MESTINYA SEIMBANG: ANTI TERORISME DAN ANTI KORUPSI
Negeri manapun tidak akan ada yang mencibir tentang kemampuan Indonesia dalam menangani terorisme. Termasuk juga Amerika Serikat. Negeri adidaya ini bahkan kalah dalam persoalan penanganan kasus-kasus terorisme. Indonesia memang bisa diacungi jempol dalam penanganan terorisme. Melalui tim khusus, Densus 88 Anti Teror, ternyata satu persatu teroris kelas kakap dapat dilumpuhkan.
Dimulai dengan tewasnya Dr. Azahari, kemudian Noordin M. Top dan terakhir Dulmatin. Pantaslah kalau dunia internasional mengapresiasi terhadap keberhasilan ini. Tiga orang ini adalah buron kelas kakap dari gerakan terorisme internasional. Bahkan Presiden SBY pun langsung memperoleh ucapan selamat dari Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd.
Tiga orang tersebut adalah pelaku berbagai tindakan terorisme di Asia. Mereka adalah teroris papan atas yang telah malang melintang di berbagai kerusuhan di Afghanistan, Thailand, Filipina dan juga Indonesia. Bahkan kepala Dulmatin dihargai Rp 92 Miliar oleh Pemerintah Amerika Serikat.
Musuh Bersama
Terorisme adalah musuh bersama (common enemy). Seluruh negara di dunia mengutuk berbagai tindakan teror yang dilakukan oleh orang-orang ini. Apalagi, di dalam setiap tindakan teror selalu melibatkan warga negara asing sebagai korban. Kekerasan yang mereka lakukan menjadi architype bagi keluarga korban. Di Melboure misalnya terdapat taman di dekat Melbourne University yang di dalamnya dimonumenkan tentang korban kekerasan teror Bom Bali I, 11 September 2001.
Penggunaan bom bunuh diri (suicide bombing) yang sering digunakan untuk menyerang sasaran teror sangat menakutkan negara-negara barat. Melalui konsepsi jihad yang dikembangkan, ternyata mereka bisa merekrut anak-anak muda untuk menjadi pengantin atau pengebom.
Banyak negara telah memiliki sistem untuk menangani persoalan terorisme. Negara-negara yang selama ini menjadi targeted operations kelompok teroris, seperti negara-negara barat, khususnya Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan Australia bahkan sangat ketat memberlakukan undang-undang terorisme. Amerika Serikat, misalnya memiliki Patriot Act, yang diciptakan oleh George W. Bush untuk menanggulangi terorisme. Undang-Undang yang habis tanggal 28/02/2010 tersebut, kemudian diperpanjang oleh Barack Obama.
Terorisme memang sebuah kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Melalui bom bunuh diri, maka akan meninggalkan kerusakan fisik dan juga psikhis keluarga korban yang sangat mendalam. Apalagi jika yang menjadi korban tersebut adalah orang-orang yang tidak bersalah. Dalam Bom Bali I, maka kebanyakan korbannya justru orang Indonesia.
Fakta ini menyebabkan banyak masyarakat yang mengutuk terhadap tindakan terorisme. Kaum teroris memang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Meskipun mereka menggunakan konsep jihad, akan tetapi jihad itu justru merusak fisik dan nyawa orang lain. Maka, terorisme pasti mencederai terhadap kemanusiaan, againts humanity.
Paradoks
Di saat pemerintah mengumumkan keberhasilan menumpas terorisme, terutama tewasnya Dulmatin, maka memunculkan optimisme yang sangat tinggi bahwa Indonesia adalah negara yang sangat konsisten di dalam memerangi terorisme internasional. Hal ini merupakan prestasi pemerintah.
Di saat prestasi gemilang dalam operasi anti terorisme ini ditorehkan, maka juga muncul berita lain yang sangat paradoks. Di media diumumkan bahwa Indonesia menjadi negara paling korup di Asia Pacifik.
Melalui survey yang diumumkan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010, maka Indonesia menjadi negara yang korupsinya nyaris sempurna atau indeks korupsi 9,07.
Indonesia memang masih dibelit oleh persoalan korupsi yang luar biasa. Jika survey PERC menempatkan Indonesia pada posisi tersebut, maka sumbangan terbesarnya pasti berasal dari masalah bailout Bank Century.
Bagaimanapun harus diakui bahwa kasus Bank Century merupakan sebuah fenomena korupsi yang sangat besar. Kasus yang telah menjadi head line media cetak maupun elektronik itu tentu menjadi penyebab utama semakin tingginya indeks korupsi Indonesia.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia maupun dunia internasional, bahwa penanganan korupsi di Indonesia mengalami kejumudan. Andaikan penanganan korupsi dilakukan semakin banyak, maka modus orang korupsi berbanding sejajar dengannya. Perilaku korupsi ditangani tetapi pelaku korupsi baru juga berkembang.
Hebatnya, modus korupsi dapat dilakukan dengan memanfaatkan perangkat negara. Dalam kasus Bank Century, akhirnya juga terdapat respon yang variatif. Ada yang beranggapan bahwa kebijakan tidak bisa diadili, sementara yang lain beranggapan bahwa kebijakan harus tetap bisa diadili.
Jadi memang ironis. Semakin banyak kasus korupsi disidangkan, ternyata semakin banyak pula orang yang berkreativitas untuk melakukan korupsi. Tampaknya, pelaku korupsi tidak jera dengan hukuman, sebab hukuman bagi pelaku korupsi ternyata masih bisa dinegosiasikan.
Jika seperti itu, maka akhirnya memang ada paradoks di dalam kehidupan kita. Di satu sisi kita berprestasi dalam menangani terorisme, sementara itu kita tidak berhasil menangani secara baik persoalan korupsi.
Ternyata kita membutuhkan kerja keras lagi untuk berprestasi dalam menangani korupsi. Kiranya KPK dan lembaga penegak hukum harus mengernyitkan dahi melihat capaian prestasi korupsi Indonesia itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.