• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KERAGAMAN DAN TOLERANSI

Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi

Guru Besar Sosiologi dan Rektor IAIN Sunan Ampel[1] 

 Pengantar

            Secara hakiki, bahwa tidak ada manusia yang hidup sendirian di dunia ini. Seseorang pasti membutuhkan lainnya dalam menjalani kehidupan. Di dalam cerita keagamaan, maka ketika Nabi Adam hidup sendirian di surga, maka beliau kesepian. Ketika beliau melamun seorang diri, maka datanglah kemudian Hawwa yang kemudian menjadi kawannya. Maka, ketika Nabi Adam dipindahkan ke dunia, maka kemudian Hawwa menjadi isterinya. Dari dua orang inilah kemudian menghasilkan manusia yang jumlahnya sangat banyak dengan bergolongan-golongan, dalam etnis, suku dan bahasa.

Keragaman dan toleransi adalah pasangan kata yang memang tepat dipersandingkan. Keragaman merupakan keniscayaan di dalam kehidupan ini, sebab tidak ada masyarakat yang tidak beragam keadaannya. Keragaman dalam etnis, suku, agama dan bahasa dan busaya. Di dalam suatu masyarakat yang paling simple pun pasti terdapat suatu keadaan yang beragam. Keragaman bisa dikaitkan dengan kata pluralitas dan juga multikulturalitas.[2]

 

Keragaman dan Toleransi

Menurut George Cuvier, bahwa  terdapat  tiga ras yang menghuni dunia ini. Kaukasoid menghuni benua Eropa, Mongoloid menghuni Benua Asia dan Negroid menghuni benua Afrika.[3] Tetapi juga terjadi mutasi antar benua. Jika dicermati maka sesungguhnya terdapat mutasi antar etnis di dalam dunia ini. Misalnya mutasi yang dilakukan oleh Etnis Arya dari Eropa ke Timur Tengah, dan juga mutasi orang kulit hitam dari Australia ke wilayah Polinesia atau sebaliknya. Demikian pula suku Mongoloid ke wilayah Asia Tenggara dan sebagainya. Secara antropologis, bahwa mutasi etnis ini merupakan suatu yang sangat wajar, sebab mereka memang malakukan perjalanan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Bahkan lebih jauh, juga terjadi perkawinan antar etnis. Misalnya ya terjadi di Amerika, Australia dan sebagainya.

Akan tetapi juga kemudian terjadi stereotipis tentang masing-masing etnis tersebut, sesuai dengan konstruksi yang dihasilkan oleh masyarakat yang melakukan konstruksi. Misalnya, Carl Von Linne yang menyatakan, bahwa berdasarkan warna kulit dan sifat yang melekat: Bangsa kulit merah (Indian-Amerika) terbelenggu adat, Orang Asia berkulit kuning berwatak rakus, arogan, tamak dan cerewet. Orang berkulit hitam (Afrika) licik, lamban, ceroboh dan mencla-mencle atau tidak teguh pendirian. Orang Eropa berkulit putih berwatak disiplin tinggi, amat teliti, berjiwa penemu dan taat hukum.[4]

Makanya, Syed Naguib al Attas lalu membuat sebuah proposisi tentang kaum pribumi. Menurutnya bahwa pribumi malas hanyalah mitos belaka. Ya, pribumi malas hanyalah mitos yang diciptakan oleh orang barat tentang kenyataan historis orang-orang Melayu dan sebagainya. Saya sependapat dengan Syed Naguib Al Attas tentang kemalasan hanya sebagai mitos. Sebab kenyataannya bahwa orang malas atau tidak bukan menjadi label bagi suatu suku tertentu akan tetapi saling terkait dengan berbagai faktor lainnya.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi ‘mitos pribumi malas’ dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.[5]

Dari dimensi teologis, bahwa memang manusia diciptakan secara bergolong-golongan. Al Qur’an juga menceritakan tentang bagaimana Allah menciptakan manusia secara berkelompok atau bergolongan. Allah menyebut dengan kata syu’ub atau berbangsa-bangsa dan qabail atau bersuku-suku. Allah telah menciptakan manusia dalam berbagai penggolongan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Di dalam hal ini, Al Qur’an menyatakan: ”Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabailan, lita’arafu.” Artinya:  ”Sesungguhnya Allah menciptakan kamu dari kaum lelaki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal”.

Keragaman adalah sunnatullah. Keragaman merupakan bagian dari sesuatu yang bercorak natural. Memang harus seperti itu. Ada etnis Cina, Arab, Eropa, Negro. Amerika Latin dan sebagainya dengan corak warna kulit, adat istiadat, tradisi, bahasa dan komunikasi dan sebagainya. Semua memiliki ciri khasnya masing-masing.

Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Mungkin tak banyak warga negeri ini yang tahu, berapa persisnya jumlah suku bangsa di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan survei mengenai jumlah suku bangsa tersebut. Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3/2), menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Dengan sebanyak 583 ragam  bahasa daerah.

Semenjak Empu Tantular menulis tentang Bhinneka Tunggal Ika, maka sesungguhnya kesadaran tentang pluralitas dan multikulturalitas sudah dimiliki oleh para leluhur bangsa ini. Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Majapahit dan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Islam sudah memberikan gambaran tentang implementasi pluralitas dan multikulturalitas tersebut.

Di wilayah kerajaan Nusantara ini memang semenjak semula memiliki varian suku, ras dan agama. Di kerajaan Majapahit terdapat aneka pemeluk agama; Hindu,  Budha, Islam dan Budha-Syiwa, dan juga keyakinan lokal lainnya. Semenjak Wangsa Isyana menguasai tanah Jawa, Sri Erlangga, kemudian Sri Jayabaya, dan raja-raja Majapahit, maka di kerajaan-kerajaan tersebut sudah terdapat  kehidupan yang bhinneka tunggal ika. Di negara-negara tersebut telah hidup suku Jawa, Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain dengan aneka agama dan kepercayaannya.

Pluralitas dan multikulturalitas ternyata sudah melazimi kehidupan masyarakat ini semengoogjak dahulu kala. Hanya saja bahwa di tengah kehidupan yang semakin cepat berubah ini, ternyata masih ada yang menganggap etnisitas, ras dan golongan merupakan masalah. Ini berarti bahwa masalah entisitas yang telah menjadi bagian dari historisitas bangsa ternyata masih memendam persoalan social and etnicity prejudice.

Munculnya persoalan itu bukan semata-mata disebabkan oleh relasi etnisitas namun juga lebih disebabkan oleh aspek kepentingan: bisa sosial, politik, ekonomi dan juga budaya. Dalam bidang ekonomi, misalnya social and etnicity prejudice disebabkan oleh faktor kesejahteraan. Orang Cina yang minoritas menguasai lebih besar kesejahteraan, sementara  Orang pribumi yang mayoritas  justru yang terpuruk.

Siapapun mengakui bahwa agama mengandung unsur keyakinan yang sangat mendasar. Ia mengandung sesuatu yang sangat sakral dan melibatkan seluruh emosi manusia yang sangat mendalam. Ia  adalah sesuatu yang ultimate concern. Keterlibatan terhadap sesuatu yang tidak terbatas, sehingga ketika persoalan agama ini dicederai atau dinodai, maka akan menyebabkan orang marah dan sangat mungkin menimbulkan konflik. Bukankah banyak konflik sosial bernuansa agama di Indonesia. Konflik sosial yang kemudian menjadi semakin mengeras sebab agama terlibat di dalamnya

Kerusuhan Banjarmasin sesungguhnya dipicu oleh persoalan politik tetapi bernuansa agama. Peristiwa ini dimulai waktu kampanye pemilu tahun 1997. arak-arakan Golkar dilaksanakan pada waktu hari Jum’at di mana orang Islam sedang melakukan shalat Jum’at. Ketika rombongan tersebut melewati masjid An Nur, maka kemarahan warga tidak dapat ditahan sehingga terjadilah konflik yang keras. [6]

Kerusuhan di Mataram dipicu oleh aksi solidaritas masyarakat terhadap peristiwa konflik di Maluku. Ketika mereka melakukan apel solidaritas, maka ketika mereka pulang kemudian melakukan penyerangan terhadap Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) kemudian peristiwa ini menyebabkan konflik antar agama di sini.

Dalam Kerusuhah Kalimantan Barat, sebenarnya dipicu oleh persoalan sosial yaitu bentrokan antar pribadi antara pemuda Dayak dan Madura, Namun  akhirnya menjadi bentrokan antar suku dan akhirnya menjadi konflik antar etnis yang melibatkan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas. Peristiwa ini menyebabkan kerusakan fisik dan juga trauma berkepanjangan dari mereka.[7]

Kronologi peristiwa kerusuhan di Kupang terjadi karena peserta upacara perkabungan umat Kristiani tanggal 30 Nopember 1998. peserta pawai ini kemudian melakukan pelemparan terhadap paa pedagang dan ketika sampai di depan masjid  mereka saling lempar sehingga terjadi kerusakan dan bahkan juga ada beberapa masjid yang dibakar. Akibatnya kemudian adalah terjadinya konflik yang tentu saja merugikan ke dua belah pihak.[8]

Seirama terjadinya berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, maka sesungguhnya kata yang diperlukan untuk dipertanyakan adalah tentang toleransi. Sebagaimana telah diketahui bahwa melalui toleransilah keragaman akan dapat dipahami sebagai suatu kekuatan bangsa. Tanpa toleransi maka suatu bangsa yang besar sekalipun akan tidak memiliki kemampuan untuk menyangga beban pluralitas dan multikulturalitasnya. Semangat plualisme telah terjadi bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 2008 dan kemudian juga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. penyatuan pluralisme tersebut diungkapkan lewat konsep bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia. Dan sebagaimana diketahui bahwa konsep tersebut tidak serta merta menghilangkan keragaman dan lokalitas.

Keragaman suku bangsa, etnis dan bahasa serta budaya tetap menjadi ciri khas bangsa ini. Hanya saja ketika keragaman tersebut memunculkan kesadaran baru etnosentrisme dan supra lokalitas, maka tentu hal ini akan mengganggu terhadap kesatuan bangsa dan negara yang dicita-citakan bersama oleh para pendiri bangsa.

Dewasa ini kita sedang berada di dalam sebuah negara yang terlibat di dunia global. Sebagai konsekuensinya, maka akan muncul keterikatan baru atau neo pluralitas, misalnya tentang kesamaan gender, budaya massa, ideologi trans-nasional dan sebagainya. Akibatnya, maka konsep bangsa, nsionalisme atau negara bangsa bisa menjadi tereduksi oleh hal ini. Tentang ideologi trans-nasionalisme maka ada sebuah keyakinan bahwa konsep nasionalisme kebangsaan tidak ada lagi sebab orang dipersatukan oleh khilafah yang merupakan satu kesatuan dunia. Khilafah Islamiyah misalnya adalah representasi pemerintahan Islamyang tidak dibatasi oleh sekat nasionalisme lokalitas akan tetapi universalitas sistem pemerintahan berbasis Islam.

Suatu kenyataan bahwa lokalitas, bahasa, agama dan etnisitas adalah simbol-simbol yang jika tidak dimanej dengan baik baik akan berpotensi menyebabkan kerusuhan, pertentangan dan konflik. Makanya, untuk menjaga agar terjadi kesepahaman tentang hal ini, salah satu di antaranya adalaj melalui membangun kesepahaman akan pentingnya toleransi.

Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah   bagaimana batas toleransi tersebut. Di dalam kehidupan keberagamaan, maka yang penting diperhatikan adalah memahami bahwa persoalan teologis agama-agama harus dianggap selesai. Hal ini tidak perlu untuk dibicarakan. Teologi agama-agama memang harus seperti itu. pasti ada perbedaan antara satu agama dengan lainnya. suatu ungkapan yang menarik pernah diungkapkan oleh KH. Hasyim Muzadi, bahwa “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Sebuah ungkapan yang sarat dengan pandangan pluralisme dan multikultruralisme yang sangat mendasar.

Di dalam suatu kesempatan peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Masjid Al-Akbar Surabaya, di mana Gus Sholah, adik Gus Dur, mengungkapkan tentang bagaimana cara dan substansi Gus Dur di dalam memandang pluralisme. Dinyatakan bahwa Gus Dur membagi pluralisme dalam dua sisi, yaitu pluralisme teologis dan pluralisme sosial.

Di dalam pluralisme teologis, maka seseorang berkeyakinan bahwa semua agama secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini oleh semua penganut agama. Tuhan itu hakikatnya satu. Hanya penyebutannya saja yang berbeda. Bisa disebut Allah (menurut orang Islam), atau Allah (menurut orang Kristen), Yahweh (menurut orang Yahudi), Ahuramazda (menurut orang Majusi), Sang Hyang Widhi (menurut orang Hindu) atau Sang Budha (menurut orang Budha) dan sebagainya. Sebutan itu hanyalah nama, akan tetapi hakikinya adalah Tuhan yang satu saja.

Konsekuensi dari kesamaan Tuhan itu juga akan berimplikasi pada upacara ritual yang akan dan harus dilakukan. Di dalam pluralisme teologis, tentu tidak ada perbedaan upacara ritual antara satu agama dengan lainnya. Misalnya seperti keyakinan yang dibangun oleh Anand Khrisna, maka yang penting adalah melakukan meditasi yang dirancang berbasis pada pengalaman spiritualnya. Bisa jadi orang tidak perlu shalat lima kali dalam sehari. Cukup semedi saja.

Memahami terhadap kenyataan ini, maka persoalan pluralisme tidak agi penting untuk diperdebatkan sebab jika masih ada pandangan bahwa pluralisme tersebut sama dengan gagasan menyamakan semua agama, maka pandangan tersebut tentunya harus direvisi. Jika pluralisme teologis memang bisa dipersalahkan, akan tetapi terhadap pluralisme sosial kiranya memang harus diapresiasi sebagai bagian dari kesadaran bahwa memang masyarakat kita –Indonesia—adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, suku, bahasa dan adat istiadat.

 

Kerukunan Sebagai Pilar Keragaman dan Toleransi

Bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Inilah yang disebut sebagai freedom to be. Di dalam hal ini, negara tidak boleh mencampuri urusan freedom to be dimaksud. Misalnya orang Islam harus menyebut Muhammad saw sebagai rasulullah. Shalat wajib harus lima kali sehari dengan urutan dan waktu yang sudah ditentukan.

Negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap penduduk utk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. di dalam hal ini, maka pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama & ibadat pemeluk-pemeluknya. Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dlm melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dgn rukun, lancar, dan tertib;

Arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Agama memang selalu menjadi topik menarik dalam setiap even membahas relevansinya bagi kehidupan masyarakat, pemerintah dan negara. Tidak terkecuali adalah ketika agama dipertanyakan kembali relevansinya bagi pembangunan nasional. Agama memang menjadi pattern for behavior di dalam kehidupan manusia dan juga masyarakat.

Sebagai pedoman di dalam kehidupan manusia, agama sering menjadi sasaran ketika tafsir agama dimaksud menyebabkan terjadinya permasalahan di dalam masyarakat tersebut. Tidak terkecuali di dalam acara National Summit yang dilaksanakan selama dua hari, Kamis –Jum’at, 29-30 Oktober 2009. Di dalam National Summit ini juga banyak yang mempertanyakan bagaimana agama dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat Indonesia.

Ada tiga fokus pembicaraan tentang relasi agama dan masyarakat, yaitu agama dalam relasinya dengan kerukunan umat, agama dalam relevansinya dengan peningkatan kehidupan umat dan agama dalam relevansinya dengan tantangan pembangunan secara menyeluruh atau menjadikan agama sebagai spirit pembangunan.  Tentu yang saya tulis ini bisa saja tidak sama dengan rekomendasi sidang Komisi VI yang membincang tentang “agama dan Pembangunan Nasional”. Tetapi yang jelas bahwa perbincangan dari para diskusan dapatlah diresume dalam tiga fokus pembicaraan tersebut. Tulisan ini baru membincangkan tentang relasi antara agama dengan tantangan pembangunan keberagamaan ke depan.

Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan bangsa dan negara. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,  saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama    umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

Rukun, bahwa maknanya rang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan kerukunan dalam kehidupannya. Harmoni, artinya orang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan keseimbangan antara mikro kosmos dan makro kosmos. Kemudian Selamet, yang berarti bahwa  orang Indonesia (khususnya orang Jawa) sangat menjaga keselamatan baik dengan sesama manusia, alam dan Tuhan

            Dengan demikian, yang sesungguhnya diharapkan adalah bagaimana mengembangkan sikap dan tindakan yang mengedepankan kerukunan antar suku, etnis dan  agama secara sungguh-sungguh. Jadi yang diharapkan bukan pluralisme atau multikulturalisme butik, di mana kerukunan dan keharmonisan hanyalah di luarnya saja. Hal itu hanya dilakukan dengan duduk bersama, makan bersama dan berbicara bersama, akan tetapi tidak menjelma ke dalam membangun program kerja bersama.

Jadi, ke depan yang perlu dikembangkan adalah bagaimana membangun tidak sekedar co eksistensi tetapi pro eksistensi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 


[1] Makalah disampaikan pada workshop civic education oleh PBNU di Surabaya, 12/03/2010

[2] Menurut  Chorul Mahfudz, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 75 dinyatakan bahwa multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak) dan kultur (budaya)  yang berarti didalam kata itu terkandung  pengakuan akan martabat manusia yang hidup di dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.  Sedangkan plural dapat diterjemahkan sebagai majemuk atau banyak yan berarti bahwa di dalam kehidupan ini tidak hanya ada satu kelompok, golongan atau lainnya akan tetapi dapat dipastikan akan terdapat kelompok-kelompok atau golongan-golongan.

[3] Periksa Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, (Yogyakarta: Impuls dan IAIN Sunan Ampel Press, 2008), hlm. 45

[4] Hari B. Yuliawan, “Kutukan Menara Babel” dalam Basis, No. 01-02, Tahun ke 53, Januari-Pebruari 2004, hlm. 6

[5] Ahmad Sahidah,  Mengenang Pemikir Pejuang, dalam Republika, 20 Juli 2007

[6] Periksa, Titik Suwariyati, “Konflik Sosial Bernuansa Agama di Berbagai Komunitas (Kasus Kerusuhan Sosial di Banjarmasin 1997) dalam Muhaimin AG, Konflik Sosial…, hlm. 12

[7] Periksa, Umar Surur, “Konflik Sosial Bernuansa Sara Beragai Komunitas Etnik di Kalimantan Barat” dalam Muhaimin AG, Konflik Sosial…, hlm. 30.

[8] Periksa Ibnu Hasan Muchtar, ”Konflik-konflik Sosial bernuansa Agama Studi Kasus Kerusuhan Kupang Nusa Tenggara Timur 30 Nopember 1998 dalam AG. Muhaimin, Konflik Sosial…, hlm. 118

Categories: Opini