ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (8)
ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (8)
Sungguh sekarang ini kita sedang menghadapi problem yang cukup berat terutama menghadapi gerakan radikalisme dan ekstrimisme yang dibingkai oleh agama. Bukan didasari tetapi dibingkai. Jadi bingkainya saja. Gerakan ini terus mengepakkan sayapnya dengan merekrut banyak komponen. Di masa lalu meraka merekrut anak-anak muda cerdas tetapi sekarang juga merekrut para perempuan. Dideteksi sudah ada dua perempuan yang siap untuk menjadi “pengantin” bom bunuh diri.
Ini merupakan ironi di sebuah negeri yang oleh dunia internasional sudah dilabel sebagai negeri yang mengembangkan agama yang damai dan moderat. Di luar negeri, di forum-forum internasional, sering diungkapkan “jika ingin belajar relasi agama yang damai belajarlah ke Indonesia”. Indonesia dianggap sebagai “laboratorium kerukunan umat beragama”. Hal ini menandakan bahwa ada keinginan dari dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai prototype membangun kehidupan beragama, setelah di beberapa negara –khususnya di Timur Tengah—sudah tidak lagi bisa diharapkan.
Secara kelembagaan, kita tentu beruntung karena memiliki organisasi keagamaan dengan jumlah pengikut yang luar biasa banyak. Saya selalu menyatakan bahwa NU dan Muhammadiyah serta organisasi yang sevisi hingga hari ini masih menyuarakan tentang perdamaian, kerukunan, keselamatan, perlunya menjaga pilar kebangsaan, yang tentu bisa menjadi jaminan bagi keberlangsungan negeri ini di dalam kancah pertarungan ideology yang terus berkembang.
Ini merupakan kekuatan kita. Namun sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama, bahwa salah satu kelemahan secara sosiologis kelompok moderat adalah karakternya yang tidak ingin tampil menggebu-gebu, semangat yang powerfull dan berteriak-teriak untuk menyuarakan aspirasinya. Bukan karena bangga akan mayoritasnya tetapi itulah watak dasar dari seluruh kelompok moderat. Makanya di dalam konsepsi sosiologis sering disebut sebagai “silent majority” yang di dalam banyak hal memang kurang berkeinginan untuk menyuarakan aspirasinya. Bukan tidak ada aspirasi tetapi mereka mengemas aspirasi itu dalam cara yang sangat halus dan santun. Bahkan juga seringkali pasrah terhadap apa yang menimpanya.
Di tengah kontestasi yang sedemikian keras, maka sesungguhnya perlu ada perubahan. Di antara perubahan yang penting itu ialah mengubah sikap yang selama ini cenderung tidak ambil peduli dengan mengubahnya menjadi ambil peduli. Take care. Yang selama ini pasrah menjadi lebih berusaha. Yang selama ini hanya berhalaqah menjadi berharakah. Menurut saya tidak ada salahnya kita mengambil konsepsi yang selama ini digunakan oleh kaum fundamentalis untuk menjadi bagian dari konsepsi ini, tentu dengan konotasi yang positif.
Namun saya juga memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya issu tentang perlunya untuk bahu membahu di antara tokoh agama yang bercorak moderat sudah dilakukan. Sudah ada banyak kyai dan ulama yang berceramah tentang “NKRI Harga Mati”. Di dalam konteks ini maka ada kesadaran yang dimiliki oleh elit NU untuk menyuarakan aspirasinya tentang bagaimana Indonesia ke depan. Mereka berusaha membangkitkan kembali ingatan terhadap sejarah masa lalu tentang bagaimana NU berperan di dalam menyelamatkan bangsa dan negara ini.
Muhammadiyah (28/12/2016) juga mengundang Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo untuk memberikan ceramah dalam kerangka untuk menjelaskan mengenai posisi Indonesia di tengah pergulatan ideology besar dunia sekarang. Menurutnya, bahwa Indonesia dengan kekuatan SDA-nya ini bisa menjadi lahan basah untuk diperebutkan oleh berbagai negara adi daya di dunia. Ketika energi yang tidak bisa diperbarukan habis, maka yang akan menjadi tempat untuk penyediaannya adalah Indonesia yang memiliki banyak potensi untuk energy alam yang bisa diperbarukan. “Dengan mengusung isu terror, maka pasukan dari berbagai negara bisa dengan mudah untuk masuk ke negara berdaulat, dan menguasai segala sumber dayanya”, begitu dinyatakannya.
Kesadaran seperti ini, rasanya akan terus bergulir seirama dengan makin kuatnya elemen kebangsaan dari segenap lapisan masyarakat kita. Ke depan, saya kira elemen organisasi Islam yang selama ini nyaris tidak kita dengar suaranya untuk menyuarakan mengenai agenda penting bangsa, yaitu menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, saya kira akan menampilkan wajah lain.
Pemimpin organisasi Islam yang watak dasarnya adalah moderat, namun di kala bangsa ini memerlukan kebersamaan untuk menyelamatkannya, maka saya kira mereka akan bersatu untuk menggalang kekuatan. Akan ada kekuatan untuk “melawan” common enemy, yaitu gerakan ekstrimisme yang mengarah ke terorisme di saat yang paling krusial. Oleh karena itu, jika sekarang posisinya berada di dalam “silent majority”, maka saya berkeyakinan bahwa di saat bangsa ini memerlukan uluran tangan kebersamaan, pastilah semua akan bersatu padu.
Sejarah PKI di Indonesia –khususnya pada tahun 1965—saya kira adalah contoh “heroic” tentang bagaimana bangsa ini dengan segenap elemen organisasi sosial keagamaannya menjadi penentu. Melalui dukungan yang sangat aktif dari seluruh komponen bangsa, maka PKI yang secara massif dan terorganisir sudah memasuki banyak komponen bangsa, akhirnya bisa diselesaikan. PKI bisa dienyahkan dari bumi Nusantara.
Sejarah bangsa seperti ini saya kira harus terus ditularkan kepada generasi muda kita yang tidak mengalaminya, agar mereka memiliki pattern for behavior di dalam melakukan tindakan-tindakannya. Guru, ustadz, dosen, kyai, pendeta, para bhiksu, pimpinan organisasi, pimpinan birokrasi dan sebagainya tentu merupakan agen-agen yang diharapkan dapat mentransformasikan nilai historis kebangsaan ini agar generasi yang akan datang siap menerima estafeta kepemimpinan bangsa berbasis pada nilai keagamaan, kebangsaan dan demokrasi yang etis.
Wallahu a’lam bi al shawab.
