KETIKA AGAMA TELAH MENJADI IDEOLOGI KEKERASAN
Agama secara teologis adalah pedoman dalam rangka berhubungan dengan Tuhan, manusia dan alam lingkungannya. Semua agama memiliki aturan dasar dalam hal ini. Tetapi meskipun semua agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manisia dan manusia dengan alam sekitarnya, namun demikian jarak aturan yang satu dengan yang lain sangat berbeda. Jarak aturan yang berbeda tersebut terutama berkaitan dengan konsepsi atau ajaran tentang ketuhanan dan sistem ritualnya. Tidak ada ajaran agama yang sama terkait dengan Tuhan atau dimensi teologis dan juga peribadahan. Namun demikian pesan kemanusiaannya bisa saja memiliki similaritas, misalnya harus saling menghargai kemanusiaan. Tentu saja dengan varian-varian yang bisa saja berbeda-beda.
Banyak orang menyatakan bahwa agama adalah baju. Tetapi pendapat ini tentu saja kurang tepat. Sebab jika agama dinyatakan sebagai baju, maka agama bisa dilepas dan dipakai kapan saja. Pemikiran seperti ini tentu berangkat dari pemikiran tentang relativitas agama yang dalam banyak hal ditolak oleh penganut agama yang saleh.
Agama bukan sekedar sebuah institusi sosial yang sangat tergantung kepada perannya bagi manusia. Menganut konsepsi kaum fungsional, bahwa agama akan berguna selama agama tersebut bermanfaat. Sehingga jika tidak bermanfaat, maka agama tersebut dapat ditinggalkan. Agama hanyalah bagian dari sebuah sistem besar institusi sosial yang bisa saja ditanggalkan atau dipakai tergantung seberapa besar atau kecilnya tingkat fungsionalitasnya.
Agama dalam dunia timur tidak sebagaimana agama di dunia barat, bahwa agama dianggap sebagai sebuah institusi, yang jika bermanfaat bisa digunakan dan jika tidak dianggap perlu bisa ditinggalkan. Pengalaman di barat memang menunjukkan bahwa agama hanya dianggap sebagai sebuah institusi sosial yang sama dengan lainnya.
Meskipun demikian juga tidak bisa digeneralisasi sedemikian rupa. Terbukti di barat juga muncul aliran-aliran yang keras terkait dengan agama. Sama juga di negara timur, agama juga seringkali menjelma menjadi kekuatan keras yang bisa saja memiliki keinginan menihilkan lainnya. Memang, di mana-mana, jika ciri agama ditafsirkan seperti ini, maka memiliki keinginan yang kuat untuk menihilkan lainnya.
Tentu tidak ada sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba. Semua ada proses dan penyebabnya. Mengkuti cara berpikir Durkhemian, maka sesuatu terjadi karena terdapat faktor yang menyebabkannya. Di antara penyebab yang dominan adalah munculnya liberalisme yang memberikan ruang gerak yang berlebihan di dalam kehidupan sosial. Liberalisme di negara-negara barat juga menyisakan sejumlah orang yang dengan caranya sendiri untuk mempertahankan ortodoksinya. Dan rasanya juga sama liberalisme yang diusung oleh barat ke negara-negara lain, juga meninggalkan masalah ortodoksi yang dilakukan oleh sejumlah orang.
Munculnya aliran-aliran keagamaan yang mengusung ide ortodoksi pada dasarnya difasilitasi oleh semakin menguatnya ide dan praksis liberalisme yang terus bergerak. Ketika agama berada di dalam ruang berbeda seperti ini, maka salah satu di antaranya kemudian akan muncul menjadi ideologi. Di dalam pengertian yang sangat umum, maka ideologi adalah sebuah keyakinan yang sangat mendalam tentang suatu sistem yang dianggapnya paling benar dan berkecenderungan untuk menyalahkan yang lain.
Jadi ketika agama dijadikan sebagai ideologi, maka seketika itu agama yang selama itu dijadikan pedoman akan berubah menjadi sebuah keyakinan yang berkecenderungan menyalahkan lainnya dalam banyak praksis kehidupan.
Di Indonesia, akhir-akhir ini banyak organisasi keagamaan yang menjadikan agama sebagai ideologi. Dan sayangnya, bahwa dengan keyakinannya itu mereka melakukan berbagai kekerasan atas nama agama. Perilaku sebagian kecil agamawan yang menjadikan teror sebagai jalan untuk mencapai tujuan bisa dikategorikan telah menjadikan agama sebagai ideologi dimaksud. Dan yang lebih mengerikan adalah ketika mereka justru menjadikan agama sebagai substansi kekerasan yang dilakukannya.
Berbagai pengeboman dengan cara bunuh diri untuk menghancurkan yang dianggap musuh, tentu akan menyebabkan simbolisasi agama sebagai sumber kekerasan.
Dan melalui simbolisasi seperti itu, maka agama lalu menuai label sebagai agama teror atau agama kekerasan. Makanya, ketika Islam dilabel dengan agama teror, tentu saja disebabkan oleh serangkaian tindakan para penganutnya yang menghalalkan teror sebagai sebuah model perjuangan.
Jika kemudian kelompok seperti ini harus berhadapan dengan penguasa, maka hal itu tentu saja merupakan kewajaran, sebab negara memiliki kewenangan untuk melindungi kepentingan umum yang jauh lebih besar. Jangankan negara, kaum agamawan lain yang sering melabel dirinya dengan Islam moderat saja juga menyatakan bahwa terorisme adalah kejahatan yang luar biasa atau extra ordinary crime.
Jika seperti ini, maka yang sesungguhnya merugi adalah Islam sendiri, sebab cap itu kemudian melekat tanpa kita kehendaki.
Wallahu a’lam bi al shawab.