualitas. Secara konseptual tentu dapat dinyatakan bahwa semakin banyak doktor dan profesor tentu semakin bagus proses pembelajaran dan tentu akan memiliki dampak ikutan akan meningkatnya kualitas out put lembaga pendidikan. Jika di PTAIN kita sudah semakin banyak masternya, makin banyak doktornya dan makin banyak profesornya, maka semestinya juga akan makin baik tampilan dan postur alumninya.
Oleh karena itu, transformasi ke status lembaga pendidikan yang lebih luas tentu hars berimplikasi terhadap perubahan mindset civitas akademika ya, sehingga perubahan status bukan hanya sebagai mode akan tetapi memang memiliki perubahan substantif di dalam banyak hal.
Wallahualam bisshawab.
.