• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERLU KESADARAN BARU PASCA KASUS GAYUS

Gayus Tambunan sudah kembali dari persembunyiannya di Singapura, sementara  istri dan anaknya juga sudah kembali ke Indonesia. Seperti kita tahu bahwa Gayus Tambunan adalah salah satu tersangka dalam kasus penggelapan pajak yang menyita seluruh pemberitaan di media. Pegawai direktorat perpajakan yang masih muda ini ternyata memiliki record relatif fantastis dari sisi kekayaan, meskipun dia hanya pegawai golongan III. Ternyata dia memang memiliki keahlian sebagai mafia pajak di Indonesia.

Sebagai sebuah mafia, tentu saja dia tidak sendiri. Kasus ini ternyata melibatkan beberapa Jenderal Polisi. Sementara yang lain, atasan Gayus Tambunan sedang dalam proses penyidikan. Melihat kemungkinannya,  maka ada banyak pejabat di direktorat perpajakan yang akan menjadi tersangka. Sepertu diketahui bahwa urusan mafia pajak memang bercorak sistemik, artinya tidak mungkin dilakukan sendiri.

Mafia pajak bukan perkara baru. Artinya, bahwa sesungguhnya kasus mafia pajak itu sudah menjadi rahasia umum. Hanya karena sistem yang digunakan untuk melakukannya sangat rapi, sehingga kasus ini agak sulit diungkap. Baunya menyengat tetapi sulit ditangkap. Makanya semenjak orde baru tidak banyak kasus mafia pajak yang bisa diseret ke pengadilan.

Kasus Gayus Tambunan sesungguhnya membuka mata kita bahwa pengelolaan negeri ini sungguh bobrok. Tidak salah jika PERC memberikan skor yang sangat tinggi untuk korupsi di Indonesia. Di Asia ternyata Indonesia adalah negara terkorup dengan indeks korupsi 9,7 yang artinya negara dengan tingkat korupsi yang nyaris sempurna.

Di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan gerakan pemberantasan korupsi dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian dan sebagainya. Akan tetapi pemberantasan korupsi yang telah dilakukan tersebut ternyata belum sampai mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan. Kasus Century, Kasus Markum, Kasus Mafia Pajak dan sebagainya seakan-akan memberikan pemahaman kepada kita, bahwa dunia penegakan pemerintah yang baik dan bersih (good governance and clean government) masih jauh panggang dari api. Artinya, bahwa pemerintahan yang bersih  dan baik belumlah menjadi kenyataan di sini.

Beberapa instansi pemerintah yang sementara ini terkait dengan masalah financial, misalnya perpajakan memang rawan persoalan. Meskipun pemerintah sudah menyelenggarakan renumerasi terhadap penghasilan atau gaji bagi para pegawainya, akan tetapi ternyata renumerasi pun tidak ada artinya. Melalui system renumerasi yang sudah dilakukan di kementerian keuangan, maka diharapkan agar para pegawainya tidak melakukan penyelewengan.

Namun demikian, dengan terkuaknya kasus Gayus Tambunan, maka renumerasi seakan tidak ada artinya. Ibaratnya, di tangan kanan ada renumerasi system penggajian dan di tangan kiri ada kesempatan untuk mengeruk uang lebih banyak, maka ternyata pilihannya justru pada tangan  kiri. Tentu masalahnya adalah di tangan kirinya ada uang yang jauh lebih banyak. Renumerasi mungkin akan bermanfaat bagi pegawai negeri yang memang tidak bersentuhan dengan uang secara langsung.

Sebagai seorang pegawai negeri, maka ketentuan system penggajian itu sudah ditentukan secara pasti. Makanya, jika ada seorang pegawai negeri yang tanpa usaha yang jelas kemudian menjadi kaya, maka tentu bisa dipertanyakan dari mana kekayaannya itu.

Beberapa minggu ini ada usulan agar aparat penegakan anti korupsi melakukan pengecekan ulang terhadap harta kekayaan para pejabat di lingkungan kementerian keuangan terutama yang terkait dengan direktorat perpajakan. Usulan ini tentu sangat baik dalam kerangka untuk menilai kewajaran sang pejabat dengan harta yang dimilikinya.

Melalui pengecekan ulang terhadap harta kekayaan pejabat dalam berbagai eselonnya tersebut tentu harapannya adalah agar diketahui secara pasti ada atau tidak ada penyelewengan yang pernah dilakukan di kalangan para pejabat tersebut. Tentu saja jawabannya bias berhasil dan bias juga tidak.

Hal ini tentu saja didasari oleh kenyataan bahwa orang Indonesia itu banyak akalnya. Harta kekayaan itu sudah dibagi-bagi dalam beberapa nama yang diperkirakan membuat keamanan bagi yang bersangkutan. Sehingga pencantuman harta kekayaan bisa saja disesuaikan dengan kemauan dan kenyataan yang sudah direkayasa.

Selain itu juga mentalitas para pemeriksa harta kekayaan juga masih bisa dipertanyakan. Bukankah semakin banyaknya kreativitas untuk melakukan korupsi juga dipicu oleh lemahnya ikatan kesadaran yang dimiliki oleh para aparat penegak hukum.

Jika demikian, maka rasanya tetap akan menuai kesulitan ketika usaha-usaha untuk memberantas korupsi dilakukan di Indonesia ini.

Hanya ada satu cara yang seharusnya dilakukan, yaitu membangun kembali kesadaran akan tanggungjawab individu, social dan Tuhan dalam urusan yang menyangkut public finance.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini