RELIGION’S WAY OF KNOWING
Di dalam bukunya, Arthur J. D’Adamo, menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya konflik bernuansa agama adalah yang dikonsepkan sebagai religion’s way of knowing, yaitu konflik yang disebabkan oleh sebuah standart tentang agamanya sendiri yang diyakini kebenarannya sepenuhnya, yaitu: 1) bersifat konsisten dan berisi kebenaran-kebenaran yang tanpa kesalahan samasekali, 2) bersifat lengkap dan final—dan karena itu tidak diperlukan kebenaran dari agama lain, 3) kebenaran agamanya sendiri dianggap merupakan satu-satunya jalan keselamatan, pencerahan dan pembebasan, dan 4) seluruh kebenaran itu diyakini original dari Tuhan. Tidak ada konstruksi manusia.
Di dalam ajaran agama, memang ada suatu kawasan yang tidak bisa disalahkan oleh yang lain. Kawasan itu adalah kawasan teologis yang sangat doktriner. Di dalam kawasan inilah seseorang akan merasakan betapa ajaran agama berisi kemutlakan-kemutlakan yang tidak bisa diganggu oleh lainnya. Dan jika diganggu orang, maka akan menimbulkan kemarahan yang luar biasa.
Di dalamacara takshow di Televisi SBO Surabaya, maka juga terdapat sebuah pertanyaan dari pemirsa tentang bagaimana dengan ajaran menyimpang dan kemudian pertanyaan apakah ajaran universalisme model Anand Khrisna itu juga menyimpang. Dua pertanyaan ini menarik, sebab terkait dengan persoalan religious way of knowing yang mengandaikan keabsolutan ajaran agama.
Menyimpang atau tidak menyimpang sebuah ajaran tentang agama tentu terkait dengan pokok-pokok ajaran agama. Suatu contoh tentang ajaran agamayang mengajarkan tentang syahadat. Akan tetapi syahadatnya itu berbunyi: ”asyahadu anla ilaha illahllah wa asyhadu anna suryakusuma rasulullah”. Terhadap bunyi persaksian seperti ini jelas merupakan penyimpangan, sebab menyalahi terhadap pokok ajaran di dalam Islam. semua tentu tahun bahwa Muhammad saw adalah rasulullah yang terakhir. Sehingga ketika ada orang yeng mengaku Nabi pasca kenabian Muhammad saw, maka hal tersebut menyalahi terhadap keyakinan umat Islam.
Sebagai agama yang sudah memiliki pokok ajaran yang tidak bisa diganti dengan lainnya, maka menyalahi terhadap ajaran yang pokok ini dianggap sebagai penodaan, penistaan atau pelecehan terhadap agama Islam. hal ini bisa berakibat terhadap tindakan untuk melakukan pembalasan terhadap perlakukan orang tersebut. Dalam banyak hal, misalnya penyerangan terhadap Jamiyah Syiah (Ijabi), penyerangan terhadap Ahmadiyah dan sebagainya tentu saja dipicu oleh persoalan religious way of knowing ini.
Kemudian, terhadap ajaran Anand Khrisna, ajaran ini memang mengandung aspek universalisme teologis atau pluralisme teologis. Hal ini bisa dilihat tentang sistem keyakinan yang dikembangkan oleh yang bersangkutan. Dia mengembangkan ajaran bahwa semua agama sama. Tidak hanya dari sisi ajaran kemanusiaannya saja akan tetapi juga dari dimensi teologisnya. Dia menyatakan bahwa yang membedakan adalah sebutannya, akan tetapi hakikat Tuhan itu yang satu itu. Hanya penganut agama-agama saja yang menyebut atau memanggil dengan panggilan yang berbeda-beda. Kesamaan Tuhan atau universalisme ketuhanan inilah yang menjadikan ajarannya bisa dinyatakan sebagai ajaran yang tergolong pluralisme teologis.
Apalagi juga melihat terhadap praktik ajarannya yang hanya menggunakan semedi atau meditasi. Ajaran meditasi bukanlah ajaran agama Islam yang sesuai dengan pokok-pokok ajarannya. Islam dan bahkan agama lain, telah mengajarkan cara-cara untuk melakukan ritual sesuai dengan ajarannya. Setiap agama pastilah mengembangkan cara-cara peribadahan yang sudah final.
Sebagaimana diungkapkan oleh Pendeta Sumardiyanto, bahwa boleh saja orang beribadah dengan meditasi atau semedi, tetapi kepalanya harus berisi dengan konsepsi ketuhanan dan ajaran agama yang dianutnya. Jika tidak maka berarti yang bersangkutan telah melakukan ritual keagamaan yang bukan agamanya.
Meskipun pernyataan ini seperti memberi kelonggaran, akan tetapi jika dikaji secara lebih mendalam maka memberikan gambaran bahwa ajaran kekristenan tidak boleh lepas dari pikiran atau tindakan seseorang yang melakukan amalan apapun. Jadi, secara substansial mengindikasikan bahwa substansi keyakinan kekristenan tidak boleh dilepaskan sedikitpun.
Dengan demikian, seseorang akan berada di dalam ajaran agama tertentu jika secara substansial yang bersangkutan masih memiliki keyakinan tentang ajaran agamanya yang benar. Jika tidak seperti ini, maka yang bersangkutan dianggap sudah melakukan penyimpangan dari ajaran agamanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.