MESDISKUSIKAN PENPRES NO 1 TAHUN 1965
Penetapan Presiden yang menjadi sasaran untuk diyudicial review oleh sejumlah LSM dan beberapa individu, sesungguhnya memang menarik untuk dicermati. Bukan saja karena peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan pada waktu yang cukup krusial di sekitar pemberontakan G30S/PKI, yang di dalam banyak pandangan dianggap sebagai masa darurat, akan tetapi juga karena adanya anggapan bahwa penetapan presiden tersebut mengandung bias kebebasan dan diskriminatif terhadap agama-agama yang hidup di Indonesia. Makanya, ketika Penetapan Presiden ini diyudicial review juga memantik reaksi yang cukup beragam.
Ada yang menanggapi sangat serius sehingga harus mengerahkan ”pasukan” dan ada pula yang merasa akan kehilangan banyak hal jika penetapan presiden ini dihilangkan. Variabilitas penyikapan ini menandakan bahwa urusan agama memang menempati posisi sangat penting di dalam kehidupan umat manusia. Ada dimensi keyakinan, kepercayaan atau dimensi teologis yang tidak boleh dipertaruhkan dan ada pula ritual-ritual yang harus dipertahankan karena memang petunjuknya begitu. Betulkah kiranya, jika persoalan agama adalah persoalan the ultimate concern, yang melibatkan seluruh emosi, perasaan, keyakinan yang mendalam dan menyebabkan manusia akan marah jika masalah ini dilecehkan, dinodai atau dihina. Agama memang urusan yang melibatkan seluruh jaringan sistemik di dalam diri seseorang.
Penetapan Presiden ini memang di dalam kandungannya tidak membicarakan kebebasan beragama yang dianggap bertentangan dengan HAM dan UUD 1945. Dia hanya membicarakan tentang penodaan, penistaan dan pencegahan penyelewengan terhadap agama. Oleh karena itu dalih kebebasan agama rasanya kurang pas digunakan sebagai dasar penolakan terhadap penetapan presiden ini. Sebab, kebebasan eksternal atau freedom to act memang bisa ditangguhkan atau dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Seperti penetapan presiden yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 5 tahun 1969.
Di dalam setiap agama dapat dipastikan ada yang disebut sebagai truth claimed, klaim kebenaran yang diyakininya hanya dimilikinya. Semua agama memiliki hal ini. Bisa berupa ajaran teologis atau ritual. Dari sisi teologis, maka ajarannya bercorak final tidak ada tawaran apapun kepada yang ”lain”. Makanya, ketika ada seseorang menganjurkan syahadat dengan ungkapan: ”asyhadu anna Sabda Kusuma rasulullah” maka dapat dipastikan akan memantik reaksi yang luar biasa karena menodai dimensi teologis yang sudah final itu. Demikian pula jika ada orang yang mengajarkan agar salat dua kali saja, pagi dan sore, maka juga dipastikan akan didapati reaksi yang yang luar biasa. Hal ini bisa memantik amuk massa yang tidak dapat dikendalikan.
Inilah yang menurut saya diwadahi oleh Penetapan Presiden No1 tahun 1965 dan dikuatkan menjadi UU No 5 tahun 1969. Maqsud al a’dzomnya adalah agar setiap individu yang bebas beragama itu tidak secara ekspressif melakukan penistaan dan penodaan terhadap truth claimed agama-agama yang sudah final tersebut. Dengan demikian yang tidak diperbolehkan adalah orang melakukan tindakan beragama yang menyebabkan keresahan sosial atau ketidakteraturan sosial. Jika terjadi seperti ini, maka dia telah melakukan tindakan yang membahayakan sebab bisa terjadi konflik horizontal karena hal tersebut.
Cobalah kita cermati, dengan adanya hukum pencegahan pencemaran agama/penodaan agama saja banyak terjadi orang mengaku Nabi, dan bahkan menjual surga dengan harga Rp. 4.000.000,- dan juga orang mengklaim seluruh wahyu Tuhan berakhir tahun 2000 atau mengaku memperoleh wahyu sehingga mengklaim dirinya sebagai Nabi baru, apalagi jika kemudian tidak terdapat aturan yang menjadi pedoman semua warga dalam relasi agama-agama. Maka bisa dibayangkan setiap hari akan muncul Nabi baru, dan masyarakat main hakim sendiri, sedangkan negara juga tidak melakukan apa-apa yang disebabkan oleh ketiadaan pedoman yang dijadikan sebagai rujukan.
Di dalam hal ini, maka negara memiliki wewenang untuk mengatur relasi agama-agama. Di Indonesia memang negara yang unik. Bukan negara sekular yang memisahkan hubungan agama dan negara secara rigit, seperti pemisahan gereja dan negara di barat. Akan tetapi juga bukan negara agama yang meniscayakan hubungan agama dan negara yang integrated, seperti di Iran dalam pemikiran Imam Khomeini yang disebut sebagai theo-demokratis. Namun demikian Indonesia menggunakan paradigma relasi yang bercorak simbiotis mutualisme, yaitu negara membutuhkan agama dan agama membutuhkan negara. Agama membutuhkan tempat berpijak dan berkembang dan itu dilakukan di dalam suatu negara, sedangkan negara membutuhkan pijakan moralitas agama sebagai penyangga kehidupannya.
Di dalam konteks ini, maka Penetapan Presiden No 1 tahun 1965 yang dikuatkan dengan penetapan UU no 5 tahun 1969 menemukan titik relevansinya. Aturan perundang-undangan ini menjadi pattern for behavior tentang bagaimana relasi agama-agama dibangun dan dijalankan. Tidak boleh ada penistaan, penodaan, penghinaan dalam relasi agama-agama, sehingga kehidupan beragama menjadi beradab dan harmonis.
Oleh karena itu, materi undang-undang ini layak dipertahankan di dalam kerangka menjamin pelaksanaan freedom to act tidak melenceng dari koridor hukum yang sudah disepakati.
Oleh karena itu yang diperlukan adalah bagaimana kita saling memahami agama masing-masing dan juga memahami agama orang lain. Jangan sampai kita menyinggung truth claimed agama lain yang menyebabkan terjadinya disharmoni di antara sesama warga negara dan bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.
