SERTIFIKASI DAN SEMANGAT MENULIS PARA DOSEN
Sentilan Mendiknas, Muhammad Nuh dan juga Wamendiknas, Fasli Jalal, tentang perlunya pengetatan terhadap guru besar merupakan klimaks dari serangkaian peristiwa yang membelit dunia perguruan tinggi. Artinya bahwa dunia perguruan tinggi yang semestinya mengembangkan kejujuran terutama dalam dunia akademis ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sekian tahun yang lalu, juga terjadi peristiwa yang sangat mencorang dunia kejujuran perguruan tinggi melalui plagiasi yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor UGM. Dan sikap yang diambil oleh UGM sangat tegas, yaitu mencopot gelar doktor yang sudah disandang oleh dosen yang bersangkutan. Kemudian juga dugaan plagiasi yang dilakukan oleh seorang calon profesor dari UI.
Akhir-akhir ini, semarak lagi pemberitaan tentang plagiasi yang dilakukan oleh calon guru besar. Hal inilah yang akhir-akhir ini memantik diskusi tentang perlunya pengetatan bagi calon guru besar dengan proses penilaian yang bertingkat-tingkat. Apakah ini akan bisa menjadi instrumen bagi proses peningkatan kualitas dan sekaligus mendongkrak kejujuran di antara para calon guru besar. Hal ini tentu saja masih menjadi tanda tanya.
Perguruan tinggi memang seharusnya menjadi mercu suar dalam penulisan karya akademis. Namun jika kita mengamati data bahwa sumbangan perguruan tinggi bagi penerbitan buku yang masih kecil, kira-kira 8 %, maka tentunya menjadi tanda tanya, apakah memang sangat sedikit dosen yang menulis buku. Jangan-jangan memang demikian adanya.
Menulis buku memang tidak menjanjikan dalam perolehan uang. Menulis buku bagi seseorang mungkin hanya menjadi hobi. Menulis buku tidak menjanjikan apapun kecuali rasa bangga bahwa tulisannya dipublis. Tidak lebih dari itu. Seorang penulis buku hanya memperoleh royalti sebesar 10% dari harga jual buku. Oleh karena itu jika menulis buku dengan harapan memperoleh imbalan uang yang memadai tentu akan sangat kecewa. Bahkan juga tidak jarang seorang dosen harus membiayai penulisan bukunya sendiri.
Jika saya menggunakan ukuran dosen IAIN Sunan Ampel yang menulis buku, maka jumlanya memang masih sangat sedikit. Bahkan tidak lebih dari 10%. Kecilnya angka penulis buku ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah kelangkaan penerbit. Penerbit memang banyak akan tetapi penerbit yang siap menerbitkan naskah akademik dalam ilmu-ilmu keislaman murni atau ilmu keislaman multudisipliner masih bisa dihitung dengan jari. Salah satu alasan adalah faktor penerimaan pasar. Sehingga penerbit pun sangat selektif terkait dengan penerimaan pasar tersebut. Akibatnya banyak karya akademis dosen yang tidak dapat diterbitkan karena alasan akses pasar itu.
Namun demikian, akhir-akhir saya cukup bergembira disebabkan oleh semakin banyaknya dosen IAIN Sunan Ampel yang menjadi penulis di media massa. Ada sejumlah nama yang tulisannya menghiasi dunia media massa, seperti Biyanto, Ahmad Muzakki, Lukman Hakim, Chabib Musthofa, Abdul A’la, Masdar Hilmy dan sebagainya. Tulisan tersebut tersebar di Jawa Pos, Kompas, Surya, Surabaya Pagi, Duta Masyarakat, dan sebagainya.
Melalui tulisan-tulisan ini maka kelihatan dinamika pemikiran kekinianyang diusung oleh para dosen IAIN Sunan Ampel. Oleh karena itu, harapan saya ke depan adalah bagaimana para dosen kemudian memiliki kecenderungan untuk menulis seirama dengan semakin meningkatnya kesejahteraan yang mereka terima.
Melalui kesejahteraan yang semakin baik, maka dosen akan bisa membeli buku, majalah, jurnal dan sebagainya, sehingga pengetahuan baru mereka akan semakin bertambah dan kemudian dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk menulis karya akademik yang outstanding.
Wallahu a’lam bi al shawab.