MENJADI UIN ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN
Membaca tulisan mahasiswa tentang Konversi IAIN Sunan Ampel ke UIN Sunan Ampel, saya merasa bangga. Apapun response mahasiswa terhadap rencana konversi dari IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel adalah bagian dari rasa memiliki terhadap institusinya. Tulisan di buletin Coret yang diterbitkan oleh mahasiswa, memang secara khusus dalam satu edisi membahas tentang rencana konversi tersebut. Di antara tulisan itu ada yang pro dan kontra. Tetapi yang paling mendasar adalah tentang kekhawatiran mahasiswa mengenai persoalan pasca menjadi UIN Sunan Ampel, apakah institusi ini akan tetap memelihara Ilmu keislaman? Siapa yang akan memelihara ilmu keislaman? Apakah ilmu keislaman tidak akan terpinggirkan?
Di dalam tulisan itu ada banyak response. Para dosen, justru sangat mendukung terhadap gagasan konversi. Jika menggunakan tolok ukur para pembantu dekan, sebagai suara dosen, maka tampaknya gagasan menjadi UIN adalah bagian dari proses untuk melakukan diversifikasi program studi agar lebih relevan dengan tuntutan kebutuhan.
Sementara itu kalangan mahasiswa justru menginginkan agar tetap menjadi IAIN sebab ada kekhawatiran bahwa setelah menjadi UIN, maka ilmu keislaman akan terlantar. Mungkin mereka mendapatkan berbagai informasi tentang perlakuan yang dirasakan oleh para mahasiswa ilmu keislaman yang mungkin merasa dianaktirikan. Proses inilah yang mungkin dirasakan oleh para mahasiswa Islamic studies akhir-akhir ini. Akumulasi dari perasaan inilah yang kemudian mewujudkan rasa ketakutan di kalangan mahasiswa, bahwa nasib mereka yang mengambil prodi Islamic studies akan terpinggirkan.
Bagi beberapa UIN mungkin mengambil prioritas untuk mengembangkan program studi umum. Misalnya pemberian prioritas untuk prodi saintek, maka dapat dipastikan seluruh energi dikerahkan untuk pengembangan prodi baru tersebut. Pemikiran untuk memprioritaskan prodi yang baru tentu dianggap wajar, sebab prodi baru ini harus diprioritaskan, sebab terkait dengan kompetensi dan kompetisi yang memang harus dilakukan. Hal ini semata-mata untuk mengejar kompetisi yang terkait dengan perguruan tinggi yang memiliki prodi yang sama.
Jadi memang persoalannya adalah pada prioritas program untuk mengejar ketertinggalan dengan kompetitor di perguruan tinggi lain. Jadi bukan pada masalah peminggiran atau penganaktirian. Memang harus dipahami bahwa program studi baru juga harus mengejar akreditasi, maka standart agar memperoleh standart terakreditasi, maka pemenuhan srandart ketercukupan minimal untuk terakreditasi tentunya harus dipenuhi.
Namun demikian, ada satu hal yang tentu tidak boleh dilupakan oleh UIN, IAIN dan STAIN sebagai institusi pendidikan tinggi adalah menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman. Oleh karena itu, maka UIN, IAIN dan STAIN juga tidak boleh melupakan misi utama institusi ini sebagai pengembang ilmu keislaman. Dalam keadaan apapun, atau ketika berubah apapun secara institusional, maka misi utama ini harus tetap diutamakan.
Dalam pandangan saya, bahwa melalui pengembangan ilmu umum yang nantinya akan juga menjadi besar, maka dampak positifnya bagi Islamic studies adalah bisa mengarange anggaran khusus untuk pengembangan Islamic studies. Bukankah dengan jumlah anggaran yang memadai maka pengembangan program akan sangat dimungkinkan. Ke depan seirama dengan akan berlakunya UU BHP, maka lembaga pendidikan tinggi harus kreatif untuk meningkatkan generate income-nya. Sehingga melalui peningkatan generate income tersebut, maka akan sangat memungkinkan pengembangan program-program yang selaras dengan pengarusutamaan prodi Islamic studies.
Dengan demikian, pengembangan institusi dari IAIN ke UIN menurut saya justru akan menjadikan program Islamic studies memperoleh kesempatan untuk menjadi program studi yang diutamakan karena ketersediaan dosen yang sudah mapan, penguatan program studi yang mengarah ke ekselen dan diharapkan akan meningkatkan kualitas mahasiswa.
Jadi, melalui perubahan tersebut dalam bayangan saya justru akan menjadi momentum penting untuk melangkah mengembangkan Islamic studies yang lebih kuat. Hanya yang perlu dipahami adalah jangan sampai konversi itu justru menjadikan Islamic studies ke kelas dua. Dan itu itu semua tergantung kepada kita semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.