KERUKUNAN DALAM BINGKAI KEBERAGAMAN
Prof. Dr. H. Nur Syam, Msi
Guru Besar Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel
Pengantar
Kerukunan pasti terkait dengan keteraturan social atau social order. Di dalam diskursus ilmu social, maka keteraturan social merupakan suatu hal yang sangat mendasar di dalam kehidupan ini. Bahkan begitu pentingnya keteraturan social tersebut maka di dalam salah satu asumsinya dinyatakan bahwa social order merupakan bagian penting di dalam kehidupan ini. [1]
Hampir tidak didapati suatu masyarakat yang tidak mendambakan kerukunan itu. Kerukunan merupakan bagian yang sangat penting di dalam membangun peradaban. Semua peradaban yang sangat maju di dunia ini pastilah dibangun di dalam suatu masyarakat yang berada di dalam keteraturan. Bangunan-bangunan yang hingga sekarang masih berdiri megah, seperti Candi Borobudur, Bangunan Taj Mahal, Piramida di Mesir dan sebagainya pastilah dibangun di dalam suatu masyarakat yang negaranya dalam keadaan teratur atau kerukunan.
Di dalam suatu masyarakat yang rukun, maka pembangunan akan dapat dilakukan secara maksimal. Untuk persoalan pembangunan masyarakar, maka saya berpendapat bahwa kerukunan tentu menjadi prasyaratnya. Jika masyarakat di dalam suatu keadaan konflik, maka pasti tidak akan dapat dilakukan pembangunan. Bahkan andaikan masyarakat tersebut sudah melakukan pembangunan dan kemudian terjadi konflik yang berakibat pada kerusakan fisik, maka akan terjadi proses pembalikan sejarah. Artinya, pembangunan yang sudah dilaksanakan tersebut akan kembali ke keadaan puluhan tahun sebelumnya.
Konflik di daerah seperti di Ambon atau Poso, maka akan mengembalikan dua daerah tersebut dalam keadaan seperti 30-40 tahun yang lalu. Hal ini tentu disebabkan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh konflik yang berkepanjangan. Makanya konflik yang bercorak fisikal akan menjadikan kerusakan ketimbang dinamika social yang tinggi. [2]
Disebabkan oleh keteraturan social yang berupa kerukunan menjadi prasyarat pembangunan masyarakat, maka menjaga kerukunan tentu merupakan suatu hal yang wajib dijaga bersama dalam situasi apapun. Di dalam hal ini, maka membangun kerukunan di tengah dunia yang plural dan multicultural merupakan keniscayaan yang mesti dilakukan.
Pluralism
Kehidupan manusia sesungguhnya merupakan sekumpulan orang yang masing-masing memiliki kecenderungan, kepentingan dan keinginan yang berbeda. Selain itu juga manusia memiliki ciri khas yang sangat unik yaitu berbeda antara yang satu dengan lainnya. Perbedaan itu bisa berasal dari suku, agama, ras dan antar golongan atau yang disingkat SARA.
Pluralitas (keragaman) adalah bagian dari kehidupan ini. Bahkan dinyatakan sebagai sunnatullah. Tuhan memang telah menciptakan manusia dengan berbagai variannya. Ada varian etnis, suku, agama, golongan dan kelompok. Bahkan juga pluralitas ekonomi, pendidikan, social, budaya dan sebagainya. Semua memberikan gambaran bahwa dunia ini memang diciptakan dalam kenyataan yang plural atau beragam.
Kata plural berarti untuk menunjuk pada sesuatu yang lebih dari satu. Jika dikaitkan dengan penggolongan atas manusia, maka akan dijumpai suatu kenyataan bahwa manusia memang bergolong-golongan. Ada etnis kaukasoid, etnis mongoloid, negroid dengan varian-varian tambahannya. Kulitnya saja juga bervariasi. Ada yang kuning, ada yang hitam ada yang coklat dan sebagainya. Bahkan berkat perkawinan silang antar etnis, maka muncullah etnis baru. Misalnya di Amerika Serikat muncul etnis Browning America yang merupakan hasil persilangan etnis antara kulit putih dengan kulit coklat. Persilangan khas Amerika utara dengan Amerika Latin.
Pluralisme dalam pandangan kaum agamawan, dinyatakan bahwa pluralism merupakan salah satu kata yang ringkas untuk menyebut sesuatu tatanan dunia baru di mana perbedaan budaya, system kepercayaan, dan nilai-nilai yang perlu disadari agar warga negara terpanggil untuk hidup berdamai dalam perbedaan.[3] Di dalam konteks ini, maka di dalam kehidupan ini dibutuhkan adanya saling pemahaman akan koeksistensi, hidup dengan saling menghargai dan mengakui.
Pluralism juga bisa digunakan untuk menggambarkan dimensi politik. Yaitu pandangan bahwa di dalam pluralism politik, terdapat enam proposisi yang mendasar ialah: 1) individu terwakili dalam beberapa unit kecil pemerintah, 2) penyelenggaraan pemerintahan yang tidak representattif menimbulkan kekacauan, 3) masyarakat terdiri dari berbagai asosiasi keagamaan, kebudayaan, pendidikan, profesi dan ekonomi yang berdiri sendiri, 4) asosiasi-asosiasi ini bersifat sekarela di mana tidak ada keharusan bahwa semua orang harus berafiliasi pada satu asosiasi saja, 5) kebijakan umum yang diterima dan mengikat adalah hasil interaksi bebas antarasosiasi, 6) pemerintahan public wajib mengakui dan bertindak hanya kesepakatan kelompok.[4]
Yang sangat menarik untuk dikaji tentu saja adalah pluralism agama. Kata ini merupakan terminology filsafat yang mencakup empat hal, yaitu: 1) monism ialah pandangan yang menyatakan bahwa “Yang Ada” hanyalah satu, yang serba spirit, serba roh dan serba ideal. Dualism berpendapat bahwa “Yang Ada” terdiri dari dua hakikat, materi dan roh. Pluralism beranggapan bahwa “Yang Ada” itu tidak hanya terdiri dari materi dan roh atau ide, melainkan terdiri dari banyak unsur. Agnotisisme beranggapan bahwa manusia tidak memiliki kesanggupan untuk mengetahui hakikat materi maupun rohani termasuk juga yang mutlak dan transenden.
Pluralism keagamaan merupakan pandangan yang menyatakan bahwa: 1) kebenaran yang diakui oleh setiap aliran (agama) bersifat nisbi, dengan kata lain, bahwa tidak ada kebenaran tunggal, 2) kebenaran yang diakui oleh setiap aliran memiliki nilai yang sama dan tidak satupun berada di atas lainnya. 3) aliran keagamaan harus diperlakukan sebagai entitas eksistensial mandiri yang mengannut pandangan filsafat dan system nilai sendiri yang dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk dan tradisi.[5]
Selain kata pluralisme, maka juga dikenal konsep multikulturalisme. Menurut Bikhu Parekh, bahwa multikulturalisme mengangkut tiga hal, yaitu: 1) manusia secara cultural dilekatkan dalam posisi bahwa mereka tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara cultural, mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan social menurut system makna, memposisikan nilai yang besar tentang identitas cultural mereka. 2) kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mencerminkan system makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Setiap kebudayaan merupakan system makna yang dijadikan sebagai pedoman oleh mereka masing-masing. Di dalam hal ini, maka keunikan, kecirikhasan dan manifestasi kebudayaan yang satu dengan lainnya merupakan sesuatu yang sangat wajar. Makanya, setiap kebudayaan tidak bisa disepadankan sebagai mana yang lebih baik. 3) semua kebudayaan kecuali yang paling primitive secara internal bersifat majemuk dan mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan mereka yang berbeda-beda. [6]
Membangun Kerukunan
Bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak ini termasuk bagian yang disebut sebagai freedom to be. Di dalam freedom to be, maka negara sama sekali tidak boleh untuk ikut campur, misalnya tentang sebutan tentang Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Selain itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dan Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama & ibadat.
Tetapi negara memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan antar penganut agama yang di dalam hal ini terkait dengan freedom to act. Mengenai freedom ta act, maka negara memiliki sejumlah kewenangan sebab negara berhak untuk mengatur relasi antar penganut agama dan antar warga negara. Agar tidak terjadi kekisruhan di dalam relasi antar umat beragama dan bahkan antar intern umat beragama, maka pemerintah berhak untuk mengatur hubungan tersebut.
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dlm melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dgn rukun, lancar, dan tertib.
Oleh karena itu, arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Hal ini senada dengan gagasan Mantan Menteri Agama RI, yang menggagas tentang trikerukunan umat beragama, yaitu kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. [7]
Di dalam acara National Summit yang dilaksanakan selama dua hari, Kamis –Jum’at, 29-30 Oktober 2009 juga banyak yang mempertanyakan bagaimana agama dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat Indonesia. Ada tiga fokus pembicaraan tentang relasi agama dan masyarakat, yaitu agama dalam relasinya dengan kerukunan umat, agama dalam relevansinya dengan peningkatan kehidupan umat dan agama dalam relevansinya dengan tantangan pembangunan secara menyeluruh atau menjadikan agama sebagai spirit pembangunan.
Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan bangsa dan negara. Oleh karena itu, maka membangun kerukunan antar umat beragama merupakan kewajiban seluruh warga negara. Di dalam konteks kerukunan umat, maka semua warga negara mestilah menjadikan koeksistensi sebagai pedoman hidup bersama dan kemudian dapat mengajawantah di dalam proeksistensi, yaitu kebersediaan untuk melakukan kerjasama untuk tujuan menyejahterakan umat manusia.
Wallahu a’lam bi alshawab.
[1] Di dalam paradigm fakta social dijelaskan ada tiga asumsi teoretik, yaitu adanya keteraturan social, adanya perubahan secara evolusioner dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri. Tanpa adanya keteraturan social, maka fakta social tersebut tidak bias diteliti. Periksa Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda, (Surabaya: Eureka, 2005).
[2] Menurut teori konflik fungsional sebagaimana digagas oleh Lewis Coser, bahwa konflik dapat membawa ke arah dinamika social. Konflik yang terjadi antara dua organisasi akan bisa menjadi pendinamika social, akan tetapi konflik yang bercorak fisik, tentu tidak akan membawa dinamika akan tetapi akan menjadi penyebab kerusakan. Periksa, Thoha Hamim, dkk., Resolusi Konflik, (Yogyakarta: LKiS, 2007).
[3] Abdul Azis Sachedina, sebagaimana dikutip oleh Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan, Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, (Malang: UMM, 2009), hlm. 37
[4] Henry S. Kariel, sebagaimana dikutip oleh Biyanto, Pluralisme Keagamaa…, hlm. 37
[5] M. Zainuddin,”Relasi Islam-Kristen, Konstruksi Sosial Elit Agama tentag Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama di Malang”, Disertasi IAIN Sunan Ampel belum diterbitkan, 2008).
[6] Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism, Keragaman Budaya dan Teori Politik, (Jogyakarta: Impulse, 2008), hlm. 440-443
[7] Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 tahun 2006 dan Nomor : 8 tahun 2006
Tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah/ wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat