• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PILKADA 2018: KETERLIBATAN ORGANISASI KEAGAMAAN (3)

PILKADA 2018: KETERLIBATAN ORGANISASI KEAGAMAAN (3)
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia sudah tidak mengenal konsepsi politik aliran. Makanya di dalam pilkada kali ini betapapun menggambarkan bahwa antara partai politik yang satu dengan lainnya kiranya menggunakan basis kepentingan. Namun demikian, yang lebih dilihat oleh partai ialah aksesibilitas calon berdasarkan polling lembaga survey yang dilakukan jauh sebelum pilkada berlangsung.
Secara sepintas saya ingin menggambarkan pilkada Jawa Timur, meskipun saya tidak mengikuti secara utuh dan mendalam. Saya mengenal dengan baik kedua tokoh calon gubernur Jawa Timur. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul adalah kawan “cengengesan”di dalam acara yang terselenggara. Beliau sangat saya sukai jika berpidato, karena humor-humor segarnya. Pasti membuat orang merasa senang dengan pidatonya.
Sedangkan Bu Khofifah Indar Parawansa juga sangat saya kenal semenjak lama. Pada waktu beliau menjadi Menteri Sosial, maka sering saya bertemu. Saya masih sering mengingat ucapannya jika bertemu saya: “Bagaimana Prof”. Saya tahu Beliau adalah pekerja keras, dan saya juga ingat ungkapan salah satu Dirjennya, yang menyatakan tentang ucapan Bu Khofifah: “wah jam 22.00 kok mata saya makin bening”. Beliau sering menyelenggarakan rapat malam hari.
Saya tahu betul bagaimana Gus Ipul sudah menjalani jabatan Wakil Gubernur Jawa Timur dalam dua periode. Beliau menjadikan mobil dinasnya itu sebagai kantornya, sebab beliau selalu berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya dan dari pesantren ke pesantren lainnya. Makanya nama beliau sangat dikenal di kalangan masyarakat. Oleh karena itu beliau memiliki keyakinan tinggi untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada ini. Hanya saja ada sedikit masalah di kala memasuki masa-masa injury time, sebab wakil gubernur yang akan mendampinginya, Pak Azwar Anas, Bupati Banyuwangi yang sarat prestasi itu tiba-tiba mengundurkan diri dari pencalonannya. Disebabkan oleh kampanye hitam, maka Beliau terpaksa mengambil keputusan mengundurkan diri dari pencalonannya. Maka beliau diganti oleh Bu Puti, keponakan Bu Megawati untuk mendampingi Gus Ipul. Pengunduran diri yang tiba-tiba tersebut tentu mengagetkan banyak pihak, dan pemilihan Bu Puti, anggota DPR RI juga tentu mengangetkan banyak pihak. Makanya, sungguh saya melihat Gus Ipul lalu “sepertinya” harus menanggung sendiri akseptabilitas sebagai calon gubernur, sebab Bu Puti tentu tidak dikenal oleh masyarakat Jawa Timur.
Sementara itu, Bu Khofifah memperoleh tandem yang sangat baik. Muda, cerdas dan berpendidikan sangat baik. Bupati Trenggalek, Emil Dardak dipilih untuk mendampinginya. Bu Khofifah yang sudah ketiga kalinya mengikuti perhelatan pilkada, tentu juga diuntungkan oleh “perasaan massa” pendukungnya di dalam dua kali perhelatan, yang dianggap sebagai orang yang “terdholimi”. Makanya, kita melihat dukungan yang luar biasa dari para pendukungnya untuk memenangkannya dalam perhelatan pilkada ketiga yang diikutinya.
Pilkada jawa Timur ini memang sungguh-sungguh menaikkan tensi politik karena keterlibatan para pimpinan pesantren dan organisasi sosial keagamaan, terutama NU. Tentu saja tidak sepanas Pilkada DKI tahun lalu, sebab pertarungannya masih berbasis pada “wilayah” NU saja. Tidak melibatkan antar agama atau bahkan antar organisasi keagamaan. Sejauh yang saya ketahui hanyalah pertarungan antar kyai dan pesantren dalam memenangkan calon yang diinginkannya.
Memang ada berbagai fatwa tentang “kewajiban ijtimaiyah” dalam memilih calon gubernur. Ada fatwa untuk memilih Bu Khofifah sebagai kewajiban yang diangkat oleh seorang kyai dari Situbondo, dan demikian pula untuk Gus Ipul meskipun hanya bersifat himbauan. Pilkada Jawa Timur memang telah membelah NU dan Pesantren. Secara riil, bahwa NU structural mendukung Gus Ipul, tetapi juga terdapat pengurus NU struktural mendukung Bu Khofifah. Secara umum, pesantren juga terbelah, misalnya Tebuireng, dengan Gus Sholah mendukung Bu Khofifah, sementara Lirboyo mendukung Gus Ipul, dan masih banyak lagi berbagai pertarungan yang terjadi.
Nyaris dua tahun NU dan Pesantren di Jawa Timur berpesta politik. Saling mendukung dan saling berebut kepentingan politik. Muaranya tentu hanya satu ialah memenangkan calon pilihannya. Disebabkan oleh artikulasi kepentingan yang sedemikian kuat ini, maka ketika di Surabaya terjadi “bom bunuh diri” maka suara NU nyaris tidak terdengar kuat. Memang ada berbagai pernyataan tentang penolakan dan pengutukan terhadap hal ini, tetapi hingar bingar politik jauh lebih perkasa.
Saya kira, NU memang memiliki romantisme politik yang luar biasa. Ketertarikan NU pada urusan politik memang telah menyejarah. Makanya jika sampai hari ini banyak warga NU yang tertarik kepada dunia politik praktis tentu bukanlah hal yang aneh. Hal itu sesuatu yang wajar saja. Oleh karena itu di saat pilkada Jawa Timur 2018 ini juga melibatkan tokoh-tokoh NU dan jajarannya tentu juga merupakan tindakan yang sangat wajar.
Hanya saja, pilkada sudah usai. Maka NU perlu kembali kepada habitatnya, yaitu Jam’iyah keagamaan yang memanggul fungsi menyebarkan agama yang wasathiyah. Masjid-masjid agar kembali diisi dengan dakwah yang berkonotasi Islam rahmatan lil alamin, masyarakat juga harus terus menerus diingatkan agar menjaga kedamaian dan persatuan. NU harus segera kembali menata jamaahnya dan masyarakat pada umumnya agar tidak tertarik kepada ideology yang menyesatkan untuk mendirikan khilafah dan daulat Islamiyah.
NU mesti harus berada di dalam kawasan untuk menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan sebagai bagian dari tugas agama atau kewajiban ijtimaiyah, yang harus terus menerus dikumandangkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..