• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEBEBASAN BERAGAMA

 Saya termasuk orang yang sesungguhnya tidak suka terhadap kekerasan, apakah kekerasan simbolik atau aktual. Bagi saya kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika orang merasa damai dalam berdampingan antara satu dengan lainnya. Bisa saling bertegur sapa, saling bercanda dan bermanfaat bagi satu dengan lainnya. Keindahan kehidupan terletak pada aplikasi konsep salam di dalam kehidupan ini. Makanya, Islam lalu menganjurkan agar kita membangun afsyus salam, saling menebar keselamatan. Menebar keselamatan itu indikatornya tidak sulit, yaitu ketika seseorang selamat dari ucapan dan tindakan kita. Ucapan kita menyelamatkan diri dan orang lain dan tindakan kita juga menyelamatkan diri  dan orang lain.

Akan tetapi, hal ini tentu bukan perkara gampang. Ada banyak variabel yang menyebabkan ucapan dan tindakan kita tidak menyelamatkan kita dan orang lain. Misalnya faktor kepentingan baik internal maupun eksternal. Dari aspek internal  bisa berupa keinginan untuk memperoleh ketenaran, keuntungan ekonomi, status sosial dan bahkan politis. Sedangkan dari faktor eksternal bisa berupa tekanan dari kelompok lain, atau kepentingan lain yang lebih luas.

Akhir-akhir ini, kita sedang diributkan oleh adanya tuntutan kebebasan beragama, sebagai perwujudan ekspresi Hak Asasi Manusia (HAM), UU dan peraturan lainnya. Tuntutan itu terkait dengan peninjauan materi (yudicial review) Penetapan Presiden, No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan dan Penghinaan Agama di Indonesia. Para  penggugat, antara lain: Setara, Imparsial, YLBHI, PBHI, Elsam, Desantara Foundation dan Demos kemudian Alm. KH. Abdurrahman Wahid, Siti Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.

Tuntutan kebebasan beragama memang menjadi tren akhir-akhir ini seirama dengan tuntutan akan HAM dan kebebasan berekspresi termasuk kebebasan beragama. Para pengaju yudicial review beranggapan, bahwa Penetapan Presiden No 1 tahun 1965 tersebut bertentangan dengan UUD dan juga HAM. Menurutnya bahwa UUD 1945 pasal 28E sudah menetapkan bahwa setiap individu bebas untuk beragama dan mengamalkan ajaran agamanya. Sehingga setiap orang bisa bebas beragama tanpa campur tangan negara atau lainnya. Di dalam hal ini, maka negara hanya berfungsi melindungi terhadap berbagai macam kehidupan warga negaranya. Jadi negara tidak boleh mencampuri terhadap keyakinan agama setiap warga negara.

Menurut para pengusul yudicial review bahwa di dalam Penetapan Presiden No1/1965 tersebut negara memberikan batasan terhadap keberagamaan warganya yang hanya mengakui beberapa agama saja, sehingga sejumlah agama lain yang diyakini oleh warga negara tidak masuk di dalamnya. Negara telah melakukan diskriminasi terhadap berbagai keyakinan yang terjadi di Indonesia. Bahkan  mereka juga berkeyakinan, bahwa kekerasan agama terjadi karena adanya Penetapan Presiden tersebut. Seandainya tidak ada hal itu, maka kehidupan beragama akan menjadi damai-damai saja.

Penpres itu sesungguhnya mengatur tentang penodaan agama dan penghinaan agama serta sebagaimana tercantum di dalam pasal-pasalnya bahwa jika ada kesengajaan orang atau warga negara yang melakukan penodaan agama secara umum, maka dia akan dikenai aturan tentang penodaan agama dengan hukuman yang jelas. Jadi substansinya bukan bebas atau tidak bebas beragama akan tetapi pada persoalan penodaan atau penghinaan agama.

Siapapun mengakui bahwa agama mengandung unsur keyakinan yang sangat mendasar. Ia mengandung sesuatu yang sangat sakral dan melibatkan seluruh emosi manusia yang sangat mendalam. Ia  adalah sesuatu yang ultimate concern. Keterlibatan terhadap sesuatu yang tidak terbatas, sehingga ketika persoalan agama ini dicederai atau dinodai, maka akan menyebabkan orang marah dan sangat mungkin menimbulkan konflik.

Bukankah banyak konflik sosial bernuansa agama di Indonesia. Konflik sosial yang kemudian menjadi semakin mengeras sebab agama terlibat di dalamnya.

Pengalaman Poso dan Ambon, kiranya bisa menjadi modal yang sangat berharga tentang betapa rawannya persoalan etnisitas dan religiositas ini. Demikian pula kasus kerusuhan agama yang terjadi di Banjarmasin 1997, Kasus konflik etnis dan agama di Kalimantan Barat, kerusuhan di Mataram 2000, Kasus kerusuhan Kupang 1998, Kasus Lampung dan Kasus bernuanasa Sara di Palangkaraya  dan sebagainya. Semua kasus ini memang melibatkan agama sebagai sarana penguat dalam kekerasan atau konflik yang terjadi.  

Kebebasan beragama dalam konteks membebaskan setiap warga negara secara libertarian akan menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang disebabkan oleh   perasaan ”ternodai” oleh tindakan beragama yang menyimpang dari koridor agama yang dianggap benar oleh arus utama. Bisa dibayangkan dengan tanpa pengaturan yang jelas, maka setiap orang bisa saja mengaku Nabi dengan mencederai agama yang dianut oleh keyakinan mayoritas. Dan keyakinan mayoritas itu telah diatur di alam Penetapan Presiden yang memang memberikan penetapan hanya enam agama saja yang dijadikan sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, kebebasan beragama adalah kebebasan yang harus dikaitkan dengan kebebasan orang lain atau dikaitkan dengan hak dan kewajiban dan  bukan kebebasan mutlak sebagaimana diinginkan oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, menjadi tugas kita bersama untuk memahami bahwa sebagai warga negara Indonesia, maka terdapat satu hal yang prinsip yaitu menjaga agar ketertiban sosial sebagai perwujudan dari kehidupan bersama yang aman dan damai dapat direalisasikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini