• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (7)

ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN DI ERA KONTESTASI (7)
Salah satu yang menjadi tantangan bagi Islam Nusantara Berkemajuan dewasa ini tentu terkait dengan upaya berbagai pihak untuk mengaburkan, menolak dan melawan fakta yang terjadi –dalam hal ini gerakan terorisme—dengan menyatakan bahwa semua itu adalah rekayasa. Seluruh informasi itu adalah isapan jempol belaka. Terorisme itu tidak ada di Indonesia. Dengan “gagah berani” masih ada segolongan orang Indonesia yang menyatakan melalui media sosial bahwa terorisme adalah ciptaan pemerintah untuk kepentingan kekuasaan.
Masih nyaring kita dengar ungkapan bahwa gerakan terorisme di Indonesia itu bukan fakta tetapi fiksi, pencitraan, dan upaya pengalihan issu dan sebagainya. Masih ada sebagian warga Indonesia yang menyuarakan seperti itu melalui berbagai media sosial. Artinya, bahwa tindakan terorisme itu bukanlah dianggap ancaman yang harus menjadi pelajaran bagi warga bangsa Indonesia. Sebab terorisme itu, tidak lebih tidak kurang hanyalah upaya pemerintah untuk pencitraan dan pengalihan issu belaka.
Membaca pernyataan seperti itu, lalu timbul pertanyaan: apakah yang disebut terorisme itu harus “hancur berantakan” dan “luluh lantak” seperti yang terjadi di Timur Tengah, atau terjadi di beberapa negara lain? Apakah baru disebut terorisme jika seseorang melakukan tindakan yang lebih “biadab” tidak hanya membunuh dirinya sendiri melalui bom bunuh diri, akan tetapi juga membunuh orang lain sedemikian banyak. Apakah Bom bunuh diri di Bali I dan II itu bukan terorisme, tetapi rekayasa? Dan yang terakhir bom bunuh diri di Kompleks Pertokoan Sarinah Jakarta dan Mapolresta Solo juga bukan terorisme, akan tetapi sebuah rekayasa pemerintah yang dilakukan oleh Densus 88?
Saya kira kita tidak bisa menyederhanakan masalah dengan menyatakan bahwa gerakan terorisme merupakan upaya untuk pencitraan, pengalihan issu dan sebagainya, akan tetapi yang menjadi penting adalah bahwa terorisme merupakan gerakan yang sudah ada di Indonesia dan mereka akan menjadikan Indonesia sebagai lahan untuk mengembangkan ajarannya, yaitu terciptanya “Islamic State” sebagaimana yang dirancang oleh Abu Bakar Al Baghdadi dan seluruh jaringannya. Terorisme adalah tindakan “ordinary crime” atau “against humanity”.
Terror sesungguhnya bukan hanya karena yang bersangkutan melakukan tindakan pengeboman, apakah menggunakan bom bunuh diri atau lainnya, akan tetapi juga ungkapan yang dinyatakan dengan keras dan kasar dengan tujuan agar orang menjadi ketakutan, miris, dan paranoid. Jadi terror itu luas dimensinya mulai dari ungkapan sampai tindakan. Saya kira di Indonesia ini sudah bukan lagi ungkapan terror tetapi sudah tindakan terror. Jadi, logika macam apapun tentu akan membenarkan bahwa terror itu sudah terdapat di Indonesia dan bukan sekedar fiksi, pencitraan atau pengalihan issu.
Media sosial memang menjadi instrument yang dahsyat untuk mengeksegerasi fakta atau fiksi menjadi seakan-akan sangat besar atau meraksasa. Saya kira berbagai aksi yang dilakukan akhir-akhir ini tentu adalah pengaruh media sosial yang memiliki pengaruh sangat signifikan di dalam menggerakkan orang untuk melakukan tindakan yang sama. Ada misi yang sama untuk melakukan tindakan dengan membuat agenda setting berbasis pada framing yang “menarik minat”, “merebut hati”, “menyulut emosi” dan membuat orang “menggilai” tindakan itu.
Namun yang memang harus terus dicermati oleh kelompok Islam wasathiyah adalah bahwa mereka –jaringan terorisme—menggunakan media sosial sebagai wahana untuk menyebarkan gagasannya. Misalnya, seorang perempuan merelakan dirinya untuk menjadi “pengantin” bom diri karena membaca jurnal dan membaca postingan yang diunduh dari penggila ISIS. Dia merasa terpanggil untuk melakukan tindakan tersebut karena memperoleh “pencerahan” tentang makna “jihad” dalam versi mereka.
Di sinilah saya kira relevansinya, mengapa kelompok Islam wasathiyah harus terus mengembangkan media sosial yang mencerahkan dengan secara arif melakukan advokasi atau penjelasan berbagai hal terutama yang menyangkut konsep-konsep Islam yang tidak relevan dengan apa yang diyakini oleh kalangan Islam moderat.
Di tengah cyber war ini, maka Islam moderat jangan justru menjadi bulan-bulanan disebabkan cara pandang yang berbeda dengan kelompok fundamental itu.
Kelompok Islam washatiyah, Islam Nusantara Berkemajuan, tidak boleh terlena dengan zona nyaman sebagai organisasi dengan jumlah umat yang mencapai jutaan orang. Dewasa ini genderang “perebutan” SDM sudah terjadi sangat luar biasa. Mereka menggunakan berbagai macam strategi yang cukup andal untuk menggerus ideologi gerakan Islam Nusantara Berkemajuan. Makanya tantangan terbesar dari NU, Muhammadiyah dan organisasi lain yang sevisi adalah bagaimana mengerem laju fundamentalisme agama yang semakin memperolah tempat di kalangan umat.
Seharusnya banyak rilis dan komentar yang harus diposting secara terus menerus, sebagai kesepahaman untuk meluruskan yang bengkok, menjelaskan yang samar-samar dan juga membenarkan yang memang benar. Diyakini bahwa tidak semua salah dan juga tidak semua benar.
Mengikuti gaya berpikir orang Pos Modernisme, bahwa “kebenaran tunggal itu tidak ada”. Dalam prinsip Islam, kebenaran tunggal hanya milik Allah semata, dan di kala kebenaran Allah itu sampai ke tangan manusia, maka kebenaran itu sangat tergantung dari sudut dan perspektif mana dan apa yang digunakan untuk menyatakan sebagai kebenaran.
Kebenaran yang bercorak duniawi adalah hasil negosiasi. Makanya jangan ada orang atau sekelompok orang yang menyatakan klaim kebenaran sendiri. Yang terjadi sesungguhnya adalah tafsir tentang kebenaran. Agama memang berisi truth claimed, tetapi jangan berlebihan. Jangan berprinsip yang lain harus dinihilkan.
Jadi, mungkin ada kebenaran yang dimiliki orang lain dan juga ada kebenaran yang kita miliki. Makanya, sebagai wujud untuk saling menghargai “yang benar” maka toleransi adalah kata kuncinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..