• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENILAI PEMILU JURDIL LUBER

Konsep pemilu jurdil dan luber sudah ada semenjak tahun 1971,  yaitu ketika pemilu kedua di era Indonesia modern terjadi. Menurut saya sungguh hebat orang yang menemukan konsep ini. Bayangkan konsep ini telah menjadi ikon penting dalam penyelenggaraan pemilu semenjak itu. Dan itu berarti bahwa konsep jurdil dan luber telah menghiasi wacana pemilu dalam jangka waktu yang lama. Bahkan, pemerintah orde reformasi juga tidak mengganti slogan ini. Tentu karena keyakinan bahwa konsep ini memang baik dan tetap relevan di tengah perubahan sosial dan politik.

Tetapi di dalam kehidupan ini selalu ada kesenjangan antara cita dan fakta, antara harapan dan kenyataan dan antara teori dan praktiknya. Sesungguhnya di dalam kehidupan ini memang selalu menyisakan hal ini. Oleh para ahli lalu disebut sebagai masalah. Dan seperti yang kita tahu bahwa melalui masalah masalah ini, maka ada banyak kreativitas untuk menghentikan, menyelesaikan atau mencari jalan keluarnya. Potret pemilu 2009 memang muram, sekurang-kurangnya menurut Ramdansyah. Pemilu ini ditandai dengan banyaknya kecurangan, baik masa persiapan, pelaksanaan pemilu maupun pasca pemilu.

Banyak kasus pencurian start kampanye, misalnya PKS yang melakukan pengumpulan sejumlah massa sebelum masa kampanye dengan mengusung isu internasional. Demikian pula pejabat negara yang berasal dari parpol. Dan sayangnya, bahwa tindakan seperti ini juga tidak bisa diadili secara tuntas. Jadi fungsi pengawas pemilu, Gakumdu —jaksa, polisi, panwas, hakim—ternyata tidak bisa mengadili hal ini.

Demikian pula tentang daftar pemilih tetap (DPT) yang selalu menyisakan permasalahan. Jumlah DPT yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris. Di kota-kota besar betapa sulit untuk memperoleh data yang fix tentang DPT. Arus mutasi penduduk yang sangat cepat dari waktu ke waktu, tentu sangat menyulitkan tim pencatat dan verifikasi DPT. Jadi jumlahnya bisa berubah-ubah. Banyaknya penduduk musiman di kota-kota besar tentu juga menyulitkan pendataan. Belum lagi yang stateless. Banyak penduduk di kota yang tidak memiliki KTP dan identitas kependudukan lainnya. Jadi problem DPT adalah problem yang sangat krusial dalam setiap pemilu maupun pilkada. Berdasarkan catatan Ramdansyah, inilah problem terbesar dalam pesta demokrasi tahun 2009.

Yang tidak kalah uniknya juga adanya dugaan problem jual beli suara. Konon katanya suara hasil pemilu bisa diperjualbelikan. Meskipun saya berkeyakinan sulit dilakukan sebab harus ada bukti fisik dan kartu suara masuk bisa dicek ulang, akan tetapi bau jual beli suara merupakan berita yang sangat hangat. Meskipun ini masih sebatas tuduhan, tetapi tentu bisa mengurangi makna kepercayaan publik akan kejujuran penyelenggara pemilu.  Berita yang berkembang di masyarakat ini, kemudian memunculkan dampak ikutan, di antaranya adalah menjual suaranya untuk setiap pilihan. Penyebab munculnya praksis “berjuang—beras, baju dan uang” dalam pilpres, pilkada dan sebagainya merupakan konsekuensi dari rendahnya trust di kalangan mereka.

Kasus yang menonjol juga tentang money politic.  Dugaan money politic tentu saja suatu hal yang tidak bisa dibuktikan secara riil. Sebab tidak bisa tertangkap tangan. Bukankah sudah umum diketahui bahwa persoalan politik uang memang terjadi. Dalam skala yang paling kecil adalah baju atau kaos atau bahan natura lainnya.  Dan untuk yang berupa baju atau kaos tentu sudah tidak perlu bukti lagi, sebab barang buktinya memang sudah ada. Akan tetapi ternyata bahwa yang dalam kasus beras dan baju bukan merupakan politik uang sebab dianggap sebagai pemberian sebagaimana sadaqah atau lainnya.

Jadi ada distingsi yang nampak menonjol dalam relasi antara politik secara ideal dengan praksis politik yang terjadi. Misalnya dalam hal  idealitas politik, maka aturan-aturan yang sesungguhnya sudah ada tetapi secara riil dilanggar. Akan tetapi sayangnya bahwa  untuk membuktikan penyimpangan itu tentu sangat sulit. Inilah yang oleh Ramdansyah disebut politik hantu.

Ya, untuk membuktikan berbagai penyelewengan  dalam pemilu –dari masa ke masa– memang sangat sulit. Jika demikian, maka lalu kembali kepada etika politik. Jadi tergantung kepada bagaimana orang bertindak atas nama politik.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Categories: Opini