• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEKALI LAGI PLURALISME GUS DUR

 Ketika saya membaca tulisan Sirikit Syah di Warta BAZ (Badan Amil Zakat Provinsi Jawa Timur), tentang Pluralisme Kebablasan, menurut saya ada hal yang memang harus dipahami secara komprehensip. Salah satu yang cukup mengganggu saya adalah ketika disebutkan bahwa Gus Dur adalah termasuk orang yang berkeyakinan bahwa semua agama sama. Ada pertanyaan yang harus saya kemukakan, bahwa apakah benar Gus Dur sampai tahapan berpikir seperti itu. Apakah Gus Dur sampai pada keyakinan bahwa semua agama secara teologis sama. Pertanyaan ini yang menurut saya perlu diklarifikasi sebab bisa mengandung “kesalahan” konseptual tentang pluralisme Gus Dur.

Ada yang menarik di dalam suatu kesempatan peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Masjid Al-Akbar Surabaya, di mana Gus Sholah, adik Gus Dur, mengungkapkan tentang bagaimana cara dan substansi Gus Dur di dalam memandang pluralisme. Dinyatakan bahwa Gus Dur membagi pluralisme dalam dua sisi, yaitu pluralisme teologis dan pluralisme sosial.

Di dalam pluralisme teologis, maka seseorang berkeyakinan bahwa semua agama secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini oleh semua penganut agama. Tuhan itu hakikatnya satu. Hanya penyebutannya saja yang berbeda. Bisa disebut Allah (menurut orang Islam), atau Allah (menurut orang Kristen), Yahweh (menurut orang Yahudi), Ahuramazda (menurut orang Majusi), Sang Hyang Widhi (menurut orang Hindu) atau Sang Budha (menurut orang Budha) dan sebagainya. Sebutan itu hanyalah nama, akan tetapi hakikinya adalah Tuhan yang satu saja.

Konsekuensi dari kesamaan Tuhan itu juga akan berimplikasi pada upacara ritual yang akan dan harus dilakukan. Di dalam pluralisme teologis, tentu tidak ada perbedaan upacara ritual antara satu agama dengan lainnya. Misalnya seperti keyakinan yang dibangun oleh Anand Khrisna, maka yang penting adalah melakukan meditasi yang dirancang berbasis pada pengalaman spiritualnya. Bisa jadi orang tidak perlu shalat lima kali dalam sehari. Cukup semedi saja.

Jika menggunakan tolok ukur seperti ini, pastilah Gus Dur bukan orang yang bisa dilabel dengan pluralisme teologis itu. Gus Dur adalah orang yang menjalankan syariat Islam secara formal. Beliau lakukan upacara ritual Islam secara sangat memadai. Bahkan mungkin telah memasuki dunia maqamat yang tidak bisa dilakukan oleh orang yang awam dalam bidang agama. Bahkan juga sangat mungkin beliau telah memasuki dunia beragama yang esoteris, yang mendalam sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum tarekat.   

Gus Dur adalah penganut pluralisme sosial. Menurut Gus Sholah bahwa di dalam pluralisme sosial, maka terdapat pesan agama yang  hakikatnya sama, yaitu pesan kemanusiaan. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan, misalnya kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong dan sebagainya. Tidak ada satu pun agama yang mengajarka agar merusak alam, merusak persaudaraan, mengembangkan konflik sosial dan sebagainya. Di dalam pluralisme sosial ini, maka seseorang akan mengakui keberadaan orang lain yang beragama lain. Di dalam konsepsi ini, maka semua agama menjunjung tinggi kemanusiaan. Koridor kemanusiaan itulah yang menyebabkan Gus Dur dan juga penganut pluralisme sosial lainnya untuk bisa duduk, berbicara dan saling mendatangi pertemuan yang dibingkai oleh kebersamaan itu. Orang seperti Gus Dur sudah sampai tahapan tidak hanya mengakui co-eksistensi tetapi juga pro-eksistensi. Tidak hanya mengakui keberadaan penganut agama lain dengan keyakinan dan praktik ibadahnya tetapi juga mengakui pentingnya kerjasama antar penganut agama. Common enemy yang mereka hadapi adalah kemiskinan, ketertinggalan dan sebagainya.

Tentang pluralisme teologis dan sosial ini juga disampaikan oleh Hasyim Muzadi dihadapan Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Yudicial Review tentang Penpres No.1/1965. Hasyim Muzadi selaku Tim Saksi Ahli  Kementerian Agama juga menyatakan tentang perbedaan antara pluralisme teologis dan sosial ini.

Dinyatakannya bahwa yang dikembangkan oleh Gus Dur adalah pluralisme sosial bukan teologis, sebab dalam banyak kesempatan Gus Dur juga menyatakan bahwa kebenaran ajaran Islam adalah mutlak dari sisi dogma teologisnya. Sebagai penganut Islam taat, maka Gus Dur tidak mengingkari terhadap ayat-ayat yang memang sudah sangat jelas tentang kebenaran ketuhanan dan ritual di dalam Islam.

Oleh karena itu, jika ada yang menyatakan bahwa Gus Dur menyamakan semua agama, maka pendapat ini bisa merupakan penafsiran yang kurang cermat terhadap pemikiran dan gagasan Gus Dur tentang pluralisme yang memang sering memantik masalah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini