INTEGRASI KELEMBAGAAN DALAM PENDIDIKAN
Di dalam suatu kesempatan memberikan presentasi pada acara Seminar Internasional dan Rapat Kerja Nasional Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia (APDI) di Hotel Oval Surabaya, 31 Oktober 2010, Mendiknas, Prof. Dr. Mohammad Nuh, DEA mengungkapkan sesuatu yang sangat menarik, bahwa dalam rangka integrasi ilmu pengetahuan atau yang biasa disebut sebagai islamisasi ilmu pengetahuan, maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah integrasi kelembagaan. Sebab melalui integrasi kelembagaan, maka turunannya akan bisa untuk diintegrasikan.
Hal ini merupakan ungkapan yang sangat menarik, sebab selama ini masih ada anggapan arogansi kelembagaan di antara berbagai kementerian di negeri ini. Dengan kata lain, ada sesuatu yang tidak saling menyapa di antara berbagai institusi pemerintahan tersebut. Atau sekurang-kurangnya bisa dinyatakan ada kelemahan koordinasi di antara institusi dimaksud. Suatu contoh yang sangat mengedepan adalah berbagai program yang tumpah tindih dari berbagai kementerian. Program pengentasan kemiskinan, misalnya bisa ada di setiap kementerian, sehingga terjadi tumpang tindih program.
Melalui pernyataan Mendiknas ini, maka kita menjadi tahu bahwa sesungguhnya sudah ada perubahan paradigma yang sangat mendasar terutama di Kementerian Pendidikan Nasional dalam kaitannya dengan program pendidikan. Program pendidikan tersebut berada di dalam suatu sistem, yang semuanya bersumber dari UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 20 Tahun 2003.
Melalui sistem pendidikan nasional yang menyatu tersebut, maka pendidikan nasional bisa diselenggarakan tidak hanya oleh Kementerian Pendidikan Nasional, akan tetapi juga oleh Kementerian Agama. Maka integrasi sistem pendidikan yang diwujudkan dalam integrasi kelembagaan menjadi penting. Melalui sistem pendidikan nasional yang secara eksplisit menyebutkan tentang nomenklatur pendidikan agama dan keagamaan, dengan berbagai variannya, maka sesungguhnya pendidikan agama dan keagamaan sudah diadaptasi sedemikian kuat di dalam sistem pendidikan nasional.
Kemudian, yang sangat diperlukan adalah bagaimana pengelolaan pendidikan tersebut di dalam kerangka keadilan dan ekualitas, baik di dalam pendanaan maupun prosesnya. Makanya, Kementerian Pendidikan Nasional yang menjadi tempat untuk penganggaran harus mengalokasikan anggarannya untuk memperoleh ekualitas dan keadilan tersebut.
Suatu contoh adalah tentang kebijakan untuk masing-masing perguruan tinggi harus mengalokasikan akses bagi mahasiswa miskin sebesar 20 persen. Hal ini tentu didasari oleh kenyataan bahwa selama ini akses pendidikan tinggi bagi orang miskin di PTN sangat sedikit. Mereka selalu kalah bersaing dengan orang kaya yang memang bisa menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran yang lebih baik, misalnya bisa menambah jam pelajaran melalui kursus atau bahkan menyediakan dana yang memadai untuk memasuki jenjang pendidikan ekstensi dan sebagainya.
Sedangkan bagi yang miskin karena ketiadaan kesempatan untuk penambahan jam belajar, ketiadaan fasilitas yang cukup dan keterbatasan dana, maka mereka hanya akan bisa memasuki pendidikan klas berikutnya atau bahkan tidak memperoleh akses pendidikan sedikitpun. Itulah sebabnya, PTN harus “dipaksa” untuk menyediakan kursi atau seat bagi mahasiswa miskin berprestasi agar bisa terlibat di dalam akses pendidikan tinggi yang berkualitas.
Makanya, kemudian diluncurkanlah satu paket program Beasiswa Pendidikan Bagi Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi) yang pada tahun 2010 memang jumlahnya baru 20.000 orang di seluruh Indonesia di berbagai PTN maupun PTAIN. Menurut Mohammad Nuh, selama ada N atau negeri, maka diberi kesempatan untuk melayani mereka yang tergolong miskin berprestasi tersebut. Di sini tidak ada lagi diskriminasi perlakun. Baik PTN yang berada di Kementerian Pendidikan Nasional maupun PTAIN yang berada di Kementerian Agama. Semua diberi program ini. Termasuk IAIN Sunan Ampel juga memperoleh program Bidikmisi yang sangat populistik itu.
Integrasi kelembagaan tersebut sedikit atau banyak memang sudah dilakukan. Keberadaan program studi umum di PTAIN di bawah Kementerian Agama dan juga Fakultas Agama di PTN di bawah Kementerian Pendidikan Nasional adalah contoh kongkrit tentang integrasi kelembagaan tersebut. Apakah hal ini by design atau tidak, akan tetapi proses sejarah ini menjadi sangat penting bagi program integrasi ilmu.
Berkembangnya UIN dengan fakultas-fakultas umum dan juga semakin kuatnya fakultas ilmu agama di UIN, bahkan juga semakin berminatnya PTN menyelenggarakan pendidikan agama, rasanya bisa menjadi bukti bahwa integrasi antara pendidikan agama dan umum sudah dilakukan secara memadai dan on the right track.
Arah pembangunan pendidikan di Indonesia, kiranya sudah pada jalur yang benar. Yaitu bagaimana membangun pendidikan yang berbasis pada pelibatan pendidikan bagi semua masyarakat Indonesia. Jadi, arah pembangunan pendidikan yang berbasis kerakyatan yaitu melibatkan semua komponen masyarakat Indonesia tanpa memandang bulu, kaya atau miskin, kota atau desa, pusat atau pinggiran adalah suatu upaya agar misi kemerdekaan, yaitu mencerdaskan kehidupan masyarakat Indonesia akan dapat dicapai.
Dengan demikian, reformasi pendidikan Indonesia akan bisa dicapai jika kebijakan pembangunan pendidikan diarahkan agar semua elemen bangsa ini memperoleh akses pendidikan seluas-luasnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.