SEKALI LAGI SERTIFIKASI DOSEN
Bersamaan waktunya dengan muktamar NU ke 32 di Makassar, Direktorat Jenderal Kementerian Agama RI menyelenggarakan launching sertifikasi dosen untuk tahun 2010. Acara ini memang telah direncanakan sesuai dengan jadwal yaitu pada akhir bulan Maret 2010. Jadi kalau waktunya ternyata bersamaan dengan Muktamar NU, maka ini merupakan suatu kebetulan yang terjadi secara wajar.
Ketika mendengar sertifikasi dosen, maka pikiran kita lalu tertuju pada pertanyaan, untuk apa sesungguhnya sertifikasi itu, apa hanya karena keinginan untuk memenuhi UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 ataukah sesungguhnya ada keinginan yang lebih mulia terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Tulisan ini akan melihat sertifikasi dosen berdasarkan pandangan kaum fenomenologis yang melihat suatu realitas sesuai dengan tujuan aktivitas itu dilakukan. Jadi tidak semata karena pemenuhan kebutuhan UU Guru dan Dosen, akan tetapi justru ada tujuan utama, yaitu peningkatan kualitas pendidikan di masa depan.
Pendidikan di Indonesia memang masih rendah. Makanya, ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satunya adalah melalui program sertifikasi dosen dan guru. Melalui program ini, maka kesejahteraan guru dan dosen akan menjadi meningkat, sehingga kinerjanya juga menjadi meningkat dan efek lanjutannya adalah terjadinya peningkatan mutu pendidikan.
Dosen yang profesional tentu didasari oleh kemampuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk mendidik sesuai dengan standart pengajaran dan pendidikan yang relevan dengan tuntutan kependidikan. Dalam prakteknya, untuk mengukur keprofesionalan dosen adalah melalui pengisian porto folio. Jika pengisiannya telah sesuai dengan standart dan penilaian yang dilakukan oleh rekan sejawat, mahasiswa, atasan dan penilaian relevansi oleh penilai serdos, maka jika lulus, maka jadilah yang bersangkutan akan menjadi dosen profesional.
Di dalam hal ini, ada dua pendapat, yaitu: pertama, sertifikasi adalah hak dosen, sehingga kelulusan sertifikasi adalah sebuah kewajaran. Makanya, kelulusan Sertifikasi merupakan kewajaran. Kedua, sertifikasi adalah proses kompetisi. Sebagai sebuah kompetisi, maka ada proses yang sangat ketat untuk memperoleh status dosen profesional. Sebagai kontestasi, maka penilaian tentu dilakukan dengan sangat ketat dengan mempertimbangkan segala sesuatunya secara kompetitif.
Jika mengikuti uji kualitas, maka tentu yang dipilih adalah yang kedua. Melalui uji kompetensi dan kualifikasi maka akan didapatkan dosen yang profesional. Ini berarti bahwa untuk menjadi dosen profesional harus melalui proses selektif yang tinggi. Dengan demikian, menjadi dosen profesional tidak semudah membalik tangan.
Di antara produk dari dosen profesional adalah meningkatnya kualitas pendidikan. Bukankah tujuan final dari profesionalisasi dosen adalah peningkatan kualitas pendidikan. Jadi melalui dosen yang tersertifikasi, maka ke depan adalah ditandai dengan meningkatnya kualitas pendidikan.
Persoalannya adalah di sisi mana kita harus memilih. Pilihan pertamaberbasis kemanusiaan. Pilihan kedua berbasis kompetensi. Di dalam hal ini, kelihatannya buku serdos ternyata memilih gabungan antara Pertama dan kedua, yaitu memilih aspek senioritas (usia) Meskipun kualifikasinya belum memenuhi syarat akademis. Mereka yang usianya 60 tahun atau yang sudah golongan lektor kepala, IVd, dan belum S2, maka diberilah hadiah sertifikasi. Tetapi yang masih muda, maka persyaratan akademisnya harus melalui proses seleksi.
Pemaduan pola ini tentu penting, sebab akan dapat memenuhi rasa keadilan, akan tetapi yang penting adalah bagaimana pengembangan kualitas pendidikan tetapi mengedepan. Nah yang akan kita lihat ke depan adalah impak sertifikasi dosen terhadap kualitas pendidikan, apakah meningkat atau tidak.
Wallahu a’lam bi al shawab.