TMII DALAM KUBANGAN KEBIJAKAN POLITIK
Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan lambang kekuasaan Orde Baru. TMII adalah simbol penguasaan budaya oleh pemerintah kala itu. Sebagai prestise pemerintah maka segala upaya dilakukan untuk mendukung pengembangan TMII sebagai miniatur Indonesia.
Saya sempat ke TMII kira-kira 18 tahun yang lalu. Yaitu ketika mengikuti Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) yang diselenggarakan oleh Balitbang Agama bekerjasama dengan Toyota Foundation. Pelatihan penelitian ini dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Guru Besar Antropologi UI. Ketika itu Orde Baru masih sangat berkuasa dan TMII menjadi salah satu ikon pemerintah dalam menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya: bisnis, pemerintahan dan juga hiburan. Rekreasi ke Jakarta tidak lengkap jika tidak berkunjung ke TMII.
Sebagai proyek prestisius yang digagas oleh ibu negara, maka TMII benar-benar menjadi fokus perhatian. TMII adalah miniaturnya Indonesia. Puncak-puncak budaya propinsi ada disitu. Dengan berkunjung ke TMII maka lengkap rasanya berkunjung ke seluruh Indonesia. Perhatian pemerintah pusat dan pemerintah propinsipun sangat besar. Bahkan anggaranpun dikucurkan dengan cukup memadai.
Sabtu, 18 Juli 2009 saya diundang Pak Menteri Agama, Dr. H. Muhammad M. Basyuni dalam acara pernikahan puteranya di Gedung Sasono Utomo Kompleks TMII. Acara itu dilaksanakan Sabtu malam. Dalam benak saya di situ akan terdapat keramaian yang lazim bagi sebuah tempat rekreasi. Tetapi gambaran itu ternyata tidak terjadi. TMII ternyata sepi. Bahkan gemerlap lampu sebagai pertanda sebuah tempat hiburan pun tidak tampak.
TMII adalah ikon budaya yang menyajikan miniatur Indonesia. Mulai Aceh sampai Papua tersaji dalam ragam budaya yang unik dan menarik. Bagi yang tidak kesampaian menjelajah seluruh propinsi di Nusantara, maka menjelajah TMII sudah merasakan aroma Nusantara itu.
Melihat perkembangan TMII sekarang rasanya ada sesuatu yang hilang. Roh Indonesia yang tersimpan di dalam miniatur TMII itu sudar pudar. Saya lalu berpikir apakah pudarnya TMII itu merupakan gambaran pudarnya Indonesia kita. Orang, komunitas, masyarakat tidak perduli lagi terhadap karya bangsa sendiri. Bagaimanapun TMII adalah karya adiluhung bangsa ini. Karya monumental tentang khasanah budaya Indonesia.
Ya, apakah ini gambaran tentang kemampuan kita membangun tanpa kesadaran merawat dan mengagungkannya. Memang TMII adalah karya Orde Baru. Namun demikian tidak berarti bahwa semua yang berbau dan produk Orde Baru lantas kita buang, kita telantarkan.
Oleh karena itu pantas kita merenung ulang masa depan TMII. Kita mesti membuat kebijakan untuk peduli terhadap semua karya monumental bangsa dari siapapun produk tersebut berasal. Karya monumental bangsa tidak mengenal diskriminasi, etnisitas dan politik. Karya budaya semestinya netral etnis, agama dan politis.
Tentu ada problem apakah TMII akan dijadikan sebagai aset budaya atau aset ekonomi. Pilihannya tentu keduanya. Jika seperti itu maka harus dicari solusi manajerial di dalam pengelolaannya, menjadikan aset budaya dan ekonomi sekaligus. Bukankah sudah banyak contoh bagaimana mengelola dan mengembangkan bisnis pelesiran di negeri ini selain memanfaatkannya untuk menjadi aset budaya.
Kita masih berharap bahwa TMII akan menjadi tempat rekreasi dan belajar budaya Nusantara terutama bagi anak dan generasi muda kita. Saya yakin bahwa tujuan semula didirikannya adalah mengandung maksud sebagai tempat belajar bagi masyarakat Indonesia tentang kekayaan, keragaman dan aneka budaya kita. Dan dari situ akan muncul rasa cinta kepada negara dan bangsa sendiri.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
