RELASI NU DAN POLITIK
Prof. Dr. H. Nur Syam, Msi
Pengantar
NU semenjak semula memang merupakan organisasi sosial keagamaan yang memiliki tugas untuk memberikan panduan dan bimbingan, bagaimana agar perubahan kebutuhan maupun kaifiyah dalam memecahkan kebutuhan tersebut tidak mengakibatkan goncangan pada moral masyarakat dengan terus melakukan pembinaan akhlakul karimah. Dengan demikian, NU di satu pihak terus melakukan perbaikan dan khidmahnya kepada umat dan bangsa, di fihak lain NU terus berusaha agar menjaga masyarakat berpedang teguh pada sifat dan sikap yang mencerminkan akhlakul karimah yang bersumber dari ajaran Islam.
Hubungan Nahdlatul Ulama dengan politik digambarkan sebagai berikut: Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlakul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggungjawab.
Relasi NU dan Politik yang Fluktuatif
NU memang ditakdirkan tidak berjodoh dalam urusan politik. Semenjak memenangkan perolehan suara empat besar dalam pemilu 1955 dan menjadi tiga besar dalam pemilu 1971, maka pada fase berikutnya nasib jelek selalu menaungi NU dalam perhelatan politik. Bahkan yang tragis adalah ketika dipecundangi oleh J. Naro dkk dalam sejarah perkembangan PPP.
Pasca kembali ke khittah 1926, tahun 1984, maka NU memang dapat bermain secara efektif di dalam pemberdayaan masyarakat, baik di bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Banyak NGO yang berdiri dari inspirasi warga Nahdliyin. Mereka melakukan kolaborasi dengan berbagai badan nasional maupun internasional untuk kepentingan pengembangan masyarakat. Bahkan NU juga dilabel sebagai organisasi yang mengembangkan civil society. Godaan politik praktis dapat ditepis dari pusaran NU.
Namun demikian, romantisme politik bergaung kembali pasca reformasi. Bahkan lewat PKB NU berhasil mengusung kader terbaiknya, Gus Dur sebagai Presiden. Hanya sayangnya bahwa realitas politik selalu berbicara lain, Gus Dur terpental dari tampuk kepemimpinan negara dan PKB pun kemudian terjebak dalam pertikaian internal yang tak kunjung reda. Bahkan hingga dewasa ini.
Sebagai organisasi besar, NU memang selalu berada di dalam tarikan-tarikan kepentingan politik baik dari kadernya sendiri maupun orang luar. NU memang secara kultural adalah sebagai organisasi besar. Jumlah pengikutnya mencapai puluhan juta orang. NU juga secara kultural membawahi institusi pesantren yang jumlahnya mendekati angka 15.000 buah tersebar di seluruh Nusantara.
Banyaknya institusi kultural di bawah NU kerap membuat NU sebagai organisasi struktural bergerak tertatih-tatih. Ibarat rumah besar, maka rumah itu banyak sekali pintunya. Sehingga orang bisa keluar masuk dari pintu mana saja. Kamarnya juga banyak dan masing-masing kamar itu memiliki penghuni dengan irama kehidupan sendiri-sendiri. Maka seandainya suatu ketika dibuat sebuah orkhestra di rumah besar itu dan ditunjuklah seorang dirijen, maka dirijen itu akan sangat kesulitan karena masing-masing memiliki kecenderungan irama lagu yang berbeda bahkan gerakan dan tarian yang berbeda-beda.
Jika di dalam orkhestra itu kekuatannya adalah kebersamaan dan harmoni, maka di dalam rumah NU itu justru keragaman yang menjadi cirinya. Akibatnya, masing-masing penghuni rumah dapat melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri selama berada di dalam koridor besar kultur NU. Identitasnya terbangun dari dunia kultur dan bukan struktur. Makanya, hampir tidak didapati sebuah sistem besar (grand system) yang mengatur mekanisme NU sebagai organisasi struktural ketika berhadapan dengan kultur NU yang demikian plural dan terbuka.
Jika rumah besar dengan berbagai macam pintu dan kamarnya tersebut dikaitkan dengan fenomena politik, maka sahlah kiranya jika sangat sulit untuk menyatukan atau meminalisasikan differensiasi kepentingan dari elit-elit NU. Makanya, di dalam perhelatan politik selalu dijumpai banyaknya elit NU yang bertarung sendiri. Banyak pintu masuk yang dapat digunakan untuk lewat. Jika tidak lewat struktur NU maka bisa lewat pintu kultur NU. Dan semuanya akan memperoleh dukungan masing-masing. Tradisi ini tentunya juga terkait dengan tindakan paternalitas kaum Nahdliyin yang memiliki diversifikasi kepatuhan yang semi tertutup. Katakanlah bahwa jika sudah patuh kepada seorang kyai, maka menutup kemungkinan pengalihan kepada kyai lainnya. Memang terdapat perubahan kepatuhan, namun secara umum masih belum signifikan. Fenomena pilkada dapat menjelaskan relasi antara kepatuhan politik pada kyai dan perilaku pilihan politik massa tersebut.
NU memang secara politik termasuk kurang beruntung. Jika digunakan Jawa Timur sebagai basis NU, maka justru di wilayah ini NU belum mampu menempatkan kader-kadernya untuk jabatan politik, seperti bupati/wakil bupati dan wali kota/wawali kota. Dan yang sesungguhnya merisaukan adalah karena kekalahan tersebut disebabkan oleh pudarnya soliditas warga NU dalam kompetisi politik. Di beberapa daerah terjadi pertarungan sesama elit NU. Mereka menggunakan kendaraan bervariasi. Mereka masuk lewat pintu berbeda. Dan ternyata variasi pintu masuk tersebut juga memperoleh dukungan dari elit-elit NU. Terdiferensiasinya suara warga NU tersebut kemudian bisa dimanfaatkan secara jitu oleh kompetitor politiknya.
Pembelajaran Politik Yang Mahal
Kekalahan elit NU di dalam momentum politik, tentunya harus dijadikan sebagai pelajaran penting bahwa memang tidak mudah bermain di ranah politik. Banyaknya benturan kepentingan yang tidak mampu diredam secara normatif tentunya mengharuskan reformulasi elit NU dalam dunia politik. Sebagai wilayah profan, dunia politik ternyata tidak mudah dihandle melalui fatwa atau semacamnya.
Dunia politik menjadi common causes kuatnya sekat atau hijab yang menyelebungi ikatan identitas struktural di antara elit NU. Benturan antara NU struktural dan kultural sering mewarnai pasar raya kepentingan politik. Di dalam perhelatan politik hampir selalu dijumpai varian-varian dukungan dalam kepentingan politik yang partikular. Dan seperti lazimnya permainan politik, maka berbagai macam petuah atau taushiyah bahkan fatwa juga menyertai hingar bingar upacara liminal pilihan politik dimaksud.
kesalahan tersebut tidak secara general dapat dialamatkan kepada elit-elit NU dalam tindakan politik. Faktor utama mengapa terjadi varian tindakan politik di kalangan elit NU adalah ketiadaan sistem yang menjadi pattern for behavior para elit politik dan NU dalam kerangka memasuki dunia politik.
Orang seringkali melihat AD/ART sebagai panduan dan pola bagi tindakan pelaku organisasi. Namun kenyataannya bahwa AD/ART pun sangat konstruktif-interpretatif terkait dengan penafsiran para pelakunya. Jika demikian halnya, maka semuanya tergantung pada siapa menafsirkan apa dan dalam konteks apa. Sungguh dibutuhkan satu sistem yang kredibel untuk mengatur mekanisme elit NU masuk politik mengatasi kekuatan kultur yang variatif. NU kemudian dijadikan sebagai satu-satunya referensi untuk mengusung siapa di mana dalam konteks pilihan politik apa.
Jika ini bisa dilakukan, maka elit struktural NU tidak harus mengurusi politik praktis yang memang bukan habitatnya. Yang diharapkan adalah NU dapat menyiapkan kader terbaiknya untuk jabatan-jabatan politik di suatu tempat tertentu. Dan kerja berikutnya adalah wilayah agensi yang bersangkutan untuk bermain dalan tataran politik melalui wadah yang sudah disepakati bersama. Dan yang lebih urgen adalah bagaimana menata mekanisme agar tidak terdapat dualisme dalam menyiapkan kader. Jika sudah ada kandidat NU yang maju ke medan laga politik, Sehingga tudingan bahwa NU bermain politik akan dapat tereduksi dengan sendirinya.
Kiranya masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh NU baik yang menyangkut urusan pengembangan SDM, ekonomi, kesehatan dan budaya. NU dengan pengikut yang besar harus dapat memainkan peranan besar dalam kehidupan masyarakat melalui amal usaha yang memang bersentuhan dengan kebutuhan umat.
Politik Sebagai Penyebab Kesulitan
Sebagai jam’iyah keagamaan, NU memang seharusnya tidak memasuki kawasan di dalam sistem perpolitikan. Keterlibatan secara politik sesuai dengan khittah adalah keterlibatan individu bukan organisasi. Hal ini tentu sangat berbeda dengan partai politik, di mana keterlibatan anggota parpol dalam sistem perpolitikan bukan hanya sekedar persoalan pribadi tetapi merupakan representasi parpolnya.
Inilah sebabnya ketika seorang pimpinan atau pengurus organisasi, seperti NU atau lainnya memasuki kawasan parpol atau jabatan politik, maka akan sangat sulit dihindarkan terseretnya gerbong organisasi dimaksud dalam percaturan dan praksis politik. Memang agak rumit menjustifikasi keterlibatan seseorang di dalam dunia politik, apakah atas nama individu atau organisasi. Namun jangan dilupakan bahwa ketika seorang pimpinan organisasi memasuki kawasan tersebut maka secara langsung atau tidak langsung akan menyeret institusinya ke dalam pusaran politik.
Memang kita harus belajar dari masa lalu. Ketika NU masuk dalam dunia politik –terutama di era Orde Baru—maka hampir seluruh akses NU dalam pengembangan masyarakat menjadi bermasalah. Banyak lembaga pendidikan NU yang tidak dapat mengakses kemajuan. Demikian pula institusi ekonomi, kesehatan dan sebagainya. Lesson learn yang kurang mengenakkan ini tentunya harus menjadi perhatian di antara elit NU dalam berbagai levelnya.
Sungguh menjadi ironis jika di era di mana NU sudah menyatakan independen sebagai konsekuensi kembali ke khittah 1926, namun di dalam kenyataannya masih bermain mata dengan parpol atau elit parpol. NU memang perlu penegasan kembali tentang medan mana yang akan dimasukinya. Di antara sekian banyak medan tersebut, medan politik merupakan medan yang paling rawan. Dari medan ini maka segala benang ruwet NU tidak mampu diurai, bahkan bisa saja masalahnya menjadi semakin krusial.
NU memang bukan melting pot yang semuanya bercampur baur menjadi satu. Luluh dan menyatu. NU tetap diharapkan menjadi suatu institusi yang keanekaragaman dalam berbagai tindakan bisa diadopsi sedemikian rupa. Dan menurut saya, bahwa selain aspek teologi dan ritual, maka ruang dialog itu terbuka lebar. NU itu ibaratnya adalah sebuah panggung orkhestra, setiap pemain bisa berimprovisasi sesuai dengan instrumen yang dimainkannya. Namun demikian, meskipun berbeda instrumen, improvisasi dan ekspresi akan tetapi akan melahirkan harmoni dalam paduan yang sempurna.
Orkhestra NU itu dipimpin oleh dirijen yang tidak memasuki kawasan teknis, bagaimana instrumen itu dimainkan, akan tetapi dia hanya memberikan panduan umum agar irama berlangsung secara apik dan memadai. Dan akhirnya orkhestra NU itu akan melahirkan tindakan cerdas yang mengarah kepada keharmonisan dalam keanekaragaman.
Barangkali relasi yang dibutuhkan warga NU, elit NU dan politisi dalam pilihan politik adalah membangun hubungan kontraktual terbuka, sehingga semuanya akan memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk berkompetisi secara fairness dan berkeadaban.
Kesimpulan
Relasi NU dan Politik penting untuk dicermati terutama dalam kerangka membangun hubungan NU dan politik di masa depan. Ada banyak pembelajaran politik yang sudah dialami oleh NU sebagai Jamiyah Sosial Keagamaan. Makanya, NU harus menjadi semakin cerdas di dalam menjawab persoalan politik yang akan terus terjadi.
Untuk kepentingan tersebut, maka NU harus menjadi rumah bersama yang memungkinkan terpenuhinya hak-hak politik warga NU yang bisa diartikulasikan di dalam berbagai pilihan politik. Hanya saja yang perlu dikembangkan ke depan adalah agar warga NU mengambil sistem politik alokatif, artinya siapa yang dianggap layak dan pantas untuk memasuki ”kawasan” politik, maka menjadi kewajiban bersama untuk mendukungnya. Namun demikian dukungan tersebut bersifat individual dan bukan organisatoris.
Jadi, meskipun sulit harus tetap diusahakan agar menjadikan NU sebagai Jam’iyah yang berada di ruang netral politik, sebab dukungan politik dilakukan oleh masing-masing individu.