• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

APA YANG HILANG DARI POLITIK KITA?

Hari ini, 17/03/2010, saya diundang sebagai narasumber oleh mahasiswa Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) IAIN Sunan Ampel. Diskusi ini akan membahas karya tulis, Ramdansyah yang berjudul ”Sisi Gelap Pemilu 2009, Potret Aksesori Demokrasi Indonesia”. Selain saya juga ada nara sumber dari KPU Pusat, Dra. Nuryanti, MA, yang tentu sudah sangat dikenal dalam kapasitasnya sebagai punggawa yang harus mengawal gawang Pemilu, termasuk pemilu 2009. Lalu Imam Nawardi, Sag., anggota DPR Jawa Timur

Buku yang ditulis oleh Ramdansyah tentu saja merupakan karya tulis yang komplit terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2009, karena beliau adalah orang yang bertanggungjawab tentang keabsahan pemilu 2009 dalam kapasitasnya sebagai pengawal pengawasan pemilu 2009. Makanya, apa yang ditulis adalah apa yang dilihat, apa yang dirasakan dan apa yang dialami oleh yang bersangkutan.

Itulah sebabnya karya ini merupakan karya yang menggambarkan secara komplit terhadap pelaksanaan Pemilu 2009. sehingga pernak-pernik pemilu dapat digambarkan secara sangat memadai dan lengkap. Saya sependapat bahwa karya ini merupakan karya yang lengkap tentang potret pemilu, khususnya pemilu 2009.

Negara Indonesia sudah melakukan berbagai pemilu, semenjak tahun 1955 hingga 2009. Di berbagai pemilu tersebut, maka tentu saja ada keberhasilan dan juga ada kekurangannya. Kelebihannya tentu saja karena telah berhasil melaksanakan pesta demokrasi rakyat dan menghasilkan para pemimpin baik di tingkat nasional maupun regional, mulai dari anggota DPRD Daerah, Propinsi dan Pusat serta menghasilkan presiden dan wakil presiden. Sekurang-kurangnya pemilu telah berhasil dilaksanakan.

Akan tetapi tentu juga ada catatan yang menggambarkan bagaimana pemilu tersebut belum memenuhi asasnya sendiri. Bukankah semenjak Orde baru sudah dicanangkan bahwa pelaksanaan Pemilu haruslah jujur, adil, bebas, rahasia, umum dan langsung  atau diangkat jurdil dan luber. Ini sudah menjadi semacam pedoman yang dipahami oleh semua orang.

Pertanyaannya adalah apakah hal itu sudah dilaksanakan? Jawabannya ternyata belum. Masih ada sisi gelap yang belum diungkap atau bahkan tidak bisa diungkap. Itulah yang di dalam bahasanya Ramdansyah, bahwa kecurangan pemilu itu seperti bau kentut, ada tetapi tidak bisa dibuktikan. Baunya menyengat tetapi tidak bisa ditangkap dengan tangan dan bahkan tidak observabel secara indera mata.

Demokrasi di Indonesia sudah terjadi selama bertahun-tahun, semenjak 1945 hingga sekarang. Tetapi pelaksanaan demokrasi masih pincang. Misalnya di era Orde Baru, maka demokrasi disebut sebagai demokrasi seolah-olah. Hanya luarnya saja demokrasi tetapi sesungguhnya adakah otorian baru. Suatu contoh dalam partisipasi politik, maka di era Orde baru yang terjadi adalah political coersion bukan political participation. Demikian pula yang lain.

Kemudian di era reformasi, bahkan pada pemilu 2009, ternyata demokrasinya juga disebut sebagai demokrasi aksesoris atau demokrasi pura-pura. Bahkan saya menyebut sebagai demokrasi salah arah. Yang salah bukan demokrasinya, akan  tetapi implikasi demokrasinya. Misalnya sekarang di kalangan masyarakat muncul satu kosa kata baru terkait dengan pemilu atau pilkada, yaitu politik berjuang. Berjuang dimaknai sebagai “beras, baju dan uang”. Hal ini tentu bermula dari politik uang atau money politic yang terjadi. Masyarakat mengkonsepsikan pemilu atau pilkada sebagai arena untuk memperoleh imbalan uang atau lainnya.

Makanya, ke depan yang harus didorong agar menjadi arah politik di Indonesia adalah  bagaimana membangun politik berbasis hati nurani. Jadi bagaimana menarik dunia politik yang profan menjadi politik berbasis akhlak. Atau dari politik ngawur dan bawur ke politik jujur. Politik yang menghalalkan cara (ngawur) atau Machiavelisme dan  politik yang tidak memperhatikan persoalan halal dan haram atau yang mutasyabihat yang jatuhnya lebih banyak kepada haram menjadi politik yang jujur atau fairness.

Jika kita sudah bisa mengedepankan kejujuran sebagai basis tindakan politik, maka kira-kira pemilu yang jujur dan adil, umum langsung dan bebas rahasia atau jurdil dan luber akan bisa menjadi kenyataan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini