• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

REZIM POLITIK VERSUS REZIM EKONOMI

Dahulu di era Presiden Soekarno, maka ada satu istilah yang dikonstruksi oleh para penentang dominasi politik terhadap kebijakan yang menjadikan politik sebagai panglima. Era tersebut kemudian ditandai dengan jatuh bangunnya pemerintahan, melalui pengunduran diri perdana menteri yang terjadi. Era itu memang ditandai dengan dominasi politik, artinya bahwa partai politik sangat powerfull dalam mengendalikan pemerintahan.

Konflik politik di dalam berbagai variasinya sangat berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. System koalisi yang rapuh juga menyebabkan pertarungan internal koalisi sering mengemuka. Makanya, selama pemerintahan Presiden Soekarno lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan konflik politik ketimbang membangun ekonomi secara makro. Hingar bingar politik jauh lebihnyaring suaranya dibandingkan dengan dering suara ekonomi yang mencuat. Akibat lebih jauh adalah  terpuruknya perekonomian di era tersebut.

Politik memang menjadi panglima. Sehingga orang-orang politiklah yang menentukan ke mana arah Negara akan dibawa. Rakyat pun dijejali dengan kampanye, pidato dan dininabobokkan dengan untaian kata-kata yang membakar semangat untuk mendukung partai A atau B. Pidato-pidato politik menjadi bisa terjadi dan didengarkan dimana-mana. Semuanya dilihat dari perspektif politik, sehingga semua analisis dan kebijakannya juga bersenada dengan dunia politik yang hingar binger itu.

Maka kata yang dominan adalah revolusi. Kata ini untuk mewakili keinginan perubahan cepat di dalam dunia politik dan bukan di dalam aspek ekonomi. Di mana-mana orang bicara tentang revolusi dan revolusi. Kemudian dikenal Presiden Soekarno dengan sebutan Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi (PYM-PBR), sebuah sebutan untuk menggambarkan tentang representasi beliau sebagai pemimpin yang ingin melakukan perubahan cepat, akan tetapi lebih ke dimensi politik.

Semuanya kemudian berakhir di era Presiden Soeharto. Jika Soekarno dikenal dengan sebutan kebijakannya yang menjadikan politik sebagai panglima, maka Soeharto dikenal dengan sebutan kebijakannya yang menjadikan ekonomi sebagai panglima. Dampaknya, kata pembangunan menjadi sangat digdaya. Di mana-mana orang bicara tentang pembangunan. Orang membuat proposal, pidato, diskusi, seminar dan bahkan menulis buku juga harus ada kata pembangunan. Kata ini menjadi ungkapan suci dalam sistem pemerintahan kala itu.

Presiden Soeharto selalu bicara dengan data. Ritual pidato setiap bulan Agustus juga diwarnai dengan ungkapan angka-angka tentang perkembangan ekonomi dalam berbagai aspeknya. Anggaran pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana digenjot sedemikian rupa. Presiden Soeharto sesungguhnya sudah belajar dari kegagalan Presiden Soekarno dalam membangun negeri ini. Sarana dan prasarana pendidikan ditingkatkan melalui Inpres pendidikan dasar. Sarana dan prasarana perekonomian juga digenjot melalui inpres pasar, pembangunan ekonomi melalui Bimas, irigasi, pengeboran air tanah, dan sebagainya.

Dari sisi ide, maka yang ingin dicapai oleh Presiden Soeharto memang sangat bagus. Melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan kitab suci pembangunan bangsa, maka sudah dicanangkan pembangunan jangka pendek, menengah dan  panjang. Sungguh, apa yang menjadi impian Presiden Soeharto itu sudah berada di jalur yang benar. Itulah yang saya nyatakan bahwa visi pengembangan Indonesia sudah on the right track. Sudah berada di jalur yang benar.

Hanya sayangnya, bahwa dana trilyunan rupiah yang dialokasikan untuk pembangunan masyarakat ternyata tidak sampai atau kurang ketika berada di masyarakat. Anggaran negara tersebut banyak yang dikorupsi, menurut perkiraan sebesar 30 persen.   Akibatnya, pembangunan yang secara ideal akan digunakan sebagai sarana untuk membangun masyarakat, akhirnya justru untuk kepentingan individu. Para pejabat kemudian melakukan tindakan koruptif yang kemudian semakin menggurita. Korupsi kemudian menjadi penyakit masyarakat. Tidak hanya itu, kolusi dan nepotisme juga mewarnai seluruh kehidupan di negeri ini.

Makanya, kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belajar kepada keduanya. Dari sisi pembangunan masyarakat, maka kemudian dibentuklah beberapa tim yang dijadikan sebagai Badan pengawas Pembangunan dan keuangan pemerintah dengan fungsi yang optimal. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diundangkan agar posisinya kuat berhadapan dengan siapa saja. Demikian pula Inspektorat jenderal, Badan Pengawas Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) yang dimekarkan di daerah-daerah dan sebagainya. Semuanya ini dilakukan karena belajar dari Orde baru. Sangat bagus di perencanaan, akan tetapi hancur di implementasi dan pengawasan.

Kemudian dalam bidang politik, maka juga dikebiri  sebagaimana di era orde baru. Aspek politik diberikan ranah yang luas bahkan untuk menentukan anggaran dan juga “pengawasan” anggaran. Makanya, mucullah berbagai Pansus. Dan yang paling fenomenal adalah Pansus Bank Century. Selain dugaan penyelewengannya yang sangat besar, juga angkanya memang fantastis.

Dari sisi politik, maka dugaannya sangat kuat bahwa bailout Bank Century melibatkan pejabat yang sangat jelas, yaitu Sri Mulyani  dan Boediono. Keduanya menjadi orang penting di negeri ini setalah terpilih menjadi Menteri Ekonomi dan Wakil Presiden. Keduanya sekarang sedang diincar oleh DPR dan juga KPK. Bahkan juga beberapa kali didemo oleh mahasiswa. Bahkan Golkar dan Hanura juga memboikot setiap ada kegiatan bersama menteri keuangan. Secara implicit konflik ini menandaskan adanya persaingan ranah kekuasaan antara pemerintah dengan DPR.

Di era seperti ini, maka kelihatan ada sebuah kontestasi yang dilakukan oleh pemerintah di satu sisi dengan DPR di sisi yang lain. Inilah yang dalam bahasa saya ungkapkan rezim politik versus rezim ekonomi.

Wallahu a’lam bi al shawab.     

Categories: Opini