• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETIKA PESANTREN MENJADI TERTUDUH

Dunia  pesantren kini menanggung lagi tuduhan sebagai pelaku teror. Kesimpulan ini memang bukan generalisasi fenomena adanya pelaku teror dari dunia pesantren. Sebab pengambilan keputusan seperti ini tentunya   merupakan sebuah penarikan kesimpulan yang gegabah. Meskipun demikian, pelaku teror yang berlatarbelakang pendidikan pesantren akan mengakibatkan lahirnya stigma pesantren sebagai sumber terorisme.

Setiap stigma memang tidak mengenakkan. Stigma atau pencitraan negatif tentu membuat dunia pesantren menjadi tertuduh. Citra pesantren yang selama ini disebut sebagai institusi yang memproduk ulama, kyai atau ahli agama lalu memperoleh citra  negatif sebagai sumber terorisme.

Persoalan mendasarnya adalah mengapa ada pesantren yang alumninya rentan dalam menghadapi ajakan menjadi pemeluk Islam garis keras atau menjadi pelaku kekerasan atas nama agama. Di Indonesia, pesantren yang paling banyak dikaitkan dengan jaringan terorisme adalah pesantren Ngruki Solo yang diasuh Kyai Abu Bakar Baasyir. Banyak orang yang tahu bahwa Kyai Abu Bakar Baasyir tergolong penganut Islam yang keras memegang prinsip tentang pentingnya khilafah Islamiyah dan menegakkan syariah Islam secara kaffah. Dan lebih lanjut juga sangat membenci dominasi Amerika Serikat. Ketegaran dalam memegang prinsip tersebut yang kemudian dijadikan sebagai penjustifikasi adanya jaringan Ngruki dengan terorisme. Tentu tidak semua alumni Ngruki menjadi pelaku teror.

Mungkin di Pesantren Ngruki memang diajarkan Islam dalam perspektif tafsir para ustadz dan pemimpin pesantrennya. Yaitu prinsip menegakkan Islam secara kaffah dan pentingnya  membentuk khilafah Islamiyah. Di sana juga mungkin diajarkan bagaimana harus membenci Amerika Serikat secara khusus dan dunia Barat pada umumnya. Juga sangat mungkin diajarkan kegagalan pemerintah sekuler yang sedang berlangsung. Juga mungkin diajarkan anti demokrasi model Barat yang sedang menjadi pilar demokrasi di berbagai belahan dunia. Namun kenyataannya, ada yang kemudian kembali ke masyarakat dengan menjadi Islam yang ”lebih toleran” dan ada yang menjadi Islam yang ”tidak toleran”.

Menjadi Islam ”toleran” atau ”tidak toleran” tentunya sangat tergantung dengan konteks sosial yang melatarinya dan mengitarinya. Mungkin mereka yang menjadi ”keras” adalah mereka yang setelah keluar dari pesantren kemudian bergaul dan menjadi bagian dari jaringan Islam garis keras, sehingga perilakunya seperti itu. Mereka digodok dalam jaringan yang menganggap bahwa bom bunuh diri adalah jihad fi sabililllah. Memerangi orang Barat di manapun adalah tugas suci agama. Tafsir agama seperti ini sangat mungkin ketika seseorang telah memasuki jaringan agama yang menjadikannya sebagai ideologi.

Mereka yang terjerat dalam kelompok Islam garis keras adalah mereka yang memiliki basis tafsir Islam dalam konteks seperti itu. Artinya bahwa siapapun yang memasuki kawasan tersebut adalah mereka yang memiliki relevansi pemikiran dengannya. Namun demikian tidak berarti bahwa orang yang tidak memiliki relevansi tafsir tidak akan terpengaruh, sebab jaringan ini telah memiliki strategi yang sangat hebat dalam proses rekruitmen pengikut setia.

Dunia  pesantren yang  dikenal sangat  moderat juga tidak steril dari pengaruh tersebut. Sekarang  sudah banyak alumni pesantren moderat yang kemudian  masuk ke dunia pendidikan lanjutan lalu mereka menjadi Islam keras. Demikian pula anak orang NU juga tidak steril dari Islam garis keras. Contohnya adalah Alifa dalam buku ”Sepotong Kebenaran Menurut Alifa” tulisan Ahmad Shidqi, bahwa ternyata anak orang Islam tradisional juga bisa menjadi penganut Islam garis keras. Tidak hanya keras dalam pemikiran keagamaan tetapi juga dalam tindakan sehari-hari.

Dengan demikian, konteks sosial dan politik serta jaringan sosial yang melatarbelakangi seseorang akan menjadi variabel penting di dalam kerangka menjadi radikal atau tidak radikal. Hanya saja, bagi mereka yang memiliki tafsir agama yang sama dengan tafsir agama kalangan Islam garis keras, tentunya akan lebih mudah untuk direkrut dalam jaringan kekerasan ketimbang mereka yang tidak memiliki kesamaan tafsir. Oleh karena itu memberi perlindungan agar tetap  menjadi moderat dalam beragama adalah tuntutan di tengah gejolak tafsir agama yang bercorak kekerasan.

Wallahu a’lam bi al-shawab.     

Categories: Opini