MASYARAKAT RASIONAL VERSUS EMOSIONAL
Saya merasa senang ketika Ahad, 4 April 2010 kemarin, saya sempat menikmati acara pertandingan tinju di TVone yang mempertontonkan pertandingan antara John Bernard Hopkin melawan Roy Jone Jr. Bukan kualitas pertandingan tinjunya yang menyenangkan, akan tetapi karena saya memperoleh kesempatan menonton pertandingan tinju yang sangat jarang saya nikmati akhir-akhir ini. Saya sesungguhnya penggemar tinju, meskipun belum pernah nonton tinju langsung di arena ring tinju.
Ada banyak nama petinju legendaris yang saya tahu. Misalnya Mohammad Ali, George Foreman, Joe Frazier. Saya teringat ketika Mohammad Ali menang melawan George Foreman di Kinshasa Zaire, ketika saya masih di bangku sekolah menengah. Pertarungan itu bagi saya merupakan tinju yang paling heroic. Demikian pula pertarungan kedua antara Joe Frazier melawan Mohammad Ali, juga merupakan pertarungan hidup mati. Dan saya sangat menikmati pertandingan tinju tersebut.
Kemudian generasi berikutnya seperti Mike Tyson, George Buster Douglas, Evander Holyfield. Dan kemudian petinju akhir-akhir ini, seperti Klisctko bersaudara, Ruslan Chagaev, dan sebagainya. Saya tentu masih ingat kekalahan Mike Tyson oleh George Buster Douglas, dan juga ciak kuping Mike Tyson kepada Evander Holyfield. Pertarungan antara Tyson versus Holyfield saya saksikan, ketika saya mengajar di IAI Ibrahimy Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo.
Petinju-petinju hebat lainnya di kelas yang lebih bawah, seperti Roy Sugar Leonard, Thomas Hearns, Marvin Hagler. Lalu Felix Trinidad, Roy Jone Jr, John B. Hopkin, Oscar de La Hoya, Manny Pacquiao, Julio Cesar Chaves, Erick Morales, Antonio Barera bahkan Christ John dan juga Ellias Pical. Dua yang terakhir adalah juara dunia dari Indonesia yang tentu saja sangat dikenal oleh public tinju sebagai petinju yang mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.
Yang menarik saya, tentu pernyataan-pernyataan sosiologis yang diungkapkan oleh komentator tinju, seperti M. Nigara. Ada pernyataan menarik ketika di dalam partai tambahan, petinju Sergio Mora mengalahkan lawannya. Lawannya itu dinyatakan kalah dengan Tecknical Knock Down (TKO), meskipun secara fisik masih kelihatan sangat fit. Lawannya –saya lupa namanya—dinyatakan kalah ketika yang bersangkutan menerima pukulan-pukulan dan tidak membalasnya. Oleh wasit langsung dihentikan. Tentu saja yang bersangkutan merasa dirugikan. Tetapi semuanya tidak ada yang protes, sebab yang menentukan pertandingan dilanjutkan atau tidak adalah wasit. Penonton dan bebotohnya atau offisialnya tidak memiliki kewenangan untuk mengatur pertandingan.
Maka M. Nigara lalu menyatakan bahwa “menyelamatkan petinju jauh lebih penting dibandingkan lainnya. Sebab terlambat satu menit saja bisa fatal. Cuma saja, jika di Amerika Serikat yang kiblatnya tinju, peristiwa seperti ini merupakan hal yang sangat biasa. Dan semua orang menghormati keputusan wasit sebagai pemimpin pertandingan. Bayangkan kalau itu terjadi di Indonesia, maka kursi-kursi bisa melayang di atas kepala.”
Tanpa ada keinginan untuk membela M. Nigara, tetapi pernyataan itu memang sangat empiris. Ada banyak pertandingan sepakbola yang rusuh. Ada pertandingan tinju yang bentrok. Ada pertandingan bola voli yang gaduh dan sebagainya. Semuanya disebabkan oleh dukungan yang bercorak emosional ketimbang rasional. Tanpa ada keinginan untuk menutupi bahwa sepakbola di barat juga sering bermasalah dengan ulah pendukungnya, akan tetapi kasus seperti itu bisa diredam dengan tindakan tegas para aparat keamanan.
Yang merisaukan kita tentunya adalah mengapa masyarakat bangsa ini sering menjadi pemarah? Coba kita pikirkan, bahwa mereka akan menonton bola, akan tetapi mereka membawa alat-alat untuk bentrok seperti ketapel, rantai sepeda, batu, pentungan dan sebagainya. Padahal sebenarnya mereka akan menonton pertandingan, yang sedari awal mesti harus disadari ada kalah dan menang. Dan setiap pertandingan mesti mengedepankan sportivitas. Seharusnya tidak hanya pemainnya saja yang sportif, akan tetapi juga penonton dan offisialnya.
Bukankah sepakbola, tinju, bola voli dan sebagainya adalah tontonan atau hiburan, sehingga dimensi tontotannya tentu harus mengedepan. Makanya tindakan emosional tentu tidak diperkenankan di dalamnya. Hanya saja, tindakan kekerasan memang sudah menjadi irama di dalam pertandingan apapun. Makanya, jika ada pertandingan lalu tidak ada kekerasannya seperti sayur kurang asam.
Masyarakat ini memang sedang terkena sindrom menang. Makanya apa yang dilakukan harus memperoleh kemenangan. Dan jika kalah, selalu mencari kambing hitam. Bukan sekedar mencari kambing hitam, akan tetapi juga menghadirkan kekerasan untuk memperoleh kemenangannya.
Jika sudah seperti ini, maka sebaiknya kembali kepada diri individu masing-masing. Apakah kita akan terus menjadi masyarakat bangsa pemarah atau akan menjadi masyarakat bangsa yang peramah. Tentu saja pilihan kita adalah yang kedua.
Wallahu a’lam bi al shawab.