MENGEVALUASI TATA KELOLA KEMENAG
MENGEVALUASI TATA KELOLA KEMENAG
Sebagaimana biasanya, jika Pak Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, memiliki agenda yang sangat penting, maka ada acara yang kemudian saya diminta untuk mewakilinya. Hari Jum’at, 29/12/2016, saya diminta Beliau untuk mewakilinya dalam acara pembukaan Sosialisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) No, 702, Tahun 2016, Tentang Pedoman Perjanjian Kinerja, Tata cara Review dan Laporan Kinerja Kementerian Agama.
Acara ini diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Tata Kelola Kemenag dengan menghadirkan seluruh Pimpinan PTKN, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi se Indonesia dan pejabat-pejabat eselon I dan II Kemenag. Selain saya mewakili Pak Menteri Agama untuk membuka acara ini, maka saya juga diminta untuk memberikan masukan tentang beberapa hal terkait dengan serapan anggaran dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Agama (LKKA) tahun 2016.
Saya tentu menjadikan forum ini sebagai bagian evaluasi mengenai serapan anggaran dan persiapan penyusunan LKKA tahun 2016. Pertama, saya sampaikan bahwa tahun 2016 menandai serapan anggaran Kemenag yang jauh lebih baik dibanding dengan tahun sebelumnya. Sampai dengan hari ini, bahwa serapan anggaran Kemenag berada di level ke dua K/L dengan anggaran terbesar dan nomor 11 dari 87 K/L di seluruh Indonesia. Tahun lalu, 2015 kita berada di urutan 8 dari 10 K/L dengan anggaran terbesar.
Namun demikian, yang masih menyisakan problem adalah karena masih besarnya anggaran untuk Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang belum tersalurkan, selain belanja modal dan pengadaan barang dan jasa. Tiga hal ini yang sesuai dengan arahan Pak Menag harus dilakukan realokasi dengan mencermati postur anggaran Kemenag tahun 2017. Di dalam acara penerimaan DIPA 2017, beliau menekankan agar dilakukan evaluasi terhadap anggaran Kemenag secara komprehensip dan direvisi sesuai dengan data yang lebih valid sebagai bahan penyusunan perencanaan.
Kedua, saya nyatakan bahwa tantangan terbesar Kemenag adalah mengembalikan opini WTP. Kita memang bergembira sebab ada banyak penghargaan yang diterima pada tahun 2016, misalnya tentang K/L dengan sumbangan terbesar untuk PNBP, penghargaan sebagai BLU yang konsisten berpihak pada rakyat, K/L sebagai penyumbang terbesar untuk investasi SBSN, SAKIP dengan nilai B dan juga sebagai K/L dengan pengelolaan BMN terbaik kedua.
Pada tahun 2015, seharusnya kita memberikan capaian kinerja setahun kepemimpinan Pak Menag dengan capaian WTP. Namun sayang bahwa pada tahun itu kita hanya memperoleh Opini WDP dari BPK. Hal ini disebabkan oleh adanya perubanan system akuntansi yang semula berbasis kas lalu berbasis akrual. Sementara itu kemampuan SDM kita belum memadai.
Ketiga, secara langsung saya memang ingin mendengarkan pendapat dari para pejabat, baik rector, kakanwil maupun pejabat pusat. Makanya, ada sebanyak 7 orang pejabat yang mengemukakan pendapatnya, yaitu: Prof. Dr. Moh. Mukri, Prof. Dr. Sirozi., Dr.Bazari Syam, Abd. Wahid, Prof. Dr. Muhammadiyah Amin, Suhaili dan Prof. Dr. Muhibbin. Ada beberapa catatan yang disampaikan terkait dengan kebijakan, regulasi dan juga tata kelola Kemenag. Jika di tipologikan, maka terdapat tiga hal mendasar, yaitu: dari sisi regulasi. Menurut pendapat mereka, bahwa ada proses keterlambatan di dalam penyusunan regulasi. Misalnya tentang RPP Pendidikan Tinggi Keagamaan. Sudah cukup lama regulasi ini dibahas akan tetapi hingga sekarang masih belum jelas kapan diselesaikan. Lalu regulasi tentang Statuta PTKN. Masih banyak PTKN yang berjalan tanpa regulasi Statuta. Padahal Statuta adalah pedoman penyelenggaraan pendidikan tinggi. Tidak kalah penting juga regulasi jam mengajar dosen. Jangan dibiarkan para dosen memperoleh hukuman karena ketidakjelasan regulasi ini. Selain itu juga regulasi yang terkait dengan penggunaan PNBP yang hingga hari ini masih dianggap sebagai PNBP umum, sehingga tidak bisa dilakukan optimalisasi fungsinya.
Kemudian dari tata kelola, masih dilihat adanya kelemahan di dalam perencanaan. Perencanaan kita masih top down dan belum sepenuhnya bottom up. Misalnya, bagaimana sebuah PTKN hanya mendapatkan anggaran 18 milyar rupiah, sementara anggaran satu kasubdit bisa mencapai ratusan milyar. Demikian pula tentang penentuan BOPTN, yang dirasakan masih belum menggambarkan situasi yang sebenarnya.
Termasuk juga dalam lingkup tata kelola ialah tentang perlunya pendampingan irjen dan setjen di dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Jika dilakukan pendampingan maka tidak akan banyak terdapat kesalahan di dalam pelaksanaan anggaran.
Kebijakan Kemenag tentu harus berbasis pada keinginan untuk lebih dekat kepada umat, makanya pengadaan gedung pelayanan umat, seperti KUA dan juga asrama haji sangat diperlukan. Contohnya ada banyak pemekaran wilayah, akan tetapi belum semua terjangkau dengan kebijakan sarana prasarana dan juga anggaran.
Tata kelola keuangan juga sangat mendasar untuk dibenahi. Selama ini tenaga-tenaga bendahara di Kemenag banyak diisi oleh tenaga non-keahlian di bidang keuangan. Di dalam menjamin mengenai tata kelola keuangan untuk mencapai opini terbaik, kiranya perlu dilakukan penataan mengenai pejabat keuangan dengan memperhatikan terhadap latar belakang pendidikannya.
Kebijakan penganggaran juga penting, misalnya terkait dengan pemerataan penganggaran untuk lembaga pendidikan tinggi. Agar ada “keadilan” di dalam penyusunan anggaran sebab ada perubahan-perubahan kelembagaan yang belum diikuti dengan kebijakan sarana dan prasarana. Selain itu juga kebijakan tentang penganggaran untuk fungsi agama juga harus seirama dengan semakin banyaknya issu yang terjadi akhir-akhir ini, misalnya terorisme, narkoba, pornografi dan sebagainya. Termasuk kebijakan mengenai tunjangan untuk penyuluh non PNS. Kebutuhan kita banyak tetapi anggaran selalu tidak mencukupi.
Seirama dengan kebijakan pengembangan kelembagaan, maka juga harus diikuti dengan kebijakan pengadaan SDM yang sesuai. Jika mengandalkan CPNS, maka kebutuhan akan dosen tentu terganggu, maka diperlukan kebijakan untuk pengadaan dosen non-PNS. Akan tetapi harus diikuti juga dengan kebijakan penganggaran untuk dosen non-PNS ini. Anggaran PNBP PTKN untuk membayar dosen non-PNS tidak mencukupi.
Kebijakan tentang larangan guru untuk mutasi ke dosen juga kiranya perlu ditinjau kembali mengingat kebutuhan dosen PTKN yang sangat besar. Jika dirasakan bahwa ada PNS yang tidak lagi bisa berkembang di Madrasah, maka kiranya perlu untuk diperkenankan mutasi ke PTKN. Ada banyak doctor yang bisa dimutasi untuk menjadi dosen.
Kebijakan tentang Asrama Haji sebagai satu UPT dengan menginduk langsung ke pusat juga banyak menyisakan masalah. Sebab UPT itu lalu merasa bukan lagi merasa berada di daerah. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mengatur mekanisme relasi antara UPT Asrama Haji dengan Kanwil dan Pusat, agar sinergi untuk kepentingan kemenag bisa lebih baik.
Sebagai upaya untuk mendengarkan pendapat para rector dan kakanwil, maka saya secara sengaja tidak memberikan jawaban. Hanya saja saya harus berkomitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dirasakan sebagai penghambat mekanisme kinerja yang baik, sehingga ke depan akan bisa dilakukan capaian kinerja yang optimal.
Wallahu a’lam bi al shawab.
