KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Berita yang sempat saya baca di Harian Bangsa, 21/03/2010, tentang “Ketika Wanita Taliban Kabur dari Suami, Tertangkap, Telinga Hidung Dipotong”, membuat saya merasa ngeri. Apalagi sebagai ilustrasinya disertakan pula gambar perempuan yang dipotong telinga dan hidungnya tersebut. Bagi sebagian orang, mungkin tindakan ini juga membuat merinding. Dan juga banyak di antara kita yang merasakan bahwa tindakan orang Taliban tersebut tidak patut ditiru. Tentu saja, hal ini disebabkan oleh kuatnya rasa penghargaan terhadap perempuan yang memang patut untuk dihargai.
Secara hukum memang perempuan yang dipotong telinga dan hidungnya itu bersalah, sebab dia meninggalkan suaminya ketika suaminya sedang berperang. Bahkan untuk tindakannya ini, dia sudah dinyatakan bersalah dan dihukum selama tiga tahun. Tetapi hukuman itu hanya dilalui selama lima bulan, karena memperoleh pengampunan dari Presiden Karzai. Sayangnya bahwa akhirnya dia ditemukan oleh mertuanya, sehingga Aisha (nama perempuan malang itu) dan kembalilah dia ke suaminya. Dengan dalih telah mencemarkan nama keluarga dan mencoreng kehormatan keluarga, maka Aisha akhirnya harus menemui nasib yang mengenaskan.
Oleh suaminya, maka dia diadukan ke pengadilan dan diputuskan oleh pengadilan agar perempuan tersebut dipotong hidung dan telinganya. Oleh suaminya, kemudian dilakukanlah eksekusi di gunung Oruzgan. Tetapi anehnya, setelah dipotong telinga dan hidungnya, kemudian ditinggalkan begitu saja. Mungkin yang diharapkan agar yang bersangkutan meninggal. Tetapi Tuhan rupanya tidak mentakdirkannya meninggal. Dia memang pingsan ketika dipotong telinga dan hidungnya itu. Setelah sadar ternyata dia tahu bahwa hidung dan telinganya sudah terpotong. Kemudian dia ditolong oleh sebuah NGO, Woman for Afghan Woman.
Kita tentu tidak berhak untuk mencampuri hukum dalam negeri kaum Taliban. Mungkin itulah hukum yang dianggap paling benar. Hukum memang tergantung kepada siapa yang mengkonstruksikan hukum tersebut. Sama dengan hukum di tempat lain, maka hukuman kepada orang yang dianggap salah ditentukan sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri tertentu.
Sama dengan hukuman mati yang banyak dikeluhkan oleh sebagian masyarakat sebab dianggap tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang bersalah untuk melakukan pertaubatan. Namun hukuman mati juga dianggap sebagai salah satu cara untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang telah diperbuatnya.
Namun melihat cara penghukuman terhadap perempuan Taliban ini, rasanya ada sesuatu yang melenceng dari pesan humanitas. Bisa dibayangkan betapa penderitaan yang dialami oleh perempuan itu. Andaikan tidak ada donor yang memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan operasi, maka dia tentu akan menderita selamanya. Di negeri yang konon katanya sangat Islami ini memang sangat keras terhadap kaum perempuan. Perempuan tidak boleh berada di ruang public. Jika keluar rumah harus memperoleh pengawalan yang sangat ketat. Semua tindakannya harus diawasi. Ibaratnya perempuan adalah barang yang memang harus diperlakukan sebagai benda-benda lainnya.
Islam memang mengajarkan agar kita menyayangi semua umat manusia. Dalam cerita keagamaan, Sayyidina Umar sering menangis seorang diri ketika dia mengingat perlakuannya terhadap anaknya. Ketika anaknya berusia tiga tahun, maka anaknya yang perempuan itu didandaninya sangat cantik dan diajak pergi. Ketika Sayyidina Umar membuat lubang untuk kuburan anaknya, maka anaknya menganggap itu sebuah permainan. Dan ketika anak itu sudah masuk ke dalam lubang maka dibunuhlah anaknya itu. Sayyidina Umar merasa malu karena memiliki anak perempuan dan di dalam tradisi Arab Jahiliyah, maka anak perempuan layak dibunuh.
Ketika Islam datang, maka perlakuan terhadap perempuan itu diubah sedemikian rupa. Nabi Muhammad saw sangat menghargai perempuan. Dilarang orang tua membunuh anak perempuannya dan semua orang Islam harus memperlakukan perempuan sama dengan memperlakukan lelaki.
Oleh karena itu, tentunya hukuman bagi siapa saja mestilah ada unsur melakukan pendidikan, sehingga akan memunculkan kesadaran. Makanya, secara humanitas kita lalu bisa bertanya, apakah hukuman dengan memotong hidung dan telinga itu akan menjadikan yang bersangkutan sadar atau justru akan memunculkan kebencian.
Wallahu a’lam bi al-shawab.