PERLU KOMITMEN ANTI PENYELEWENGAN
Jika membaca Koran di dalam minggu-minggu ini, maka pengetahuan kita bertambah tentang banyaknya masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, terutama terkait dengan rendahnya kejujuran dari banyak elemen aparat pemerintah. Belum genap seratus hari masalah Bank Century yang menyita perhatian hampir seluruh bangsa ini, kemudian secara beruntun muncul masalah mafia pajak yang justru dibantu oleh aparat pemerintah. Pertanyaan yang muncul, lalu apa sesungguhnya yang menyebabkan semua ini terjadi?
Kasus Bank Century tentu masih meninggalkan luka yang hingga kini belum sembuh. Uang Negara sebesar Rp. 6,7 trilyun yang sudah dikucurkan ke Bank Century ternyata mengalir kemana-mana tanpa diketahui ujung pangkalnya. Andaikan secara kebijakan tidak bisa disalahkan, akan tetapi jelas aliran dana Bank Century salah arah. Implementasi kebijakan tentang Bank Century jelas merugikan negara dan masyarakat Indonesia.
Kemudian, muncul kasus Gayus Tambunan yang juga tidak kurang sensasional. Gayus Tambunan yang pegawai negeri ini ternyata melakukan tindakan koruptif yang diduga melibatkan sejumlah oknum aparat nenegak hukum. Gayus yang pegawai negeri sipil tersebut ternyata memiliki sejumlah property yang di luar nalar kepegawaian untuk menjawabnya. Mafia pajak ini tentu bukan hanya terjadi sekarang, akan tetapi mungkin sudah menjadi kelaziman semenjak lama. Jika sekarang menjadi berita besar, maka ini merupakan gunung es yang mencair.
Kasus Gayus Tambunan memang menarik untuk dicermati, sebab kasus ini merupakan penampakan dari kasus-kasus yang selama ini tak terendus oleh dunia pengadilan di Indonesia. Melalui terkuaknya kasus mafia pajak ini, maka sepertinya Tuhan sedang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah di dalam kehidupan bernegara kita. Banyak aparat yang menyalahgunakan wewenang, melakukan korupsi, mengembangkan kolusi dan nepotisme sebagai tindakan yang sama sekali tidak salah. Seakan-akan tindakan penyelewengan tersebut telah menjadi tradisi yang bercorak sistemik.
Bagi orang yang selalu menggunakan pendekatan teologis, maka pastilah ketika ditanya kenapa di Indonesia sekarang semakin banyak tindakan penyelewengan yang terkuak di permukaan, maka jawabannya adalah karena Tuhan ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah di dalam pengelolaan negara. Jawaban ini tentu saja sulit dibantah, sebab memang pendekatannya menggunakan jawaban teologis yang memang tidak layak dibantah. Jawaban teologis memang bercorak final. Artinya sering tidak memberikan ruang dialog yang memberikan jawaban yang argumentatif secara variatif. Jawaban itu selalu kembali kepada Dzat yang Mencipta, Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penyebab secara teologis bagi orang yang melakukan penyimpangan dalam banyak hal, seperti kasus mafia pajak adalah karena rendahnya pengawasan diri terkait dengan dimensi teologis tersebut. Misalnya adalah rendahnya perasaan diawasi oleh Tuhan Yang Maha Tahu. Bukankah di dalam konsepsi Islam dikenal adanya sebuah teks yang berbunyi: “ittaqillaha haitsuma kunta”, berttaqwallah kepada Allah dimana saja kamu berada”. Konteks dari ayat ini bahwa manusia harus selalu berada di dalam pengawasan Allah di mana saja. Sehingga apapun yang dilakukan tentunya merupakan bagian dari sistem pengawasan yang terus menerus dilakukan terhadap dirinya sendiri.
Tetapi sebenarnya kita juga membutuhkan jawaban yang berbasis pada pemahaman kita tentang tindakan-tindakan social yang menyimpang atau social deviation yang menyebabkan orang melakukan tindakan menyalahi aturan seperti itu. Jawaban yang sering dikemukakan adalah ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Seorang pegawai negeri sipil dengan struktur penggajian seperti sekarang tentu tidak memberikan peluang untuk menjadi kaya, sebab ukurannya adalah terpenuhinya kebutuhan minimal.
Ketika ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran tersebut terjadi, maka bagi seseorang yang tidak mampu menghandle dunia keinginan materinya yang sangat tinggi, tentu akan memunculkan tindakan menyimpang, yang berupa mafia pajak, mafia hukum, mafia ekonomi dan sebagainya. Maka, yang terjadi adalah orang merekayasa laporan pajak, orang merekayasa pendapatan, orang merekayasa hukum yang ujung-ujungnya adalah peningkatan pemasukan.
Oleh karena itu yang menjadi pekerjaan rumah kita adalah bagaimana membangun komitmen para aparat agar memahami bahwa kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar melalui cara-cara korupsi dan sebagainya akan merugikan banyak pihak. Para aparat negara harus berpikir tentang kepantasan dan ketidakpantasan dengan melakukan pengawasan melekat pada dirinya sendiri-sendiri. Sambil terus menyadari bahwa apa yang dilakukan itu akan memiliki tanggungjawab kepada masyarakat, Negara dan juga Tuhan yang Maha Kuasa.
Wallahu a’lam bi al shawab.