• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ADAKAH DEMONSTRASI BERKEADABAN?

 Apakah ada demo berkeadaban? Secara teoretis mestinya ada. Secara konseptual mestinya juga ada. Jika secara empiris ternyata sulit didapatkan, tentu ada kesenjangan antara yang seharusnya dengan yang senyatanya. Ada gap antara das sein dan  das solen. Sesungguhnya, melakukan demonstrasi adalah bagian dari proses demokrasi. Demonstrasi adalah bagian dari cara untuk menyampaikan gagasan kepada pihak lain, ketika cara yang sangat lazim, misalnya musyawarah tidak lagi bisa dilakukan. Di dalam hal ini, maka demonstrasi bisa dijadikan sebagai instrument untuk artikulasi kepentingan.

Era reformasi merupakan era yang paling bebas untuk melakukan demonstrasi. Di masa Orde Lama, semua saluran demonstrasi ditutup rapat. Jika ada yang melakukan demonstrasi, maka dia akan berhadapan dengan kekuatan militer yang sangat gigantik. Di era Orde Baru terdapat banyak lembaga yang dijadikan sebagai alat negara untuk memberangus berbagai demonstrasi. Salah satunya adalah Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang di masa Orde Baru digagas oleh Soedomo. Lembaga ini sangat ditakuti.

Misalnya, Tragedi 27 Juli (Kudatuli) adalah sejarah kelam bangsa ini. Peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI. Peristiwa ini kemudian meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Rezim (Orde Baru) ketika itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Di masa itu, semua aktivitas yang terkait dengan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah maka akan digebuk. Demonstrasi yang menghina lambang kesakralan negara akan dijatuhi hukuman berat. Misalnya lambang negara, gambar presiden, wakil presiden, bendera yang dinodai oleh demonstran akan langsung ditangkap dan dutudah sebagai tindakan subversi.

Namun di era reformasi, maka orang bisa melakukan demonstrasi dengan cara apapun. Misalnya di dalam demonstrasi untuk menyambut 100 hari kepemimpinan SBY, maka dibawalah kerbau dengan asesori tulisan SBY. Demikian pula di beberapa tempat, maka gambar SBY dan Budiyono juga dibakar dan diijak-injak. Tampak sekali nahwa lambang-lambang negara sudah dianggap sebagai lambang-lambang tidak bertuah. Seandainya ini terjadi di era Orde Baru, maka pastilah pelakunya akan masuk ke hotel prodeo.

Jika dicermati berbagai demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini, maka hampir seluruhnya mengakibatkan kekerasan sosial. Terkadang kita bertanya di dalam hati, apakah masyarakat kita sudah berubah dengan menganggap bahwa kekerasan merupakan suatu tindakan yang biasa saja.  Ataukah  hal ini merupakan sublimasi dari gunung es kekecewaan yang luar biasa terhadap kekuasaan yang korup. Ataukah  ini bentuk tindakan balas dendam terhadap yang dianggap lambang negara.

Jawaban antropologis tentang budaya kekerasan tentu tidak cocok. Rasanya, tidak mungkin masyarakat Indonesia yang santun kemudian dalam waktu yang relatif singkat kemudian berubah menjadi sangat keras. Mungkin yang lebih cocok adalah penjelasan sosiologis, di mana di dalam interaksi yang melibatkan kerumunan. Di dalam komunitas kerumunan, maka peran subyek menjadi hilang ditelan oleh hiruk pikuk kerumunan itu. Biasanya subyek yang berbicara keras akan menjadi panutan. Bahkan di dalam kerumunan juga rasionalitas terfokus pada persoalan kebersamaan.

Saya tidak akan menjustifikasi tentang macam apa demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok paling terdidik (mahasiswa) di akhir-akhir ini, tetapi konsep kerumunan kiranya dapat menjadi penjelas tentang bagaimana prilaku demonstrasi di Indonesia.

Dengan demikian, demonstrasi yang berkeadaban rasanya akan masih jauh selama mereka memang masih berada di dalam komunitas kerumunan itu.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini