MESTINYA BUKAN PEMISAHAN AGAMA DAN NEGARA
Berkembangnya gerakan Islam yang mengatasnamakan penegakan syariah Islam dan khilafah Islamiyah telah lama ada di Indonesia. gerakan ini yang langsung maupun tidak langsung memperoleh tantangan dari berbagai kalangan umat Islam sendiri, misalnya Islam moderat. Akan tetapi yang paling vokal menyuarakan penentangannya adalah Islam yang dilabel sebagai Islam liberal.
Sesungguhnya, gerakan keagamaan yang mengusung ideologi agama sudah menjadi realitas empiris. Bukan hanya wacana tetapi sudah dalam praksis. Di mana-mana terjadi “perebutan” umat, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan terjadi polarisasi di antara umat beragama.
Secara realistis, bahwa terdapat militansi keagamaan yang tidak didasari oleh semangat mentoleransi perbedaan faham keagamaan. Selain itu juga terdapat truth claimed yang berlebihan, sehingga menyebabkan mereka terjebak di dalam pembenaran secara berlebihan.
Konflik dalam tataran masyarakat apapun lebih banyak difasilitasi oleh otoritas atau kewenangan. Konflik bukan disebabkan oleh disparitas sosial, klas dan majikan, akan tetapi oleh kewenangan siapa atas apa, atau otoritas siapa kepada siapa. Islam sebagaimana dipahami oleh kaum fundamentalis Islam adalah Islam tekstual..
Di kalangan kaum universal, tidak ada Islam lokal, seperti Islam Jawa, Islam Indonesia dan sebagainya. Yang ada adalah Islam universal. Islam satu, yang ya’lu wa yu’la alaihi. Makanya, hanya ada satu sistem kekhalifahan. Hanya ada satu sistem syari’ah dan hanya ada satu umat atau ummatan wahidah. Truth claimed ini yang sering kali memicu pertarungan untuk menyatakan bahwa dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah.
Baginya, Islam yang benar adalah yang menerapkan praksis khilafah Islamiyah. Sistem demokrasi sebagaimana yang diterapkan oleh banyak negara tidak compatible dengan sistem khilafah yang sudah teruji di zaman Nabi Muhammad saw. Jadi, dalam banyak hal, sistem pemerintahan tersebut tidak akan dapat menjamin terlaksananya syariah Islam secara kaffah.
Memang, akhir-akhir ini titik tekan untuk mewujudkan konsepsi negara Islam memang agak direduksi oleh kenyataan sosial yang terus menghalanginya dengan kekuatan penuh. Makanya, di dalam praksis yang terjadi sekarang, mereka secara sengaja menyembunyikan konsepsinya tersebut dan kelihatannya akan dilakukan jika suasana politik sudah sangat memungkinkan. Gelora Islam politik –khialafah—tampaknya mengendur dalam perbincangan, meskipun tetap mengedepan secara ideologis.
Di era sekarang, pertarungan otoritas itu tidak hanya di dalam realitas keberagamaan ansich, tetapi juga memasuki kawasan lainnya yang lebih besar, yaitu bagaimana agama dapat menjadi ideologi yang nyata di dalam sistem kenegaraan. Resistensi tentu akan selalu muncul, sebab pengalaman sejarah membuktikan bahwa di dalam masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia, maka hegemoni atas nama apapun hanya akan menambah masalah dan bukan menyelesaikan masalah.
Di tengah semakin kuatnya ancangan untuk mengembangkan Islam dalam konteks yang seperti itu, maka tantangan utamanya adalah datang dari kelompok Islam yang melabelkan diri sebagai Islam yang liberal. Sehingga, yang muncul kemudian adalah sejumlah tokoh yang selama ini sering dikaitkan dengan gerakan Islam liberal yang berkolaborasi dengan beberapa kelompok yang sedari awal memiliki tekad untuk menjaga liberasi agama di Indonesia.
Sayangnya bahwa gerakan ini justru mengarah kepada pemisahan agama dan negara dalam kasus yudicial review untuk menolak terhadap materi PNPS No. 1 Tahun 1965 yang dikuatkan oleh UU No. 5 tahun 1969. Melalui upaya untuk memisahkan agama dengan negara inilah maka banyak organisasi keagamaan yang selama ini memiliki frame untuk menjaga relasi antara agama dan negara yang simbiotik merasa kurang sependapat. Misalnya, MUI dan juga NU yang direpresentasikan oleh Hasyim Muzadi serta tokoh Muhammadiyah.
Perjalanan yudicial review memang masih membutuhkan waktu yang lama. Masih butuh sebanyak lebih dari 30 orang saksi untuk didengar kesaksiannya. Dan di dalam beberapa minggu ke depan akan semakin jelas pemihakan dan penolakan itu. Dan pada akhirnya yang akan menentukan pada akhirnya adalah para hakim yang sudah mendengarkan berbagai tuntutan dan jawabannya. Dengan demikian, kita akan menunggu dengan sabar, apa yang akan terjadi.
Wallahu a’lam bi al shawab.
