ADA APA DENGAN TOLERANSI BERAGAMA?
Pada hari Selasa, 02/03/2010, saya diundang untuk acara talkshow di Televisi SBO. Selain saya juga diundang Pendeta Sumardiyanto, dari Gereja Kristen Jawi Wetan, sebagai narasumber. Acara dikemas untuk membincang tentang aliran-aliran baru dalam agama-agama di Indonesia. Acara ini juga dikemas dalam perbincangan yang mengundang penanya dari pemirsa. Talkshow ini menjadi menarik sebab banyak pertanyaan dari pemirsa di seputar hubungan antar agama yang memang menjadi daerah paling rawan dalam kehidupan umat manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa membincang agama dalam relasinya dengan lainnya (the others) memang selalu menarik. Tidak hanya karena persoalan teologis yang memang selalu menyisakan masalah, akan tetapi juga problem relasi antar umat beragama yang terkadang menjadi sangat krusial. Agama memang menyediakan ruang untuk berbeda dengan perbedaan yang tajam dan melibatkan emosi keagamaan yang sangat mendasar. Agama selalu mengajarkan tentang doktrin teologis yang bertentangan secara diametral dengan lainnya. Agama mengajarkan tentang truth claimed yang tidak bisa dibantah oleh lainnya. Doktrin keagamaan adalah doktrin tentang kebenaran mutlak yang satu sama lainnya mengakui kebenarannya sendiri-sendiri.
Dari wilayah religious way of knowing itulah maka seringkali menyebabkan adanya konflik yang tidak bisa dielakkan. Konflik akan menjadi sangat keras jika agama terlibat di dalamnya. Jika semula konflik itu bernuansa sosial atau politik, maka ketika agama dilibatkan di dalamnya, maka akan terjadi kekerasan yang luar biasa.
Syukurlah bahwa dewasa ini toleransi di antara warga masyarakat beragama sudah semakin baik. Sehingga persoalan teologis sepertinya sudah mulai menemukan titik akhir. Artinya, bahwa perbincangan tentang teologi yang memang harus berbeda sudah semakin dipahami. Dalam pertanyaan Hasyim Muzadi, ketua PBNU: “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”.
Pada waktu talkshow itu, terdapat sebuah pertanyaan yang menarik dalam relasi antar umat beragama. Seorang Ibu dari Sidoarjo bertanya tentang bagaimana di dalam acara khutbah yang disampaikan melalui pengeras suara dengan menyebut penganut agama lain itu kafir dan akan masuk neraka. Padahal khutbah itu didengar oleh orang-orang yang beragama lain, bukan hanya yang beragama Islam.
Pertanyaan ini merupakan refleksi dari kegelisahan tentang seseorang yang dilabel kafir dan akan masuk neraka. Dan di dalam konsepsinya, yang akan masuk neraka justru orang yang membacakan khutbah tersebut. Inilah yang di dalam relasi antar umat beragama disebut sebagai religious way of knowing. Bahwa seseorang berkeyakinan hanya agamanya saja yang benar dan yang lain salah.
Di dalam konsepsi hubungan antar umat beragama, maka di sinilah diperlukan toleransi beragama. Jika seseorang melakukan khutbah di masjid dengan suara keras sehingga didengar oleh umat lain, maka hal itu harus dianggap bahwa yang bersangkutan sedang melakukan pengajaran agama kepada umatnya sendiri. Sama halnya dengan ketika seorang pendeta berkhutbah di gereja, maka harus dinyatakan bahwa khutbah itu adalah proses pembimbingan yang dilakukan oleh pendeta kepada jamaahnya. Makanya, surga, neraka, Tuhan, rasul dan sebagainya adalah wilayah teologis yang sudah selesai, sehingga siapapun tidak perlu tersinggung dengan ungkapan-ungkapan teologis ini.
Yang justru diperlukan di era keterbukaan informasi seperti sekarang adalah kearifan dalam memandang relasi antar umat beragama tersebut. Sebab jika tidak seperti itu, maka akan terjadi konflik horizontal yang bisa terjadi di mana-mana. Dalam konteks Indonesia yang plural dan multikultural, maka penghargaan akan adanya yang lain harus menjadi begian dari sikap dan tindakan kita.
Jadi secara teologis, jika ada agama yang tidak mengajarkan tentang truth claimed yang dianggap paling benar oleh para penganutnya, maka hal itu bukan agama. Untuk menjadi kyai, pendeta, ulama dan tokoh agama, maka yang bersangkutan harus melalui tahapan menjadikan agamanya sebagai sesuatu yang benar dan yang lain salah. Tanpa hal ini, maka seseorang belum beragama.
Wallahu a’lam bi al shawab.