KRIMINALISASI PELAKU NIKAH SIRI: SOLUSI ATAU PROBLEM BARU
Saya kemarin sore, 5/03/2010, menjadi keynote speaker dalam acara yang diusung oleh LSM Jatim one dalam acara responsi terhadap rencana menerbitkan Undang-Undang Nikah Siri. Yang menjadi nara sumber adalah KH. Abdurahman Nafis (tokoh NUdan MUI Jawa Timur) dan Yayuk Istichanah, tokoh LSM yang bergerak di dalam aktivitas gender di Jawa Timur. Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh gender Jawa Timur, mahasiswa, aktivis dan pengurus LSM Jatim One. Acara ini diselenggarakan di Auditorium Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Di dalam hal ini, ada sebuah pertanyaan: mengapa RUU anti Nikah Siri? Untuk kepentingan jawaban terhadap pertanyaan ini, maka saya akan menjawab dari perspektif ilmu sosial dan bukan dari perspektif fiqih atau teologis. Terkait dengan nikah siri, yang dalam banyak hal dikaitkan dengan persoalan private, maka negara ternyata masih harus terlibat. Hal ini berhubungan dengan relasi antara negara dan agama yang bercorak simbiosis. Yakni agama membutuhkan negara sebagai tempat pengembangan agama tersebut dan di sisi lain negara membutuhkan pijakan moral untuk penyelenggraannya. Indonesia memang bukan negara agama, akan dengan menempatkan Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, maka jelas bahwa negara menjadikan agama sebagai pilar penting penyelenggaraannya dan negara juga mengatur relasi antar penganut agama dan relasi keluarga dalam rumah tangga.
Negara dalam konteks ini lalu juga mengatur hubungan antara lelaki dan wanita
melalui Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1975. Undang-undang ini jelas merupakan intervensi negara terhadap kehidupan masyarakat. Demikian pula PNPS no 1/1965 yang dijadikan UU No 1 tahun 1965 tentang penodaan agama dan penyalahgunaan agama juga merupakan bentuk campur tangan negara terhadap kehidupan private. Inilah yang di dalam konteks kebebasan dalam hak asasi manusia sebagai wewenang negara dalam mengatur freedom to act.
Mengenai kawin siri ini, memang ada kerancauan pemahaman. Di kalangan Ulama ada yang menyatakan bahwa nikah siri itu bukan nikah yang disembunyikan, akan tetapi nikah yang dilaksanakan secara terang-terangan dan sesuai dengan kaidah perkawinan, hanya saja belum dicatatkan dalam administrasi perkawinan. Sementara yang lain beranggapan bahwa nikah siri itu nikah yang disembunyikan dari pengetahuan masyarakat dan memang tidak perlu dicatatkan. Selain itu juga ada yang menyamakan dengan nikah mut’ah yang di zaman Nabi Muhammad saw pernah diperbolehkan tetapi kemudian dilarang. Kebolehan itu karena faktor darurat. Saya tidak akan memperpanjang diskusi tentang hal ini. Para kyai jauh lebih berkompeten.
Dari aspek sosiologis, ada dua hal yang menurut saya perlu dipertimbangkan tentang perlu atau tidaknya nikah siri ini, yaitu: pengkajian yang dilakukan oleh Majalah Srinthil, kira-kira setahun yang lalu dan penelitian Husniyatus Salamah Zainiyati (dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, mahasiswa program doktor IAIN Sunan Ampel) tentang Poliandri di Desa Rembang, Pasuruan Jawa Timur. Dua tulisan ini penting untuk dipertimbangkan sebab secara langsung maupun tidak langsung, keduanya memotret tentang nikah siri yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat tentang praktik nikah siri. Di dalam laporan yang ditulis di Majalah Srinthil, maka digambarkan bahwa faktor ekonomilah yang menjadi penyebab mengapa banyak perempuan di Desa Rembang Pasuruan untuk melakukan nikah Siri. Bagi masyarakat pelakunya, maka dengan menjalani nikah siri dengan lelaki yang memperistrinya, maka secara langsung dapat meningkatkan pendapatan keluarganya. Nikah siri ini sudah dilakukan dengan sangat terstruktur. Artinya, bahwa nikah siri sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini. Ada pelaku, ada petugas, ada makelar atau broker yang semuanya memperoleh bagian dari pekerjaannya.
Bahkan jika ada orang luar yang masuk ke desa itu, maka segera akan meluncur tawaran untuk melakukan nikah siri ini. Hanya saja pernah terjadi, bahwa ketika ada dua orang lelaki yang sama-sama berada di pasar Rembang ternyata salah seorang lelaki itu menggunakan jaket yang menjadi milik lelaki lainnya. Ketika saling bertegur sapa, ternyata diketahui bahwa jaket tersebut tertinggal di rumah salah seorang perempuan (istri) di desa tersebut. Dan ironisnya, lelaki yang memakai jaket itu juga suami dari perempuan (istri) yang sama. Jadi terdapat sistem poliandri. Makanya, jam berkunjung sudah diatur sedemikian ketat oleh oleh para brokernya, tentunya di dalam kerangka agar tidak terjadi kesamaan waktu berkunjung ke perempuan (istri) tersebut.
Penelitian Husniyah, memperkuat terhadap hasil rekaman yang dilakukan oleh Majalah Srinthil. Di dalam penelitian ini juga digambarkan tentang faktor-faktor penyebab mengapa terjadi pernikahan poliandri. Di antara yang mengedepan adalah karena faktor kemiskinan. Praktik pernikahan poliandri terjadi karena masyarakat permisif saja melakukannya. Hanya saja, sebagaimana penuturan Husniyah, bahwa konsep poliandri memang tidak dikenal di desa ini, meskipun praktik sosialnya memang benar-benar terjadi.
Dengan demikian, sesungguhnya kawin siri memang telah menjadi realitas sosial. Kita belum bisa menggambarkan seberapa besar kuantitasnya atau terjadi di mana saja. Akan tetapi bahwa pernikahan siri memang telah menjadi realitas sosial. Ada yang memang menggunakan pola sebagaimana yang dilakukan di kalangan ulama dan ada yang menggunakan pola seperti di Rembang Pasuruan dan ada yang dilakukan secara siri dalam pengertian yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, tugas negara adalah membangun kesetaraan gender untuk kemaslahatan bersama. Di dalam hal ini, maka negara memiliki tugas dan tanggungjawab untuk melindungi warganya, terutama kaum perempuan yang menjadi pelaku nikah siri. Seperti diketahui bahwa nikah siri apapun kenyataannya memang mengandung problema pencatatan pernikahan, sehingga akan terdapat dampak ikutan di dalamnya. Misalnya mengenai hak anak, hak waris dan hak keluarga. Oleh karena itu, maka pemerintah memang berkewajiban untuk mencegah terjadinya gender oppression.
Namun demikian, apakah bentuknya harus Undang-undang atau Peraturan lainnya dengan berbagai sangsinya, kiranya memang pantas untuk didiskusikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.