• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

INDEKS KEBAHAGIAAN ORANG INDONESIA

INDEKS KEBAHAGIAAN ORANG INDONESIA
Pagi ini, 04/02/2018, saya membaca tentang Indeks Kebahagiaan orang Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Yang menarik bahwa Indeks Kebahagiaan tertinggi diraih oleh orang Maluku Utara dan yang terendah ialah Orang Papua. Saya tentu memohon maaf kepada para pembaca sebab saya tidak menyajikan data utuh dan juga tidak membandingkan dengan data sebelumnya mengenai indeks kebahagiaan tersebut.
Saya hanya ingin menggambarkan bahwa kebahagiaan itu sesuatu yang merupakan kumpulan atau akumulasi antara kesejahteraan yang di dalam banyak hal didekati dengan pendekatan ekonomi, misalnya pendapatan dan pengeluaran lalu ditambahkan dengan keterlibatan emosi, perasaan dan hati. Kebahagiaan bukanlah sekedar dilihat dari pendekatan ekonomi yang bercorak kurang lebih, akan tetapi didekati dengan keterpenuhan atau ketercukupan paduan antara kesejahteraan ditambah dengan suasana hati dan perasaan. Makanya kebahagiaan—dalam konteks survey BPS—lalu bisa saja bersifat juga kurang lebih. Maksudnya ada saat bahagia dan ada pula saat yang kurang dan tidak bahagia.
Saya ingin menyatakan bahwa hasil survey atau riset tentang kebahagiaan hanya menggambarkan dimensi sosial dan selebihnya tidak menggambarkan saat di mana kebahagiaan sesungguhnya sedang singgah di dalam diri kita. Dengan kata lain, bahwa hasil survey atau hasil analisis tentang data kebahagiaan hanyalah menggambarkan dimensi luar saja dari kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan itu sangat individual, dan tergantung bagaimana makna kebahagiaan tersebut bagi orang per orang.
Saya pernah melakukan kritik terhadap indicator BPS sebagai penentu atau ukuran kebahagiaan. Di dalam tulisan di Blog saya –tentu saya lupa tahun berapa—saya pernah kemukakan bahwa dengan ukuran yang sangat reduktif maka tidak akan bisa menemukan hakikat kebahagiaan tersebut. Ukuran kebahagiaan kala itu adalah dengan indicator pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, jumlah anak, lingkungan fisik, lingkungan sosial, kehidupan keluarga, dan lainnya, namun tidak menyertakan dimensi religiositas, spiritualitas, dan indicator-indikator emosionalitas, pernyataan perasaan, hati dan nuansa batiniah lainnya.
Jika menggunakan ukuran fisikal seperti itu, maka yang terjaring hanyalah “kebahagiaan semu” atau “pseudo happiness”. Pasti tidak didapatkan hasil hakikat kebahagiaan yang sebenarnya. Dan memang tugas BPS adalah memberikan gambaran tentang angka-angka yang secara umum atau data-data agregat yang secara mendasar hanya akan menjelaskan tentang tingkat kebahagiaan dan bukan hakikat kebahagiaan.
Sekali lagi dalam perspektif agama, kebahagiaan itu adalah ketercukupan secara fisikal dalam pemenuhan kebutuhan dan kepastian spiritual dan religious mengenai ketiadaan tekanan dalam kehidupan dan kepasrahan menghadapi kehidupan, kecukupan rasa syukur dan merasakan mendapat kerahmatan dan kerahiman Tuhan. Begitu kompleksnya indikator untuk menggambarkan tentang kebahagiaan tersebut. Jadi saya ingin menggambarkan bahwa data agregat boleh saja untuk mengukur tingkat kebahagiaan dan sesungguhnya ialah kesejahteraan dan kemudian dijadikan sebagai standart untuk merumuskan kebijakan dalam pembangunan bangsa.
Sesungguhnya kebahagiaan adalah persoalan individu. Sangat personal. Orang bisa saja menganggap dengan harta yang melimpah, maka kebahagiaan itu sudah datang menjelang. Dengan kekuasaan yang luar biasa juga bisa dianggap oleh orang lain telah mendapatkan kebahagiaan. Namun demikian, ternyata tidaklah pasti. Harta yang banyak, kekuasaan yang besar terkadang justru menjadi beban, misalnya dalam contoh sederhana ialah keinginan untuk mempertahankannya. Maka lalu di mana kebahagiaan itu? Harta dan kekuasaan ternyata juga belum tentu membahagiakan.
Orang yang secara ekonomi sangat sederhana, hanya cukup untuk makan sehari-hari dengan rumah yang sederhana juga, tetapi rumah sendiri, bahkan terkadang merasakan kebahagiaan. Jadi merasa cukup atas segala sesuatu yang menjadi haknya adalah tanda-tanda kebahagiaan. Jadi, orang yang merasa cukup dengan karunia Tuhan hari ini adalah orang yang “mendekati” kebahagiaan.
Menjadi bahagia tentu lalu bisa dikaitkan dengan perasaan menerima, pasrah dan syukur atas semua karunia Tuhan. Dengan demikian, kebahagiaan sungguh tidak bisa diukur dengan harta, kekuasaan, kehebatan dan prestasi yang luar biasa. Akan tetapi diukur oleh perasaan diri sendiri di dalam menghadapi kehidupan itu.
Dengan demikian, selama di dalam hati kita masih terdapat keinginan yang harus dicapai dan keinginan tersebut makin jauh dari indikasi keberhasilan, maka di saat itu dipastikan kebahagiaan terasa tidak akan secepatnya datang kepada kita.
Lalu bagaimana kita menghadapinya. Maka jawabannya, menerima dan pasrah atas takdir Tuhan lalu bersyukur atas semua yang ditakdirkan untuk kita. Jika kita bisa seperti itu, maka sesungguhnya kebahagiaan itu sudah akan menjemput kehidupan kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..