KULTUS INDIVIDU GUS DUR
Dalam diskusi yang diselenggarakan hari Kamis yang lalu, 18 Pebruari 2010, ada sebuah pernyataan menarik dari Muhammad Zakki, penulis buku Gus Dur Presiden Republik Akherat, bahwa Gus Dur adalah setengah manusia setengah malaikat. Ada beberapa bukti empiris transendental yang diyakini oleh yang bersangkutan, bahwa hal itu memang nyata adanya. Diungkapkan bahwa ketika Gus Dur akan dibawa ke Surabaya untuk perawatan, maka sesampainya di Trowulan, Beliau minta kembali ke Jombang untuk berziarah di makam orang tuanya. Ternyata, ketika sampai di makam Gus Dur menangis. Tangisan Gus Dur itulah yang ditafsirkan bahwa Beliau dianggap memiliki kemampuan untuk bercakap-cakap dengan para leluhurnya, yang sudah meninggal.
Tentu banyak hal yang lain, misalnya tentang kenylenehan yang diperankan Gus Dur yang saya rasa sudah banyak diketahui umum. Mulai soal seminar yang biasanya Gus Dur tertidur dan ketika beliau harus presentasi maka yang dibicarakan itu memiliki relevansi dengan para pembicara sebelumnya, bahkan melukukan kritik terhadap pemaparan pemrasaran sebelumnya. Bahkan juga kecenderungannnya untuk berziarah terhadap makam seseorang yang tidak dikenal. Dan yang juga tidak kalah adalah joke-jokenya yang lucu, segar tetapi berbobot. Makanya, bahkan ada yang menyebutnya sebagai wali ke sepuluh.
Ungkapan setengah manusia setengah malaikat itulah yang memantik reaksi dari para diskusan sebab ada kekhawatiran terjadinya kultus individu terhadap Gus Dur. Ada kekhawatiran, jika seseorang tidak hati-hati dalam menyikapi hal ini, maka seseorang akan bisa jatuh kepada kemusyrikan. Kekhawatiran ini tentu ada alasannya, sebab ada yang melakukan ziarah tetapi salah meniatkan tindakannya.
Kultus memang suatu konsepsi orang barat untuk memberikan label tentang keyakinan. dan tindakan ritus-ritus yang menyertainya. Menurut kamus, bahwa cult adalah sistem keyakinan keagamaan yang bermanifestasi dalam bentuk ritus-ritus. Jadi, kultus adalah sebuah sistem keyakinan keagamaan. Tentu saja di dalamnya ada aspek believe dan ritual.
Pertanyaannya adalah apakah kita menggunakan konsep kultus untuk perilaku masyarakat yang malakukan ziarah, mengungkapkan hal-hal yang diyakini hanya dimiliki Gus Dur dan tidak oleh yang lain. Maka menurut saya, konsep yang harus dipakai untuk memahami tindakan masyarakat –khususnya orang NU—adalah konsep-konsep yang selama ini digunakan sebagai pattern for behaviour mereka. Di antara konsep itu ialah ketawadluan atau penghormatan.
Jika ada orang yang menyatakan Gus Dur itu wali, Gus Dur itu setengah manusia setengah malaikat, maka ungkapan ini adalah ungkapan kekaguman yang kemudian menumbuhkan ketawadluan. Orang yang melakukan ziarah kubur juga tidak melakukan hal-hal khusus. Mereka melakukan tahlil atau dzikir sebagaimana orang ziarah pada umumnya. Jika orang berziarah lalu mengambil tanah, maka juga sama dengan orang berziarah lalu mengambil air di sumur yang tersedia. Air atau tanah tersebut diperlakukan sebagai washilah, sebagaimana obat sebagai washilah untuk kesembuhan seseorang dari penyakit. Atau juga sebagai kebanggaan bisa mengambil tanah makam Gus Dur. Lalu dia cerita kepada orang lain dan orang lain itu juga tertarik untuk mengambilnya. Begitulah seterusnya.
Oleh karena itu, menjadi tidak tepat untuk menjelaskan tindakan orang berziarah atau merumuskan ungkapan yang berlebihan kepada Gus Dur lalu dikaitkan dengan kultus individu. Konsep-konsep dalam tradisi santri akan jauh lebih baik digunakan untuk memahami hal itu semua.
Wallahu a’lam bish shawab.