MENELADANI NABI MUHAMMAD SAW
Hari ini, 12 Rabiul Awal 1431 H/26 Pebruari 2010, saya diwawancari oleh Radio El-Shinta Surabaya terkait dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Pokok pembicaraan di dalam wawancara itu adalah tentang apa yang sebaiknya dilakukan di dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad saw tersebut. Sebuah pembicaraan yang sangat hangat, sebab dilihat dari durasi waktunya ternyata relatif panjang kira-kira satu jam. Tidak seperti biasanya yang wawancara hanya setengah jam. Mungkin materinya yang cukup menarik. Memperingati hari kalahiran Nabi Muhammad saw telah menjadi tradisi umat Islam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain terutama negara yang penduduknya banyak beragama Islam.
Dari dimensi sosiologis, ada dua cara orang memperingati hari ulang tahun, atau di dalam peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw disebut sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Dua aspek tersebut ialah peringatan Maulid Nabi Muhammad saw secara simbolik atau melalui lambang-lambang peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, misalnya melalui ritual slametan, sekatenan, dzibaan, barjanjenan, ceramah-ceramah agama dan sebagainya. Hampir di semua pedesaan Jawa akan dijumpai peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di masjid-masjid, langgar-langgar, mushalla-mushalla, dan juga balai desa atau lapangan-lapangan yang memungkinkan terjadinya orang berkumpul. Maka di situ diselenggarakan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Banyak penceramah agama yang memberikan taushiyah terkait dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw tersebut.
Di sisi lain, juga harus dikaji makna substantif dari memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Makna substantif tersebut adalah meneladani akhlak Nabi Muhammad saw. Bukankah Nabi Muhammad saw memang diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw: “innama buistu liutammima makarimal akhlak”, yang artinya: “saya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nabi adalah teladan sempurna dalam berteologis, berritual, berakhlak dalam kehidupan dan juga dalam relasinya dengan semua umat manusia.
Coba perhatikan, satu dua hal saja, misalnya konsep shiddiq atau kejujuran. Bukankah seluruh kehidupan Nabi Muhammad saw adalah teladan akan kejujuran. Ketika Nabi Muhammad saw dipercaya untuk menjalankan perdagangan milik Khadijah, maka Nabi Muhammad saw dikenal sebagai pedagang yang sangat jujur. Karenanya, Khadijah sangat mempercayainya. Bahkan karena hal itu, maka Nabi Muhammad saw dikenal sebagai al-Amin, jauh sebelum Beliau diangkat menjadi Nabi oleh Allah swt.
Kejujuran inilah yang sekarang ini menjadi kata yang sulit untuk dioperasionalkan. Dia hanya ada di dalam konsep tetapi tidak ada di dalam kenyataan empiris. Tentu bukan kesalahan konsepnya akan tetapi karena pengimplementasinya yang tidak menjalankannya. Ada banyak orang menyatakan tentang kejujuran, akan tetapi hanya ada di dalam discourse atau wacana tidak di dalam dunia empiris praksis.
Kalau diamati dewasa ini, banyak sekali kata jujur yang diungkapkan oleh banyak orang, akan tetapi tidak dilakukan. Ada banyak kasus, yang sebenarnya dapat diurai ketika menggunanakan kejujuran tersebut. Kasus besar atau kecil akan bisa diselesaikan dengan mengimplementasikan kejujuran ini. Kasus Bank Century yang ruwet tidak ketulungan seperti sekarang akan bisa diurai ketika semuanya menggunakan kata hati. Sayangnya bahwa kata hati sering kali dikalahkan oleh nafsu kebinatangan yang dimiliki oleh manusia.
Manusia memiliki dua potensi yang saling bertentangan, tetapi saling membutuhkan. Potensi kemalaikatan dan kebinatangan. Dua nafsu inilah yang akan mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu tindakan. Makanya ada kalanya tarikan ke potensi kemalaikatannya jauh lebih kentara dan terkadang tarikan ke potensi kebinatangannya jauh lebih kuat. Maka, agama yang dibawa oleh Muhammad saw adalah berisi tentang bagaimana menyeimbangkan kedua potensi ini agar sama-sama bermanfaat.
Kasus Bank Century yang sekarang sedang runyam di antaranya disebabkan oleh semangat ketamakaan yang merupakan potensi kebinatangan jauh lebih dominan. Makanya, orang lalu menghalalkan cara untuk memperoleh kekayaan secara maksimal. Sayangnya bahwa cara yang ditempuh tidak dengan mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. Melalui peneladanan kepada apa yang dilakukan oleh Muhammad saw, maka berbagai kasus yang melilit banyak orang tentu akan dapat diminimalisir.
Cara yang ditempuh adalah melalui meneladani Muhammad saw dalam menghadapi harta. Nabi Muhammad saw tidak melarang orang menjadi kaya, akan tetapi hatinya tidak boleh terpaut kepada kekayaannya itu. Sebab kekayaan hakikatnya adalah miliki Allah, bisa diambil kapan saja. Jadi harta dan kekayaan tidak ada yang abadi, sebab semuanya adalah nisbi.
Dengan demikian, jika seseorang menjadi kaya tetapi hatinya tidak terpaut dengan kekayaannya, maka orang itu telah meneladani Muhammad saw. Makna Maulid Nabi Muhammad saw, tentu tidak akan ada artinya jika orang tidak meneladaninya dalam aspek kehidupannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.