MENGEMBANGKAN PESANTREN MULTIFUNGSI
Di masa lalu, jika orang menyebut pesantren maka pasti akan terbayang sebuah lembaga pendidikan yang tradisional dengan segala atributnya. Di antara atribut tersebut adalah pengajian kitab kuning, pengajian dengan system sorogan, bandongan dan wetonan, dan juga sebagian santrinya yang hanya sarungan. Dan di masa lalu bahkan ada tudingan yang tidak mengenakkan, yaitu santri kudigan. Tentu ini adalah stereotipis yang diberikan kepada para santri oleh orang lain yang sesungguhnya tidak memahami dunia kepesantrenan.
Dewasa ini, gambaran pesantren seperti itu sudah tidak didapatkan lagi. Pesantren-pesantren sudah menjadi berubah dalam banyak hal. Mulai dari system pembelajarannya, isi pembelajarannya hingga penampilan luar para santeri dan kyainya. Jika di masa lalu, system pembalajarannya sangat tradisional, maka dewasa ini sudah modern. Banyak pesantren yang sudah menggunakan teknologi informasi sebagai bagian penting di dalam proses akses informasi. Banyak santri yang sudah melek teknologi informasi. Banyak santri yang sudah mengenal kitab kuning justru dari internet. Semua ini menandakan bahwa pesantren sudah maju dalam bidang informasi.
Bahkan juga banyak pesantren yang di dalam system pengajarannya sudah memanfaatkan LCD dengan seperangkat teknologinya. Para kyai sudah tidak asing dengan internet, blog, facebook, twitter, dan sebagainya. Sudah menjadi realitas social bahwa banyak kyai atau ulama yang ketika ceramah agama menggunakan teknologi informasi yang canggih. Ini membuktikan bahwa pesantren dengan pernak-pernik kehidupannya sudah berubah secara sangat signifikan.
Ke depan, pesantren memang harus tetap menjadi lembaga yang tafaqquh fiddin. Menjadi institusi yang tetap mengabdikan seluruh kemampuannya untuk mengembangkan ilmu keislaman. Di bidang ilmu keislaman, memang pesantren adalah gudangnya. Islamic studies seperti tafsir, hadits, tasawuf, akhlak, ilmu bahasa arab dengan segala cabangnya, ilmu fiqh dengan segala cabangnya, ilmu alqur’an, ilmu falaq, ilmu keislaman lainnya.
Di masa lalu, pendidikan pesantren telah membangun spesifikasinya sendiri-sendiri. Misalnya, pesantren Sarang dengan ilmu bahasa, pesantren Tebuireng dengan ilmu hadits, pesantren Rejoso dengan ilmu tasawuf, pesantren Lirboyo dengan ilmu fiqh dan sebagainya. Dengan demikian, ketika seseorang menginginkan anaknya menjadi ahli apa, maka tinggal menentukan mau kemana. Itulah sebabnya maka di zaman dahulu, seorang santri kelana akan mendatangi kyai untuk tabarukan ilmu yang menjadi spesifikasinya. Sseorang yang ingin memperoleh ilmu hadits maka datang ke pesantren Tebuireng dan jika ingin menambah khasanah keilmuannya di bidang ilmu tasawuf, maka datang ke Rejoso dan sebagainya.
Kemudian, pesantren berubah menjadi swalayan. Serba ada. Pendidikan agama dan umum semuanya ada di pesantren. Jika dulu hanya pesantren dengan pendidikan agama, maka sekarang menjadi pesantren dengan pendidikan agama dan umum. Tengoklah misalnya pesantren yang sudah mengembangkan pendidikan tinggi umum. Jadi dari pesantren, ke madrasah ke sekolah. Dari pesantren, ke madrasah ke sekolah kemudian ke pendidikan tinggi. Jadi memang sudah ada sejumlah perubahan dari lembaga pendidikan tradisional ke lembaga pendidikan modern dengan segala konsekuensinya.
Tetapi akhir-akhir ini, seirama dengan perubahan social yang terus terjadi, maka pesantren juga harus memberikan jawaban tentang hal itu. Maka pesantren juga diharapkan bisa menjadi agent of social change. Lahirlah kemudian pesantren-pesantren yang mengembangkan agribisnis. Satu contoh yang sangat menonjol adalah pesantren Sunan Drajat yang dipimpin oleh Kyai Ghofur. Pesantren ini telah mengembangkan budidaya ternak, tanaman obat dan juga pupuk. Budidaya ternak sapi melalui teknik penggemukan sapi, budidaya tanaman mengkudu untuk bahan pembuatan ekstrak mengkudu, dan juga pupuk untuk tanaman pertanian. Semua ini dilakukan didalam kerangka untuk menjawab kebutuhan umat akan kesejahteraan yang memang harus diusahakan.
Dengan demikian, pesantren ke depan tidak hanya mengembangkan ilmu keislaman murni, akan tetapi juga menjadi lembaga pendidikan umum dan kemudian juga menjadi sentra pengembangan masyarakat. Tentu tidak semuanya bisa seperti itu sebab mesti tetap ada keterbatasan dalam banyak hal.
Wallahu a’lam bi al shawab.