KHITTAH POLITIK NU BELUM SELESAI
Saya diundang oleh PBNU dalam acara Civic Education yang diselenggarakan di Hotel Sahid Jaya, Surabaya, kemarin (12/03/2010). Acara ini dihadiri oleh Kyai-kyai Muda NU seluruh Jawa Timur dan juga Prof. Dr. Masykuri Abdillah, dari UIN Jakarta. Selain saya, yang menjadi pemateri adalah KH. Miftahul Achyar, Dr. Wahidah, MA, Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel dan Prof. Dr. Kacung Marijan, MA dari Universitas Airlangga, Prof. Dr. Mas’ud Said, dari Universitas Muhammadiyah Malang. Ketepatan saya diberi tema “Keragaman dan Toleransi”. Di antara sekian banyak kyai yang bertanya, maka ada sebuah pertanyaan yang rasanya perlu saya apresiasi. Pertanyaan itu secara substansial ialah: “apakah khittah NU sudah selesai?
Memang di dalam fatsun politik, dinyatakan bahwa “Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis.” Di sisi dinyatakan bahwa urusan politik adalah urusan individu warga NU dan bukan urusan NU secara organisatoris.
Namun kenyataannya, bahwa khittah NU dalam urusan politik memang belum selesai. Semenjak semula memang sudah ada faksi-faksi di dalam NU, yaitu ada faksi NU Khittah dan NU Khittah Plus. Bagi yang NU Khittah beranggapan bahwa setelah NU kembali ke khittah 26, maka warga NU dibebaskan dari segala urusan politik. Dalam jargon politik disebutkan: “NU ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana”. Gagasan seperti ini muncul setelah NU dipecundangi oleh Naro dkk., ketika NU secara politis berfusi di dalam tubuh PPP. Makanya, NU lalu ”mendukung” Golkar pada Pemilu 1987.
Tetapi kemudian NU mendirikan PKB yang ternyata juga bentuk lain keterlibatan NU dalam politik. Melalui PKB, maka suara politik NU kembali utuh sehingga dapat menempatkan kader-kader politiknya di dalam struktur politik dan pemerintahan yang sangat strategis. Akan tetapi, juga kemudian menimbulkan masalah, sebab kader-kader NU di luar PKB dianggap tidak NU seratus persen.
Di sinilah munculnya berbagai persoalan di dalam relasi antara NU dan politik. Kemudian selanjutnya NU juga menjadi tercabik-cabik sebagai akibat politik yang gigantik. Memang politik di dalam kehidupan masyarakat sangat powerfull. NU sebagai organisasi keagamaan tentu tidak kuasa untuk menghadapi godaan politik.
Di berbagai tempat terjadi kontestasi sesama anggota atau elit NU. Di dalam berbagai Pilkada terjadi kontestasi yang luar biasa. Dan seperti biasanya, ketika terjadi kontestasi maka saling menyerang dengan bahasa-bahasa yang sangat vulgar. Mereka saling menyerang untuk saling menjatuhkan. Biasalah di dalam dunia politik, maka saling mencederai juga bukan sesuatu yang tidak niscaya.
Jika seorang elit NU tidak bisa masuk ke dalam pilihan politik melalui kyai A, maka melalui kyai B. Jika tidak bisa melewati partai A, maka lewat partai B. Ada prinsip yang penting masuk dalam pencalonan pilkada. Yang juga lucu, bahwa pertarungan bisa terjadi antara saudara. Yang keduanya sama-sama mengkliam dirinya paling sah mewakili NU. Bisa jadi kemudian pertarungan terjadi antara pesantren dengan pesantren, atau antara kyai dengan kyai, bahkan juga antara NU kultural dan NU struktural. Jika yang memenangkan masih orang NU, maka secara kultural dan struktural NU tidak merugi. Tetapi dalam kasus yang memenangkan adalah orang lain, atau lawan politik yang sesungguhnya, maka yang jelas-jelas merugi adalah NU.
Kita semua tentu mendambakan NU dapat bermain politik yang smart. Menggunakan istilah Amin Rais adalah high politic. Untuk bermain politik yang cerdas, maka harus dibarengi dengan sistem politik NU yang jelas. Yaitu secara struktural NU memang tidak terlibat di dalam urusan politik praktis, akan tetapi NU menjadi pedoman untuk melakukan tindakan politik.
Pedoman politik itu tentunya harus ditaati oleh semua elemen NU. Mulai dari kyai, ulama, gus-gus dan warga NU pada umumnya. Sistem politik NU itu adalah pedoman menyeluruh yang merupakan tafsiran atas fatsun politik NU di dalam AD/ART. Pedoman itu dirumuskan dan disahkan bersama sehingga memiliki kekuatan mengikat semua elemen NU. Siapapun dan dari manapun akan menjadikannya sebagai pedoman.
Di dalam hal inilah yang saya konsepsikan bahwa di dalam urusan politik, maka harus ada satu pintu saja sebagai pintu keluar masuk seseorang dalam politik. Jadi, NU harus memiliki sistem kebersamaan dalam political recruitment, political leadership, political accountability dan sebagainya. Mungkin diperlukan semacam ahl halli wa alqdi, atau apalah namanya yang menjadi rujukan bagi semuanya di dalam urusan politik.
Jika NU melakukan rekruitmen berbasis pada sistem yang jelas, maka keluarnya mestilah melewati partai politik yang dapat dijadikan sebagai kendaraannya. Jika calon yang dianggap memenuhi persyaratan tersebut sudah diperoleh dan sudah melewati pintu partai politik, maka tahap berikutnya adalah tugas partai untuk menjadi mesin politiknya. NU secara struktural sudah tidak lagi terlibat di dalam urusan politik. Inilah yang saya maksudkan bahwa keterlibatan orang NU dalam politik tersebut pada aras individu bukan organisasi.
Jadi, NU hanya menyiapkan siapa yang pantas untuk menjadi political leadership dan bukan mendukung secara struktural terhadap politik praktis.
Wallahu a’lam bi al shawab.