KONVERSI IAIN KE UIN
Saya menerima sebuah pertanyaan dari mahasiswa IAIN Sunan Ampel yang mempertanyakan tentang kenapa ingin berubah menjadi UIN dan apakah perubahan menjadi UIN tidak akan menyebabkan posisi islamic studies menjadi terpinggirkan. Ada kekhawatiran bahwa perubahan menjadi UIN akan membawa dampak perubahan konsentrasi terpecah atau menambah beban baru.
Pertanyaan seperti ini, sesungguhnya sudah terlalu sering saya dengar dan saya baca. Bahkan juga sudah banyak jawaban saya yang saya publish di blog. Banyaknya keingintahuan tentang alasan kenapa konversi ke UIN akan dilakukan, tentu saja menjadi penting di tengah keinginan berubah tersebut. Dan pertanyaan ini juga sekaligus untuk memantapkan persiapan seluruh civitas akademi di dalam kerengka kepentingan konversi ke UIN dengan belajar dari UIN-UIN yang sudah lebih dulu melakukan konversi.
Untuk menjadi UIN tentu bukan hanya aspek islamisasi ilmu yang penting, tetapi juga memberikan peluang yang lebih besar kepada para alumni SMA/Aliyah pondok pesantren yang karena factor ekonomi kemudian tidak bias melanjutkan pendidikan ke program studi sains. Bukankah sudah menjadi kenyataan bahwa tingkat ekonomi masyarakat, terutama yang menyekolahkan anaknya ke pesantren adalah mereka yang bukan dari kelompok ruling klas secara ekonomi.
Kebanyakan peminat studi di UIN atau IAIN adalah orang-orang yang secara ekonomi adalah klas menengah ke bawah. Memang belum ada survei tentang hal ini, akan tetapi secara commonsense tentu saja bisa diduga bahwa kebanyakan mahasiswa memang datang dari klas seperti itu.
Mendirikan lembaga pendidikan Islam tentu memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi akademis dan dakwah. Dalam fungsi akademis, maka dengan memperluas spektrum keilmuan berarti akan memperluas dan memberikan akses kepada anak bangsa untuk menjadi akademisi yang selain memiliki keahlian dalam bidang studinya juga menjadi da’i.
Bukankah menjadi sangat ideal, jika ada da’i dengan kemampuan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an melalui pendekatan akademis, sementara juga terdapat ahli agama yang sangat berkualitas karena ketuntasannya dalam memahami agama. Dengan demikian, di satu sisi akan dihasilkan ahli agama yang sangat cualified dan juga dihasilkan ahli science yang memiliki keahlian keilmuan yang sangat memadai dan sekaligus menjadi ahli agama yang memiliki komitmen bagi pengembangan keilmuan dan masyarakat.
Dahulu saya memiliki asumsi, bahwa mahasiswa yang kebanyakan berasal dari pelosok-pelosok pedesaan adalah meraka yang memiliki kualitas jauh di bawah mereka yang berasal dari perkotaan dan kebanyakan orang kaya. Akan tetapi dugaan ini harus direvisi, sebab ketika saya keliling ke lembaga-lembaga pendidikan Islam di seluruh Jawa Timur, ternyata dugaan itu salah. Ada banyak mahasiswa di pelosok Jawa Timur yag secara ekonomis tidak kaya, ternyata memiliki pandangan dan wawasan yang jauh lebih baik bahkan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari perkotaan dan kaya. Artinya, bahwa secara konseptual dapat dinyatakan tidak ada korelasi yang signifikan antara kekayaan, asal wilayah dengan kemampuan akademis seseorang.
Selain untuk tujuan memberikan akses bagi alumni pondok pesantren dan masyarakat lainnya yang memiliki kemampuan ekonomis sangat terbatas, akan tetapi memiliki kecenderungan untuk melanjutkan pendidikannya di dalam jenjang pendidian tinggi dalam bidang studi yang bervariasi, maka yang tidak kalah pentingnya adalah memberikan penegasan tentang bidang studi apa berada di mana.
Melalui menjadi UIN, maka program studi yang jenis kelaminnya adalah ilmu social maka mestinya berada di dalam kawasan yang jelas. Jika program studi bahasa dan sastra berada di Fakultas Adab, maka di dalam mewadahi misalnya sastra Jepang, Sastra mandarin, Sastra Jerman dan sebagainya, maka yang diperlukan adalah memberikan wadah itu, misalnya adalah Fakultas Adab dan Humaniora, demikian pula Ilmu Sosial semestinya tidak berada di Fakultas Dakwah akan tetapi mestinya jika mau ditempatkan di sana, maka akan bias menjadi Fakultas Dakwah dan Ilmu Sosial dan sebagainya.
Maka, di dalam rencana pengembangan IAIN SA menjadi UIN SA adalah selalu mempertimbangkan dimensi kefakultasan dan prodi yang dianggap relevan, misalnya secara sengaja tidak dikembangkan ilmu-ilmu hukum positif, sebagai konsekuensi telah dianggap cukup memadai pengembangan Islamic studi dalam khasabah Hukum Islam. Oleh karena itu, maka pengembangan prodi di UIN yang direncanakan itu akan tetap mempertimbangkan posisi keilmuan yang selama ini memang perlu terus dikembangkan.
Di dalam keadaan ini, maka sekali lagi pengembangan ilmu keislaman selalu beregosiasi dengan ilmu-sosial, humaniora dan sains, sehingga tudingan bahwa dengan menjadi UIN akan meminggirkan ilmu keislaman akan tereduksi dengan sendirinya.
Wallahu a’lam bi al shawab.