• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DAMPAK SOSIAL KEBEBASAN BERAGAMA

Prof. Dr. H. Nur Syam, Msi[1]

 

 

 

Prawacana

Arus utama yang muncul dan berkembang ketika membicarakan rona keberagamaan pada awal abad 19 di Indonesia adalah gerakan puritanisme di satu sisi dan universalisme di sisi lain. Sampai pada akhir abad 19, Indonesia menjadi laboratium perkembangan pemikiran dan praktek gerakan keagamaan yang menampilkan wajahnya secara variatif dan beragam. Analisis dan kajian terhadap polarisasi pemikiran dan gerakan keagamaan di Indonesia ini melahirkan berbagai istilah yang berupaya memberikan identitas pada kelompok pemikiran dan gerakan keagamaan tersebut. Dikenal istilah fundamentalisme, formalisme, substansialisme, universalisme, eksklusifisme, inklusifisme, dan berbagai istilah lainnya.

Namun, yang sering dilupakan adalah “kreatifitas” bangsa Indonesia dalam hal ber-ide, merumuskan, dan menyebarkan sebuah keyakinan teologis. Selain agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, ada sekian banyak aliran kepercayaan lokal di tengah-tengah masyarakat setempat yang berada diluar arasy agama-agama umum yang dianut masyarakat dunia. Dengan kata lain, orang Indonesia memiliki “kreatifitas” yang sangat unggul dalam meramu dan menciptakan sebuah ajaran, kepercayaan, atau keyakinan yang berkaitan pada Yang Metafisik.

Agaknya, “kreatifitas” dalam konteks keberagamaan ini tidak hanya memberikan tantangan baru pada kedewasaan umat dari agama-agama yang telah diakui oleh pemerintah. Namun juga pada pemerintah untuk dapat mengantisipasi akibat dari “kreatifitas” tersebut dalam sistem relasi hubungan kemanusiaan yang terus berjalan.

Ada tarikan yang sangat kuat di antara pemikiran dan praksis keberagamaan di era reformasi, yaitu di satu sisi tegangan kuat mengarah kepada fundamentalisme yang mengarah kepda gerakan khilafah Islamiyah yang dipengaruhi oleh pemikiran Timur Tengah atau disebut sebagai gerakan universalisme agama. Di sisi lain juga terdapat kecenderunan ke arah lokalisasi agama, yang ditandai dengan semakin menguatnya tekanan ke arah berkembangnya aliran-aliran baru dalam sistem keyakinan masyarakat Indonesia atau yang disebut sebagai lokalisme agama. Sedangkan di sisi yang lain lagi terdapat kecenderungan liberalisasi keberagamaan yang ditandai dengan kecenderungan untuk menafsirkan agama atas prinsip kebebasan yang terkadang harus  berhadapan secara diametral dengan pemikiran dan praksis agama yang bercorak fundamental dan bahkan juga yang bercorak moderat. Melalui tiga tegangan ini, maka hiruk pikuk pemikiran dan praksis keagamaan menjadi “ramai” dan berwarna warni.

 

Kebebasan Beragama

Kebebasan adalah kata yang layak disukai oleh siapapun. Jika ingin maju, maka kebebasan adalah kata kuncinya. Kebebasan merupakan bagian dari kemoderenan. Dan kemoderenan identik dengan kemajuan. Jadi kalau mau maju, maka harus dimulai dengan kebebasan. Begitulah logika kebebasan itu dikembangkan. Tetapi kita juga bisa bertanya,”apa kebebasan itu mutlak tanpa pembatasan ataukah kebebasan itu terkait dengan pembatasan-pembatasan”. Memang agak rumit juga membahas kebebasan itu, sebab setiap orang memang bisa menafsirkan kebebasan itu.

Tetapi yang jelas memang ada beberapa teori tentang kebebasan. Pertama, teori tentang kebebasan yang dikonstruksikan oleh kaum liberalis, bahwa ada kebebasan mutlak tanpa pembatasan apapun. Kedua, kebebasan menurut kaum otoriter, bahwa tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah pembatasan. Ketiga, kelompok tanggungjawab sosial yaitu yang menganggap bahwa kebebasan hanya terjadi dalam kenyataan adanya tanggungjawab sosial.

Sebagai bangsa yang mengembangkan falsafah kehidupan yang menjunjung tinggi keteraturan sosial berdasar atas falsafah Pancasila, UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya,  maka tentu saja kita akan menjadikan kebebasan berbasis tanggungjawab sosial sebagai inti dari kebebasan yang kita kembangkan. Tidak mungkin kita akan mengembangkan kebebasan dalam konsepsi kaum libertarian. Kebebasan tanpa batas, kebebasan yang tidak ada batasannya. Orang bebas melakukan apa saja tanpa mengindahkan hak orang lain. Kita juga tidak cocok menggunakan model kaum otoritarian yang beranggapan bahwa tidak ada kebebasan,  semuanya diatur dan dikendalikan.

Kita akan memilih kebebasan yang memiliki konsekuensi mempertimbangkan hak dan kewajiban lainnya. Suatu contoh kita mungkin bisa saja menganggap bahwa melalui konsep kebebasan lalu kita bisa berbuat apa saja, tetapi di sisi lain juga ada kewajiban kita untuk hak orang lain. Jadi hak dan kewajiban adalah seperti dua sisi mata uang. Di sisi satunya ada kebebasan tetapi di sisi lain ada kewajiban yang melekat padanya. Bisa  saja seseorang  atas dasar kebebasan lalu  memutar musik keras-keras di rumahnya,  sehigga suara musik itu bisa terdengar di rumah orang lain. Namun demikian, orang lain juga memiliki hak untuk istirahat dan berada dalam suasana keheningan. Makanya, seseorang  juga harus memiliki kewajiban untuk menjaga agar hak orang lain tidak terganggu atas pemenuhan haknya sendiri.

Di Australia beberapa saat yang lalu ada sebuah kejadian yang kiranya lucu. Yaitu seseorang melaporkan tetangganya karena terganggu oleh lenguhan yang bersangkutan ketika melakukan persebadanan. Pelapor tersebut merasa terganggu karena kegiatan itu dilakukan ketika dia harus istirahat. Melakukan persebadanan adalah hak seseorang akan tetapi ketika pemenuhan hak tersebut mengganggu orang lain, maka akan menimbulkan masalah. Jadi, pemenuhan hak juga harus mempertimbangkan hak orang lain. Tidak ada kebebasan mutlak dalam pemenuhan hak terkecuali harus bersentuhan dengan dengan hak dan kewajiban secara simultan.

Bagaimana dengan kebebasan beragama? Apakah seseorang bisa bebas begitu saja untuk melakukan tindakan sesuai dengan keyakinan agamanya atau tetap bahwa kebebasan itu terkait dengan tanggungjawab sosial yang diembannya. Orang  memang bisa bebas untuk melakukan berbagai tindakan agamanya,  akan tetapi harus tetap berada di dalam koridor aturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara yang menganut sistem kebebasan berbasis pada pertanggungjawaban sosial,  maka pasti akan melakukan suatu tindakan yang tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Menurut Musdah Mulia, kebebasan agama tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan kebebasan lain yaitu kebebasan berpikir, dan berkesadaran atau berhati nurani. Kebebasan agama bersifat mutlak, dan berada didalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be) dan itu termasuk hak non derogable (tak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun). Sedangkan hak untuk mengekpresikan ajaran agama atau keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya menyebarkan agama dan mendirikan tempat ibadah, masuk ke dalam kategori hak bertindak (freedom to act). Hak ini bisa ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya. [2]  Dengan demikian, memberikan batasan atau mengatur freedom to act dalam kehidupan beragama bukan sesuatu yang salah, sebab memang di dalam kebebasan berekpresi tentu selalu melibatkan orang lain atau masyarakat. Atau dengan kata lain, bahwa perlu ada pedoman atau aturan yang mengatur agar freedom to act tersebut tidak menjadi ancaman bagi keteraturan sosial. 

Di negara kita, kebebasan beragama memang dijamin oleh undang-undang Dasar. Siapapun memiliki kebebasan untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya. Akan tetapi yang jelas, bahwa di dalam meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya tersebut yang bersangkutan harus dapat menjaga keteraturan sosial yang memang menjadi tanggungjawabnya.  Seseorang yang meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya akan tetapi menodai dan menghina agama yang diyakini oleh orang lain berarti telah melaksanakan perbuatan yang tidak baik kepada lainnya. Satu contoh, orang menista ajaran agama Islam dan pelakunya adalah orang Indonesia, apakah perbuatannya itu bisa dikategorikan sebagai berdalih karena kebebasan beragama lalu orang bisa berbuat seenaknya. Tentunya tidak. Makanya kebebasan beragama tentunya harus tetap berada di dalam koridor peraturan perundang-undangan. Penodaan dan penistaan agama tentu tidak bisa dibiarkan sebab akan bisa mengganggu terhadap keteraturan sosial.

 

Beragama Sebagai Hak

Secara universal, setiap tanggal 10 Desember, seluruh masyarakat dunia memperingati hari itu sebagai momentum awal dari perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM). Tahun 1948, melalui resolusi 217 A (III), Majelis Umum PBB mengumumkan sebuah pengumuman internasional yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Universal HAM.

Di Indonesia, meskipun isu HAM baru muncul akhir era millennium kedua, penghormatan atas isu tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk apresiasi. Dalam konteks hukum misalnya, kita dapat mengklaim bahwa UUD 1945 telah memperhatikan penghormatan atas HAM. Hal itu dapat dibuktikan ketika melihat pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1. Kita juga dapat mengklaim bahwa HAM telah mulai dijalankan dengan baik oleh siapapun di negara ini, mulai dari penyelenggara negara dan tiap level masyarakat secara umum. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Keppres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang kemudian direvisi melalui Keppres No. 61 Tahun 2003.

Beberapa waktu lalu, Indonesia menjadi menjadi peserta dari sebuah pertemuan antar negara-negara di Asia Tenggara yang diselenggarakan di Thailand. Hasil pertemuan tersebut berujung pada keputusan untuk membentuk sebuah Komisi HAM tingkat ASEAN yang bernama Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR). Deklarasi regional ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada setiap negara ASEAN untuk menyelesaikan masalah HAM di kawasannya masing-masing dengan solusi yang lebih baik.

Deklarasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan sebuah sosialisasi yang diselenggarakan oleh pemerintah di Jakarta pada bulan September 2009. Sosialiasi tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintahan, lembaga atau komisi yang terkait dengan isu HAM, akademisi, NGO dan organiasi sosial kemasyarakatan.

Program pemerintah yang dinamakan dengan RANHAM 2004-2009 sendiri merupakan sebuah aksi nasional yang terfokus pada enam hal pokok dari HAM. Enam tema utama dari HAM tersebut adalah hak asasi pribadi, hak politik, hak hukum, hak ekonomi, hak peradilan, dan hak sosial budaya, sedianya telah dipropagandakan secara nasional oleh kebijakan pemerintah ini. Maka beragama adalah bagian dari hak paling dasar dari manusia, termasuk WNI.

Pasal 28 dan 29 UUD 1945 menjadi dasar yuridis bahwa berkeyakinan, beragama dan melakukan segala bentuk peribadatan yang sesuai dengan keyakinan teologis adalah hak dari seluruh rakyat Indonesia. Artinya, negara dari awal telah memberikan kesempatan pada tiap warga negara Indonesia untuk memilih agama atau kepercayaan tertentu yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Salah satu alasan atas penghargaan, pengakuan dan perlindungan Indonesia atas agama dan pemeluknya karena beragama dan keyakinan adalah dorongan fitrah yang mengiringi keberadaan manusia itu sendiri.

Jika menganut kepercayaan dan memilih agama tertentu adalah sebuah kebolehan atau bahkan kewajiban bagi WNI, maka bagaimana bila tidak beragama (ateis) atau “mendirikan” agama (sistem kredo) baru. Apakah hal itu juga akan dihargai dan dilindungi oleh negara ini? Tentu bangsa ini membutuhkan kedewasaan lebih baik daripada pemahaman atas disparitas keagamaan seperti pada saat kekinian. Di dalam hal ini, maka dibutuhkan suatu aturan perundang-undangan yang menjamin akan adanya keteraturan sosial dan tetap menjamin akan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara memang memiliki fungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga ketertiban umum dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat berdasar atas pilihan falsafah bangsanya. Indonesia telah menentukan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah pilihan cerdas dalam mewujudkan hal itu semua.

 

Potensi Laten Sistem Keyakinan Baru

Indonesia saat ini memiliki 33 propinsi, lima diantaranya berstatus sebagai Daerah Khusus atau Daerah Istimewa. Ada lebih dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke. Termasuk pulau-pulau yang berada di daerah perbatasan dengan segala bentuk ketertinggalannya dalam gerak pembangunan fisik. Ada kurang lebih 746 suku dengan budaya serta 583 ragam bahasa dan dialegnya masing-masing.[3]

Dalam hal sistem kepercayaan, ada enam agama yang diakui oleh pemerintah selain juga ada sekian banyak aliran kebatinan dan kepercayaan yang dianut oleh sekian banyak kelompok masyarakat. Kesemuanya adalah potensi masyarakat Indonesia. Dalam potensi tersebut, juga ada kemungkinan akan munculnya “agama” atau “aliran kepercayaan” baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi semacam latency, sekali lagi karena faktor “kreatifitas’ imajinasi orang Indonesia yang sangat luar biasa dalam menerobos orbit Metafisik di luar batas-batas keyakinan yang telah ada dan menawarkan dirinya.

Untuk memudahkan, aliran kepercayaan, sempalan, atau kelompok keagamaan yang muncul dan berkembang di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga komposisi. Pertama, sekte agama atau aliran keyakinan asli Indonesia. Kelompok seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Gatoloco, dan Dharmo Gandul adalah kepercayaan yang dilahirkan dari pemikiran orang Indonesia. Kelompok ini lahir secara genuine dari dan oleh manusia Indonesia, dan relatif bebas dari doktrin agama lain yang berasal diluar Nusantara. Kedua, sekte keagamaan yang ide teologisnya berasal dari luar Indonesia tapi berkesempatan berkembang di Indonesia. Nama seperti Ahmadiyah[4] dan Bahaiyah adalah tamsil atas kategori ini. Ketiga, sekte keagamaan yang dimunculkan oleh orang Indonesia, namun doktrin teologisnya banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang telah ada. Bahkan, terkadang rumusan-rumusan teologis dari sekte dalam kategori ini beberapa kali mengutip nama atau istilah yang telah digunakan oleh agama lain yang lebih dulu. Kelompok ini diwakili oleh sekte seperti Al Qiyadah[5], Lia Eden[6], Satrio Piningit, Sabda Kusuma[7] di Kudus, Hakekok[8] di Banten, Santriloka[9] dan beberapa lainnya.

Yang pasti, kemunculan kelompok keagamaan baru tersebut bersifat latent dan akan terus terjadi. Pada tahun 2007, MUI sempat mengeluarkan klasifikasi 9 (sembilan) kelompok keagamaan yang dianggap sesat dn menyimpang dari Islam.[10] Tentu ini menjadi salah satu upaya untuk memberikan kejelasan atau keabsahan keyakinan teologis baru yang sedang terjadi.

 

Akibat Sosial Penistaan dan Penodaan Agama

Sepanjang Januari sampai Desember 2008, tercatat ada 1.136 insiden konflik dengan berbagai macam isu seperti politik (16%), etnis dan agama (2%), perebutan SDA (10%), perebutan sumber daya ekonomi (11%), penghakiman massa (30%), tawuran (21%), konflik antar aparat negara (1%), pengeroyokan (4%), dan kasus lain  sebesar 5% (ITP, Pebruari 2009). Bahkan, di tahun 2008 sudah ada 112 jiwa yang meninggal dan 1.736 orang yang menderita luka-luka akibat konflik di negara ini.

Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler yang tidak mengindahkan nilai agama dalam sistem pemerintahannya. Agama di Indonesia tidak sepenuhnya berada dalam ruang privat dari seseorang, namun agama juga tidak sepenuhnya berada pada ruang publik dimana keyakinan personal paling asasi dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh kepentingan umum.[11] Dalam kategori Dramaturgi Erving Goffman, keberagamaan juga memiliki dua ruang yang berbeda, antara yang ada pada front stage dan pada back stage.[12] Keyakinan atau kepercayaan terhadap sebuah agama menjadi relatif dalam penampilannya ketika berada pada dua ruang tersebut. Pada kondisi inilah kekuatan seseorang dalam menjaga fungsi salvation dari doktrin yang diyakininya menjadi rawan. Kerawanan ini sering kali terjadi pada ruang sosial yang berdampak tidak hanya individual, namun juga terjadi dan berlaku secara kolektif.

Secara umum, ada beberapa akibat dari penistaan atau penodaan terhadap agama atau aliran keyakinan. Pertama, potensi konflik masal. Di Indonesia, respon kaum beragama dalam menanggapi praktek keyakinan lain yang disebut pasal 165A KUHAP sebagai penodaan agama sangat variatif dan mengarah pada konflik.[13] Kerusuhan di Poso, Ambon, Mataram pada Januari 2000 dan Banjarmasin pada 1997 adalah bukti bahwa ketersinggungan dalam wadah imanensi dapat meletup dalam bentuk konflik.

Kedua, anarkhisme atas nama agama. Keyakinan atas kebenaran agama sebenarnya berada pada ruang sakral dalam diri tiap manusia. Namun ketika dimensi ini mengalami ketersinggungan karena faktor eksternal dari lingkungan atau kejadian diluar sakralitas tersebut, maka akan memungkinkan munculnya reaksi yang sangat luar biasa. Bahkan, dalam tingkat yang sangat ekstrim dapat mengarah pada anarkhisme, vandalisme, dan barbarisme.

Itu artinya, bangsa ini masih belum tuntas menjawab persoalan tentang bagaimana menyikapi the others dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa potensi untuk selalu curiga dan antipati pada kelompok yang berbeda, dapat dimanifestasikan dalam bentuk yang sangat ektrim dan kejam. Sepanjang tahun 2002-2009 sudah terjadi 12 ledakan bom dengan 262 korban meninggal dan 782 jiwa menderita luka-luka.[14] Termasuk aksi bom bunuh diri 17 Juli 2009 di hotel JW. Marriott dan Ritz Carlton juga dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk “penolakan” secara ekstrim terhadap the others.

Ketiga, hegemoni kekuasaan dan mayoritas. Ketika beberapa kelompok umat Islam menyerbu pemukiman Ahmadiyah pada tanggal 9 Juli 2005, dapat dilihat betapa hukum bahwa mayoritas berhak melakukan apapun, menjadi terbukti. Sekali lagi, hal ini diawali karena perasaan sebagai mayoritas yang berhak menentukan apapun juga, bahkan pada level keimanan sekalipun. Maka dalam konteks ini, tafsir “penistaan” atau “penodaan” memerlukan standar atau ukuran yang lebih jelas dan tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Asumsinya, persoalan salah, buruk, menodai dan menistakan itu tidak hanya dimiliki oleh yang minoritas, namun mayoritas juga berpotensi melakukannya. Dalam konteks inilah pemerintah layak memberikan standar atas beberapa persoalan tentang relasi keberagamaan agar tidak menimbulkan tafsir yang dimunculkan untuk menguntungkan pembuat tafsir itu sendiri.

Hal itu berlawanan dengan semangat multikulturalisme yang mengakui bahwa perbedaan kultur dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Perlu upaya bersama dalam rangka menemukan sikap kolektif yang ramah terhadap pluralitas dan multikulturalitas Indonesia, karena tiap ancaman dan determinasi terhadap keduanya adalah wujud penolakan terhadap kemerdekaan NKRI. Namun demikian, di dalam mengekpresikan pluralitas dan multikulturalitas tersebut juga harus selalu berada di dalam kerangka  keteraturan sosial yang berbasis pada peraturan perundang-undangan.

Tuntutan kebebasan beragama memang menjadi tren akhir-akhir ini seirama dengan tuntutan akan HAM dan kebebasan berekspresi termasuk kebebasan beragama. Para pengaju yudicial review beranggapan, bahwa Penetapan Presiden No 1 tahun 1965 tersebut bertentangan dengan UUD dan juga HAM. Menurutnya bahwa UUD 1945 pasal 28E sudah menetapkan bahwa setiap individu bebas untuk beragama dan mengamalkan ajaran agamanya.[15] Sehingga setiap orang bisa bebas beragama tanpa campur tangan negara atau lainnya. Di dalam hal ini, maka negara hanya berfungsi melindungi terhadap berbagai macam kehidupan warga negaranya. Jadi negara tidak boleh mencampuri terhadap keyakinan agama setiap warga negara.

Menurut para pengusul yudicial review bahwa di dalam Penetapan Presiden No1/1965 tersebut negara memberikan batasan terhadap keberagamaan warganya yang hanya mengakui beberapa agama saja, sehingga sejumlah agama lain yang diyakini oleh warga negara tidak masuk di dalamnya. Negara telah melakukan diskriminasi terhadap berbagai keyakinan yang terjadi di Indonesia. Bahkan  mereka juga berkeyakinan, bahwa kekerasan agama terjadi karena adanya Penetapan Presiden tersebut. Seandainya tidak ada hal itu, maka kehidupan beragama akan menjadi damai-damai saja.

Penpres itu sesungguhnya mengatur tentang penodaan agama dan penghinaan agama serta sebagaimana tercantum di dalam pasal-pasalnya bahwa jika ada kesengajaan orang atau warga negara yang melakukan penodaan agama secara umum, maka dia akan dikenai aturan tentang penodaan agama dengan hukuman yang jelas. Jadi substansinya bukan bebas atau tidak bebas beragama akan tetapi pada persoalan penodaan atau penghinaan agama.

Siapapun mengakui bahwa agama mengandung unsur keyakinan yang sangat mendasar. Ia mengandung sesuatu yang sangat sakral dan melibatkan seluruh emosi manusia yang sangat mendalam. Ia  adalah sesuatu yang ultimate concern. Keterlibatan terhadap sesuatu yang tidak terbatas, sehingga ketika persoalan agama ini dicederai atau dinodai, maka akan menyebabkan orang marah dan sangat mungkin menimbulkan konflik. Bukankah banyak konflik sosial bernuansa agama di Indonesia. Konflik sosial yang kemudian menjadi semakin mengeras sebab agama terlibat di dalamnya.

Pengalaman Poso dan Ambon, kiranya bisa menjadi modal yang sangat berharga tentang betapa rawannya persoalan etnisitas dan religiositas ini. Demikian pula kasus kerusuhan agama yang terjadi di Banjarmasin 1997,[16]  Kasus konflik etnis dan agama di Kalimantan Barat, tahun 1996,[17] Kerusuhan di Mataram 2000,[18] Kasus kerusuhan Kupang 1998.[19] dan sebagainya. Semua kasus ini memang melibatkan agama sebagai sarana penguat dalam kekerasan atau konflik yang terjadi. 

Kebebasan beragama dalam konteks membebaskan setiap warga negara secara libertarian (freedom to act) akan menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang disebabkan oleh   perasaan ”ternodai” oleh tindakan beragama yang menyimpang tersebut.  Bisa dibayangkan dengan tanpa pengaturan yang jelas, maka setiap orang bisa saja mengaku Nabi dengan mencederai agama yang dianut oleh keyakinan mayoritas. Dan keyakinan mayoritas itu telah diatur di alam Penetapan Presiden yang memang memberikan penetapan hanya enam agama saja yang dijadikan sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.[20]

Dengan demikian, kebebasan beragama adalah kebebasan yang harus dikaitkan dengan kebebasan orang lain atau dikaitkan dengan hak dan kewajiban dan  bukan kebebasan mutlak sebagaimana diinginkan oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, menjadi tugas kita bersama untuk memahami bahwa sebagai warga negara Indonesia, maka terdapat satu hal yang prinsip yaitu menjaga agar ketertiban sosial sebagai perwujudan dari kehidupan bersama yang aman dan damai dapat direalisasikan.

Wallahu a’lam bish  shawab.

 

 

 


[1] Rektor dan Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel

[2] Musdah Mulia, “Ada Apa Dengan Kebebasan Agama” dalam Kompas, 9 Pebruari 2010, hlm. 7

[3] Kompas, 10 Agustus 2009

[4] http://www.eramuslim.com/berita/nasional/menag-ri-keyakinan-ahmadiyah-terbukti-menyimpang-dari-islam.htm

[5] http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2007/11/07/brk,20071107-111010,id.html

[6]http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/2787/lia-eden-penghapusan-agama-bukan-penodaan-agama

[7] http://www.tvone.co.id/berita/view/27236/2009/11/10/muikudustemukanaliranmenyimpangdariislam/

[8] http://www.antara.co.id/berita/1252595933/mui-aliran-hakekok-menyimpang-dari-islam

[9] http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2009/10/29/salat-tidak-wajib-santriloka-supaya-ditutup

[10] http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2007/11/07/brk,20071107-111010,id.html

[11] Hal ini sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Jose Casanova dengan istilah “privat” dan “public” ketika menunjuk fenomena keberagamaan dari manusia di tengah modernitas. Lihat Jose Casanova, Public Religion in The Modern World, (Chicago: The University of Chicago Press, 1994).

[12] Front stage adalah situasi depan layar yang sengaja ditampilkan oleh seorang aktor di ruang publik. Pada ruang ini, seorang manusia akan menjalankan front personal dan setting yang dimilikinya dengan dukungan dari gaya dan penampilan yang diperankannya. Apa yang ditampilkan dalam front stage ini berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada back stage. Dramaturgi Goffman mengasumsikan bahwa dunia adalah panggung sandiwara, dimana tiap manusia adalah aktor yang memainkan peran masing-masing didalamnya. Ketika berinteraksi dengan orang lain (dalam istilah dramaturgis disebut aktor lain atau penonton), maka tiap aktor akan menampilkan peran sesuai front stage dengan sebaik-baiknya, walaupun seiring itu pula aktor akan menutup rapat dan menyembunyikan dimansi back stage yang dimilikinya.

[13] Periksa Muhaimin AG, Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003).

[14] Kompas, 12 Agustus 2009.

[15] Secara utuh, UUD 1945 dalam pasal 28E, ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut aamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2) menyatakan “Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

[16] Kerusuhan Banjarmasin sesungguhnya dipicu oleh persoalan politik tetapi bernuansa agama. Peristiwa ini dimulai waktu kampanye pemilu tahun 1997. arak-arakan Golkar dilaksanakan pada waktu hari Jum’at di mana orang Islam sedang melakukan shalat Jum’at. Ketika rombongan tersebut melewati masjid An Nur, maka kemarahan warga tidak dapoat ditahan sehingga terjadilah konflik yang keras. Periksa, Titik Suwariyati, “Konflik Sosial Bernuansa Agama di Berbagai Komunitas (Kasus Kerusuhan Sosial di Banjarmasin 1997) dalam Muhaimin AG, Konflik Sosial…, hlm. 12

[17] Dalam Kerusuhah Kalimantan Barat, sebenarnya dipicu oleh persoalan sosial yaitu bentrokan antar pribadi antara pemuda Dayak dan Madura, Namun  akhirnya menjadi bentrokan antar suku dan akhirnya menjadi konflik antar etnis yang melibatkan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas. Peristiwa ini menyebabkan kerusakan fisik dan juga trauma berkepanjangan dari mereka. Periksa, Umar Surur, “Konflik Sosial Bernuansa Sara Beragai Komunitas Etnik di Kalimantan Barat” dalam Muhaimin AG, Konflik Sosial…, hlm. 30

[18] Kerusuhan di Mataram dipicu oleh aksi solidaritas masyarakat terhadap peristiwa konflik di Maluku. Ketika mereka melakukan apel solidaritas, maka ketika mereka pulang kemudian melakukan penyerangan terhadap Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) kemudian peristiwa ini menyebabkan konflik antar agama di sini. Periksa  Bashori A. Hakim, “Kasus Kerusuhan di Mataram Januari 2000” dalam Muhaimin AG, Konflik Sosial…, hlm. 62

[19] Kronologi peristiwa kerusuhan di Kupang terjadi karena peserta upacara perkabungan umat Kristiani tanggal 30 Nopember 1998. peserta pawai ini kemudian melakukan pelemparan terhadap paa pedagang dan ketika sampai di depan masjid  mereka saling lempar sehingga terjadi kerusakan dan bahkan juga ada beberapa masjid yang dibakar. Akibatnya kemudian adalah terjadinya konflik yang tentu saja merugikan ke dua belah pihak. Periksa Ibnu Hasan Muchtar, ”Konflik-konflik Sosial bernuansa Agama Studi Kasus Kerusuhan Kupang Nusa Tenggara Timur 30 Nopember 1998 dalam AG. Muhaimin, Konflik Sosial…, hlm. 118

[20] Di dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/atau Penodaan Agama, dinyatakan: “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.  

Categories: Opini