• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMPERSIAPKAN LULUSAN YANG PROFESIONAL

 Bagaimanapun harus diakui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, yang dibuktikan dengan rangking pendidikan di tingkat Asia maupun Asean. Terutama pendidikan tingginya, maka kualitasnya jauh dari yang diharapkan. Rendahnya kualitas pendidikan tersebut tentunya bukan semata-mata karena rendahnya kualitas guru, dosen atau tenaga pendidiknya namun karena persoalan yang sistemik. Misalnya saling terkaitnya antara anggaran pendidikan, mutu tenaga pendidik, kualitas in put dan sarana/prasarana yang kurang memadai. Satu contoh ada banyak lembaga pendidikan kejuruan yang ternyata tidak memiliki laboratorium, ada banyak lembaga pendidikan tinggi yang perpustakaannya tidak memadai dan sebagainya.

Lembaga pendidikan Islam jauh lebih berat lagi. Selain anggaran pendidikan yang jauh lebih rendah di tingkat nasional, juga kualitas tenaga pendidiknya masih belum memiliki kelayakan mengajar. Di beberapa lembaga pendidikan Islam masih dijumpai lulusan SLTA atau Madrasah Aliyah yang mengajar di lembaga pendidikan Islam, meskipun ada yang berijazah D2 atau S1. namun demikian jumlah yang seperti ini jauh lebih sedikit. Makanya, keterpurukan lembaga pendidikan Islam merupakan persoalan sistemik yang penanganannya tentu membutuhkan kesungguhan dan kerja keras.

Sekarang ini adalah era persaingan dalam segala aspek. Genderang persaingan sesungguhnya sudah ditabuh. Maka yang penting adalah bagaimana menyiapkan diri di kancah persaingan yang akan semakin keras. Menurut Mohamad Iqbal, seorang pemikir Islam Pakistan, bahwa siapapun yang berhenti meskipun sejenak pasti akan tergilas. Di arena persaingan tersebut, maka yang berkualitaslah yang akan mampu bertahan dan kemudian mengembangkan sayapnya. Persoalannya adalah sebagian besar dari institusi pendidikan tinggi di Indonesia belum siap untuk berkompetisi karena rendahnya kualitas SDM, manajemen pendidikan yang belum berbasis pelanggan dan produk pendidikan yang kualitasnya masih diragukan. 

Di Diknas terdapat sebanyak 2680 PTN dan PTS. Di Depag terdapat sebanyak 775 perguruan tinggi, yaitu  PTAN 59 buah dengan rincian: 6 Universitas Islam Negeri,  12 IAIN dan 32 STAIN serta PTAN Kristen, Hindu dan Budha dengan jumlah mahasiswa sebanyak 154.591 orang. Selebihnya adalah PTAS 716 buah yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu juga ada beberapa departemen, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen lain yang hingga saat ini masih memiliki lembaga pendidikan tinggi.  Institusi pendidikan tersebut kira-kira hanya menampung  10% dari jumlah  penduduk Indonesia yang berusia pendidikan tinggi, 19-24 tahun sebanyak 22.780.000. Mereka ini tersebar di berbagai lembaga pendidikan tinggi, di bawah Diknas, Depag, Depkes, dan Depdagri.  

Institusi pendidikan tinggi Indonesia memang masih kalah kelas dibanding institusi pendidikan tinggi lain di kawasan Asia Tenggara. Dibandingkan dengan jumlah lembaga pendidikan tinggi yang ada di negara lain, seperti Malaysia, maka lebih kurang 6,5 persen perguruan tingginya telah berhasil menjadi PT unggulan di Asia Tenggara. Sementara itu, Indonesia baru berhasil memasukkan 14 dari 2.680 PTN dan PTS, atau 0,5 persen dalam jajaran PT elit Asia Tenggara.

Perguruan tinggi adalah penghasil calon tenaga terdidik profesional. Sebagai ukuran kasar, seseorang disebut profesional jika memiliki pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keahlian (skill) atau bisa disingkat PSK dalam bidang pekerjaan yang digelutinya. Jika seorang guru, ukuran profesional tentunya diukur dari seberapa besar pengetahuan tentang bidang kajian yang ditekuninya, bagaimana sikap terhadap profesinya yang menyangkut dedikasi dan tanggungjawab serta ketrampilan yang relevan dengan profesi yang dimaksud. Moralitas seorang guru sebagai pendidik tentunya menjadi dasar bagi keseluruhan proses transformasi pengetahuan, sikap dan skill kepada murid dalam posisi keseimbangan.

Profesionalisme ditandai dengan  mentalitas pembebasan. Selain dia sendiri orang yang memiliki jiwa kebebasan. Pendidikan pembebasan hakikatnya adalah pendidikan yang mempunyai tujuan untuk mengentas peserta didik ke arah kemandirian di dalam menghadapi kehidupan. Pendidikan diarahkan tidak pada arah persoalan learning to know dan learning to do tetapi learning to be. Pendidikan ini bercirikan kemandirian peserta didik untuk bekerja secara mandiri dengan dipandu ataupun tanpa dipandu oleh guru atau pendidik. Visi pendidikan adalah mencetak manusia yang memiliki jiwa kebebasan berdasar atas moralitas hasil konstruksi bersama.

Untuk memperoleh alumni  profesional, tentunya bukan perkara mudah. Sejumlah alat ukur kualitas perlu dirumuskan. Variable penting adalah relevansi pendidikan dengan profesinya. Jika profesi dokter, insinyur, advokat dan sebagainya telah menetapkan standart pendidikan sebagai ukuran baku profesionalitas, maka seyogyanya lulusan fakultas tarbiyah (pendidikan Islam) juga harus seperti itu.  

Lulusan yang  professional terkait dengan sikap yang relevan dengan profesinya. Dalam banyak kasus, misalnya seseorang menjadi guru karena keterpaksaan struktural. Dia tidak mampu memilih pekerjaan yang sesungguhnya cocok bagi dirinya. Atau menjadi guru adalah pilihan terakhir ditengah ketidakmampuan masuk kekancah pekerjaan professional lain. Karena profesi guru bukan pilihan utama, tentu saja berdampak pada sikap dan tindakan yang kurang mencerminkan nilai-nilai guru, yang sering dinyatakan digugu lan ditiru. Guru adalah tauladan tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga lingkungan sosialnya.

Lulusan  profesional tentunya harus memiliki penguasaan ketrampilan dalam bidangnya. Untuk menjadi tenaga pendidik, tidak hanya ketrampilan mengajar atau transfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga piawai di dalam mengelola kelas, sehingga peserta didik merasa enjoy di dalam proses pembelajaran dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengetahuan dan ketrampilan peserta didiknya. Demikian pula ketika berprofesi di bidang peradilan, hakim, jaksa, advokat dan sebagainya, maka tuntutan profesionalitas itu tentunya terkait dengan sektor profesi yang digelutinya.

Lulusan lembaga pendidikan, bagaimanapun adalah manusia di tengah kompleksitas kehidupan. Dia hidup di tengah budaya materialisme yang semakin menguat. Kehidupan tersebut diindikatori dengan tarikan kepentingan materi yang lebih tinggi. Orang menghargai materi lebih dari segmen kehidupan lainnya. Orang yang berhasil adalah orang yang kaya. Arus budaya materialisme ini tentu saja menyeret setiap orang untuk berlomba mencari kekayaan, tidak perduli apa cara yang digunakan. Orang ingin tampil dengan simbol-simbol sosial, yang berupa rumah mewah, kendaraan mengkilap, pakaian berkelas dan sebagainya. Tidak ada seorangpun yang mampu menolak budaya materialistis. Konstruksi sosial masyarakat mengenai kehidupan yang sukses telah berubah sedemikian besar. Akibatnya, manusia juga terseret untuk memperoleh kesuksesan tersebut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya. Ironisnya, banyak diantaranya yang menggunakan jalan yang salah, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang menciderai humanisme.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Secara institusional, agar menjadi lulusan profesional, maka ada beberapa instrumen yang harus dipenuhi, yaitu: 1) kualitas tenaga pendidik yang profesional. Yaitu kemampuan dosen untuk mengajar sesuai dengan bidangnya. Ada standart minimal yang harus dipenuhi oleh seorang tenaga pendidik. 2) kualitas pembelajaran yang memadai. Di dalam hal ini, maka proses belajar mengajar harus memenuhi standart yang layak bagi proses pembelajaran. 3) kualitas sarana dan prasarana yang memadai. Untuk ini maka keberadaan sarana dan prasarana pembelajaran menjadi sangat penting. Keterlengkapan sarana dan prasarana pembelajaran akan menjadi variabel penting di dalam mencapai keberhasilan lulusan. 4) ketersediaan dana pendidikan. Anggaran pendidikan menjadi jantung kehidupan lembaga pendidikan tinggi, makanya lembega pendidikan yang memiliki variasi sumber dana bagi lembaga pendidikannya, maka akan memungkinkan perkembangan lembaga dimaksud. 5) Sumber daya mahasiswa yang berkualitas. Mahasiswa adalah bahan mentah di dalam proses pendidikan. Jika sumber daya mahasiswanya kurang bagus, maka out put nya juga menjadi kurang bagus. Kecuali didalam proses pendidikannya dapat dimaksimalkan sehingga sumber daya mahasiswa tersebut dapat berubah secara signifikan. 6) kerjasama yang sinergik antara pimpinan perguruan tinggi, dosen, mahasiswa dan karyawan yang baik dan mengarah kepada peningkatan kualitas lembaga pendidikannya.

Secara akademik-profesional, bahwa lulusan yang kualifait juga ditandai dengan kemampuan untuk menguasai subjek matter keilmuannya dan profesi yang disandangnya. Namun di tengah dunia teknologi informasi seperti ini, maka kemampuan profesional saja tidak cukup sebab ada variabel penting lain ialah penguasaan terhadap sarana informasi, misalnya komputer. Maka akan menjadi menarik jika lulusan perguruan tinggi agama Islam juga memiliki kemampuan di bidang komputer.

Di era teknologi informasi, maka seseorang dianggap tidak buta huruf jika dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi. Paling tidak bisa mengakses komputer. Bisa kita bayangkan bahwa di media kecil seperti komputer ternyata dapat menyimpan bertumpuk-tumpuk kitab kuning, bahan-bahan informasi dan sumber-sumber informasi. Maka siapa yang menguasai teknologi informasi, maka dialah orang terdepan di dalam jagad globalisasi.

Kiranya penting di era teknologi informasi ini semua mahasiswa dikenakan tambahan matakuliah pengetahuan praksis komputer, sehingga selain menguasai bidang kependidikannya, juga memahami dan menguasai instrumen teknologi informasi. Untuk kepentingan ini, maka segenap elemen di dalam lembaga pendidikan tinggi harus memiliki visi pengembangan lembaga pendidikan yang maju di masa depan.

Mahasiswa PTAI memang belajar agama tetapi jangan karena itu lalu tidak memahami bahasa teknologi informasi yang salah satunya difasilitasi oleh hardware dan software yang namanya komputer.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini