MAKNA PENCABUTAN UU BHP BAGI PTAIN
Mungkin di antara pembaca Harian Duta bertanya, kenapa IAIN Sunan Ampel melakukan tasyakuran dengan dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Apa relevansinya bagi IAIN Sunan Ampel sampai-sampai harus tasyakuran segala. Tulisan ini secara ringkas akan membahas tentang UU BHP dari perspektif Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memang semula menerima BHP dengan setengah hati. Penerimaan setengah hati tersebut tentu didasari oleh kenyataan secara empiris, betapa beratnya seandainya PTAIN menjadi perguruan tinggi yang berbadan hukum sebagaimana tertera di dalam BHP.
Bagi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), menjadi BHP memang merisaukan. Bukan karena apa, akan tetapi disebabkan oleh kebanyakan realitas di lapangan bahwa jumlah peminat untuk memasuki PTAI relative terbatas, kemudian kemampuan untuk mengakses anggaran dari masyarakat juga sangat terbatas. Padahal menjadi BHP tersebut identik dengan kemandirian dan otonomi kelembagaan pendidikan tinggi yang secara kelembagaan harus memperoleh anggaran secara mandiri. Memang ada aturan bahwa penarikan dana SPP dan sumbangan lain dari masyarakat tidak boleh melebihi 30% anggaran PT, akan tetapi di dalam kerangka untuk meningkatkan generate incomenya, maka PT bias berusaha dengan berbagai varian, sehingga terjadi peningkatan masukan anggaran bagi PT yang bersangkutan.
Sehari setelah pencabutan UU BHP, saya sempat diwawancarai Radio El Shinta tentang pandangan saya sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel terkait dengan pencabutan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Saya nyatakan bahwa saya senang dengan dicabutnya UU BHP karena memang bagi PTAIN seperti IAIN Sunan Ampel, pelaksanaan UU BHP akan terasa menyulitkan. Jika bagi Perguruan Tinggi besar seperti UI, ITB, UGM, UNAIR, IPB dan sebagainya memang tidak menjadi masalah bahkan cenderung menguntungkan, sebab selama ini mereka telah menjadi perguruan tinggi dengan status Badan Hukum Miliki Negara (BHMN) yang ternyata justru lebih survive dan menguntungkan. Akan tetapi bagi PTAI yang selama ini kehidupannya sangat tergantung kepada subsidi pemerintah, lewat APBN, maka sangat khawatir bahwa dengan menjadi BHP akan menyulitkan dirinya sendiri.
Seandainya, minat ke PTAIN itu sama dengan yang ke UI, ITB, Unair, IPB, UGM atau lainnya yang memang memanggul ilmu duniawi, maka mungkin saja kerisauan itu tidaklah sedemikian kuat. Akan tetapi dengan kenyataan bahwa minat untuk studi Islamic studies yang memang sedari semula kecil, maka yang dikhawatirkan adalah ketidakmampuan PTAIN untuk mengarrange anggaran yang relative besar sebagai konsekuensi memasuki BHP. Bagi PT yang sudah menjadi BHMN juga memperoleh manfaat yang besar terkait dengan generate incomenya. Misalnya UI yang sebelum menjadi PT BHMN hanya memperoleh anggaran sebesar Rp. 200 Milyard, maka setelah menjadi PT BHMN maka penghasilannya meningkat menjadi Rp.800 Milyard. Demikian pula UGM juga meraup dana sebesar Rp. 600 Milyard.
Yang diinginkan oleh PTAI adalah otonomi akademik. Artinya, bahwa yang diinginkan adalah lembaga pendidikan yang tetap dalam kerangka perguruan tinggi negeri, akan tetapi memiliki otonomi akademik yang lebih luas. Makanya, pilihannya adalah di dalam pengelolaan keuangannya adalah BLU, di mana lembaga pendidikan tinggi memiliki otonomi dalam penganggaran keuangannya, sehingga akan didapatkan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.
Makanya yang dibutuhkan adalah suatu pedoman yang akan mengatur otonomi akademis dan otonomi keuangan tetapi tidak dalam kerangka menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai sarana bisnis untuk memperbesar perolehan anggarannya.
Di dalam kerangka ini, maka UU BHP dapat direvisi dengan menghilangkan beberapa dampak negative komersialisasinya, dan memberikan penghargaan bagi varian-varian pengelolaan lembaga pendidikan tinggi sambil mengangkat otonomi akademik yang lebih luas. Dengan demikian, ada aspek positif BHP yang dapat diambil, misalnya PT harus menyediakan peluang bagi mahasiswa miskin brprestasi sebesar 20%, dan kemudian anggaran dari masyarakat tidak lebih dari 30% dan sebagainya.
Jadi, ke depan tetap dibutuhkan suatu pedoman atau aturan yang dapat menjadi payung hukum yang mengatur mengenai mekanisme PTN yang memiliki otonomi akademik di satu sisi dan di sisi lain memiliki fleksibilitas dalam mengatur keuangannya, sehingga kemandirian PT tersebut secara langsung akan bisa diperoleh.
Wallahu a’lam bi al shawab.