DAMPAK SOSIAL KEBEBASAN AGAMA
Saya sebenarnya termasuk orang yang menyukai kata kebebasan. Sebab kata ini memang layak disukai oleh siapapun. Jika ingin maju, maka kebebasan adalah kata kuncinya. Kebebasan merupakan bagian dari kemoderenan. Dan kemoderenan identik dengan kemajuan. Jadi kalau kamu maju maka harus dimulai dengan kebebasan. Begitulah logika kebebasan itu dikembangkan. Tetapi kita juga bisa bertanya, dengan pertanyaan sederhana, bagaimana yang namanya kebebasan itu, atau dengan pertanyaan yang agak tinggi sedikit, yaitu: ”apa kebebasan itu mutlak tanpa pembatasan ataukah kebebasan itu terkait dengan pembatasan-pembatasan”. Memang agak rumit juga membahas kebebasan itu, sebab setiap orang memang bisa menafsirkan kebebasan itu.
Tetapi yang jelas memang ada beberapa teori tentang kebebasan. Pertama, teori tentang kebebasan yang dikonstruksikan oleh kaum liberalis, bahwa ada kebebasan mutlak tanpa pembatasan apapun. Kedua, kebebasan menurut kaum otoriter, bahwa tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah pembatasan. Ketiga, kelompok tanggungjawab sosial yaitu yang menganggap bahwa kebebasan hanya terjadi dalam kenyataan adanya tanggungjawab sosial.
Sebagai bangsa yang mengembangkan falsafah kehidupan yang menjunjung tinggi keteraturan sosial berdasar atas falsafah Pancasila, maka tentu saja kita akan menjadikan kebebasan berbasis tanggungjawab sosial sebagai intik dari kebebasan yang kita kembangkan. Tidak mungkin kita akan mengembangkan kebebasan dalam konsepsi kaum libertarian. Kebebasan tanpa batas, kebebasan yang tidak ada batasannya. Orang bebas melakukan apa saja tanpa mengindahkan hak orang lain. Kita juga tidak cocok menggunakan model kaum otoritarian yang beranggapan bahwa tidak ada kebebasan semuanya diatur dan dikendalikan.
Kita akan memilih kebebasan yang memiliki konsekuensi mempertimbangkan hak dan kewajiban lainnya. Suatu contoh kita mungkin bisa saja menganggap bahwa melalui konsep kebebasan lalu kita bisa berbuat apa saja, tetapi di sisi lain juga ada kewajiban kita untuk hak orang lain. Jadi hak dan kewajiban adalah seperti dua sisi mata uang. Di sisi satunya ada kebebasan tetapi di sisi lain ada kewajiban yang melekat padanya. Saya bisa saja atas dasar kebebasan lalu kita memutar musik keras-keras di rumah saya sehigga suara musik itu bisa terdengar di rumah orang lain. Namun demikian juga orang ain memiliki hak untuk istirahat dan berada dalam suasana keheningan.Makanya, saya juga harus memiliki kewajiban untuk menjaga agar hak orang lain tidak terganggu atas pemenuhan hak saya sendiri.
Di Australia beberapa saat yang lalu ada sebuah kejadian yang kiranya lucu. Yaitu seseorang melaporkan tetangganya karena terganggu oleh lenguhan yang bersangkutan ketika melakukan persebadanan. Pelapor tersebut merasa terganggu karena kegiatan itu dilakukan ketika dia harus istirahat. Melakukan persebadanan adalah hak seseorang akan tetapi ketika pemuhan hak tersebut mengganggu orang lain, maka akan menimbulkan masalah. Jadi, pemenuhan hak juga harus mempertimbangkan hak orang lain. Tidak ada kebebasan mutlak dalam pemenuhan hak terkecuali harus bersentuhan dengan dengan hak dan kewajiban secara simultan.
Bagaimana dengan kebebasan beragama? Apakah seseorang bisa bebas begitu saja untuk melakukan tindakan sesuai dengan keyakinan agamanya atau tetap bahwa kebebasan itu terkait dengan tanggungjawab sosial yang diembannya. Menurut saya bahwa orang memang bebas untuk melakukan berbagai tindakan agamanya akan tetapi harus tetap berada di dalam koridor aturan perundang-undangan yang berlaku. Di negara yang menganut sistem kebebasan berbasis pada pertanggungjawaban sosial maka pasti akan melakukan suatu tindakan yang tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Di negara kita, kebebasan beragama memang dijamin oleh undang-undang Dasar. Siapapun memiliki kebebasan untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya. Siapapun berhak untuk meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya. Akan tetapi yang jelas bahwa di dalam meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya tersebut yang bersangkutan harus dapat menjaga keteraturan sosial yang memang menjadi tanggungjawabnya. Seseorang yang meyakini dan mengamalkan ajaran agamanya akan tetapi menodai dan menghina agama yang diyakini oleh orang lain berarti telah melaksanakan perbuatan yang tidak baik kepada lainnya.
Satu contoh orang menista ajaran agama Islam dan pelakunya adalah orang Indonesia, apakah perbuatannya itu bisa dikategorikan sebagai berdalih karena kebebasan beragama lalu orang bisa berbuat seenaknya. Tentunya tidak. Makanya kebebasan beragama tentunya harus tetap berada di dalam koridor peraturan perundang-undangan. Penodaan dan penistaan agama tentu tidak bisa dibiarkan sebab akan bisa mengganggu terhadap keteraturan sosial.
Satu contoh bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi pengakuan bahwa seseorang menjadi nabi atau rasul. Menurut catatan terdapat banyak nabi baru yang muncul, seperti Lia Aminddin, Djanewar seorang kepala Sekolah Dasar Negeri BTN Lintas Asri Kecamatan Bungodani Jambi, kemudian Edi Ridwan dkk yang menyebarkan Islam Model Baru, Amaq Bakri di Nusa tenggara Barat yang mengaku sebagai Nabi setelah Nabi Muhammad dan juga melakukan mi’raj, selain itu juga mengaku bahwa AlQur’an hanyalah buatan para ulama sebab Al Qur’an ada di dalam diri masing-masing orang. Di Samarinda, Gina Jibril juga diusir oleh warga setempat –Solong Durian, Sempaja Utara Samarinda—karena dia pernah mengalami mati suri selama tiga hari dan bertemu sejumlah malaikat dan nabi termasuk Nabi Muhammad, dan dia diutus untuk menjaga keharmonisan agama Islam. di Kudus juga dijumpai aliran yang mengubah sahadat dengan bacaan ”Asyahadu anna Sabda kusuma Rasulullah”. Demikian pula di Banten terdapat aliran Hakikok juga terdapat ajaran yang menyimpang terhadap ajaran Islam. di dalam aliran ini, maka orang bebas untuk melakukan persetubuhan meskipun bukan suami isteri.
Banyaknya aliran ini mengindikasikan bahwa ”penyimpangan” ajaran agama sangat semarak dilakukan di Indonesia. Di tengah adanya aturan yang mengatur penodaan agama tersebut terjadi sekian banyak penodaan agama, maka seandainya tidak terdapat aturan tersebut maka pastilah bahwa akan muncul sejumlah aliran-aliran baru yang tentu akan menyebabkan ketidakteraturan sosial.
Jika kita ingin memastikan adanya keteraturan sosial, maka sudah selayaknya jika kita semua menegakkan aturan tersebut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Wallahu a’lam bi al shawab.
