ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (9)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (9)
Respon Cak Munir dari Direktorat Madrasah di grup WA atas tulisan saya “Islam Nusantara Berkemajuan di Era Kontestasi (8)” saya kira menarik untuk dicermati. Cak Munir merespon bahwa: “…atau sebanding dengan mayoritas yang tidak “ngopeni” umatnya karena lebih bernafsu pada ranah kekuasaan dan politik”. Respon ini patut dicermati dari konsepsi fenomenologi melalui bagan in order to motives.
Tujuan internal kepemimpinan organisasi adalah untuk menjaga, memperbaiki dan meningkatkan kualitas organisasi agar memiliki peran yang lebih besar di dalam perjuangan visi dan misi organisasi. Jika visi dan misi organisasi ialah menempatkan Islam rahmatan lil alamin sebagai visi utamanya, maka seluruh elemen pimpinan organisasi harus bermaksud kuat mencapai hal tersebut.
Pimpinan pusat maupun wilayah atau daerah harus memiliki kesamaan untuk mencapai hal itu. Dalam bahasa Jawa disebut harus “ngopeni” atau menjaga, melestarikan dan mendampingi atau membimbing terhadap semua elemen agar mencapai visi dan misi organisasi. Harus muncul kesadaran kolektif atau collective conscience bahwa semua care untuk mencapai tujuan dimaksud.
Jadi, “ngopeni” umat merupakan in order to motive bagi seluruh pimpinan organisasi dengan basis visi dan misi rahmatan lil alamin. Makanya, seluruh energy, program dan kegiatan harus dimuarakan pada pencapaian upaya membangun Islam rahmatan lil alamin. Untuk mencapai hal ini, memang diperlukan jejaring baik internal maupun eksternal.
Jejaring internal tentu dengan seluruh jamaah yang terkait dengan jam’iyah itu. NU, misalnya harus melibatkan para kyai, ulama, pesantren, lembaga pendidikan yang berada di dalam organisasi tersebut untuk mendukung terhadap upaya pencapaian visi dan misi organisasi. Keduanya harus sinergis dan merasa nyaman di dalam kerangka untuk menjadikan institusi tersebut sebagai lahan artikulasi kepentingan.
Di sisi lain, juga dibutuhkan jejaring eksternal yang memiliki kesamaan tujuan. Bisa saja organisasi politik, organisasi bisnis, birokrasi, lembaga non pemerintah dan lain-lain yang memang memiliki kepedulian dan program yang berseiringan. Bisa individual dan bisa organisasional.
Jejaring luar tentu sebatas pada supporting power dan bukan dominant power, apalagi coercive power. Sebagai supporting power, maka status dan fungsinya bukan mengarahkan organisasi itu. Dia tidak boleh dominan di dalam “mengatur, mendorong atau mengarahkan” ke mana organisasi tersebut akan dibawa. Jika kita menjadikan contoh NU dan Muhammadiyah, misalnya, maka semua elemen luar itu bukanlah menjadi penentu atau determinat factors bagi arah organisasi.
Organisasi NU dan Muhammadiyah harus membangun jarak yang sama dengan semua factor eksternal di dalam mengoptimalkan perannya di tengah masyarakat. Jika organisasi tersebut tidak bisa memisahkan dengan partai politik, misalnya, maka dipastikan bahwa organisasi tersebut tidak akan bisa diterima oleh semua kalangan pengikutnya. Bukankah masing-masing individu tentu memiliki aspirasi politik yang tidak sama. Muhammadiyah saya kira cukup berhasil dengan penempatan strategi “politik alokatif”, sehingga bisa memisahkan siapa yang harus berkhidmah di politik sebagai politisi dan siapa yang harus berbakti kepada organisasi keagamaan ini.
Problem mendasar NU saya kira adalah naluri politiknya yang masih cukup dominan. Sehingga lalu tidak bisa memisahkan antara “kawasan politik” dengan “kawasan organisasi”. Problem ini yang saya kira sedang menimpa NU struktural dewasa ini. Makanya, NU diindikasikan tidak “ngopeni” umatnya untuk secara bersama-sama membangun kekuatan yang utuh dalam menjaga soliditasnya.
Kekuatan NU lalu tersegmentasi. Ada dinamika yang mengarah kepada apatisme yang semakin menguat. Meskipun tidak secara terang-terangan, namun sesungguhnya terdapat ketidakharmonisan di dalam tubuh NU itu. Kita tentu berharap bahwa di dalam proses pencarian keharmonisan tersebut mereka menemukan solusi yang tepat seirama dalam visi dan misi NU yaitu terciptanya pemahaman dan praksis Islam yang rahmatan lil alamin.
Kita sedang berada di suatu era yang terus berubah. Era pertarungan ideology yang saling menegasikan. Di era seperti ini, maka siapa yang menguasai panggung media dan siapa yang mampu membangun hegemoni berbasis pada doktrin yang menggiurkan, misalnya “doktrin menyelamatkan Islam” maka dialah yang akan memenangkan pertarungan. Meminjam bahasanya George Lucas, maka “siapa yang bisa menguasai imaje, maka dialah yang menguasai dunia”.
Imaje merupakan bagian dari penguasaan secara kultural yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain. Bisa saja negara, organisasi, atau asosiasi yang memiliki kemampuan untuk melakukan penguasaan dengan menggunakan perangkat budaya. Di dalam konteks ini, imaje penguasaan tersebut bisa ditujukan pada dunia keyakinan atau keagamaan yang memang rentan terhadap imaje penguasaan dimaksud.
Tetapi satu hal yang masih menguntungkan bagi NU adalah kekuatan NU kultural yang akan terus memberikan dukungan ideologis terhadap visi dan misi Islam rahmatan lil alamin. Kekuatan NU kultural ini yang seharusnya terus dirawat secara optimal. Jangan biarkan umat NU kultural itu berada di dalam ketidakpastian. Mereka adalah kekuatan utama NU. Dengan demikian merawat terhadap kelompok ini tentu akan sangat menguntungkan bagi perjalanan NU sebagai organisasi.
Saya khawatir dengan keterjebakan NU pada idiom-idiom politik akan bisa menyebabkan terkoyaknya NU kultural yang sesungguhnya merupakan kekuatan utama organisasi ini. Jadi, NU structural mestilah menilai ulang tentang eksistensi NU sebagai rumah bersama bagi semua warganya.
NU itu ibarat rumah besar yang dihuni oleh seluruh warga yang mencitakan tentang Islam rahmatan lil alamin. Hanya saja di dalamnya memang terdapat varian-varian status sosial, politik, ekonomi dan budaya, sehingga semua harus diayomi dengan satu tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan utama organisasi yaitu untuk menghasilkan paham dan praksis keagamaan yang wasathiyah.
Di kala organisasi NU lebih didominasi oleh factor eksternal, maka di kala itu conflict of interest akan dipastikan meningkat. Jadi ke depan harus dipikirkan tentang bagaimana menjadikan NU itu lebih steril dari kepentingan sosial politik, sehingga NU akan memperoleh dukungan dari semua elemen jamaahnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.
