• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGAPA ISLAMIC STUDIES MULTIDISIPLINER?

 Membangun Ilmu Keislaman Multidisipliner adalah tugas semua insan akademis di Institusi Pendidikan Tinggi Islam. Dosen, mahasiswa dan semua elemen di lembaga pendidikan Islam ini harus memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan ilmu keislaman multidisipliner. Sebagaimana yang sering saya ungkapkan bahwa bangunan ilmu keislaman multidisipliner adalah ilmu pengetahuan keislaman yang saling menyapa antara ilmu keislaman dengan ilmu sosial, humaniora dan sains. Kita tentu saja akan mengapresiasi para ilmuwan sebagaimana yang diceritakan oleh  ahli sains, J. Haught, yang pernah menyatakan bahwa ada beberapa tipe pandangan para ahli tentang relasi agama dan sains yang berparadigma konfirmatif,  yaitu relasi saling membutuhkan antara agama dan sains, ada ranah-ranah masing-masing yang saling melengkapi., dan tidak mengikuti paradigma kritis dan konflik, yaitu mereka yang  menolak relasi antara agama dan sains, yang masing-masing memiliki ranahnya sendiri-sendiri dan tidak saling menyapa atau  kemudian paradigma relasi kritis, artinya bahwa relasi antara agama dan sains tersebut saling mengkritisi, sains mengkritisi agama dan sebaliknya.

Kita tentu bersepakat dengan tipologi konfirmatif, yaitu relasi antara sains dan agama adalah memiliki wilayah yang berbeda tetapi bukan berarti tidak saling membutuhkan. Ada wilayah yang memang sains tidak bisa memasukinya, dan yang mampu memasukinya hanyalah agama dan ada wilayah yang memang menjadi wilayah sains dan agama tidak mampu menjelaskannya. Tetapi keduanya memiliki relasi yang kuat di dalam kehidupan ini. Orang membutuhkan agama sebagai pedoman untuk meraih kehidupan pada moment the day after yang tidak bisa dijelaskan oleh sains, dan orang membutuhkan kehidupan duniawi yang membutuhkan  penjelasan positivistik yang memang dapat dijelaskan oleh sains. Dengan demikian, maka wilayah bertemunya agama dan sains adalah di dalam kehidupan manusia yang memang membutuhkan keduanya.

Sesungguhnya, sesuai dengan perkembangan kemampuan manusia dalam memahami dunia sains dan agama, maka semula para ahli menolak penjelasan tentang keyakinan, kepercayaan, akhirat dan sebagainya. Akan tetapi melalui kemampuan manusia untuk melakukan pengelanaan ilmiahnya, maka penjelasan tentang keyakinan, kepercayaan dan akhirat ternyata bisa dijelaskan melalui suatu disiplin misalnya fenomenologi yang bercorak meta empirik. Positivisme sebagai aliran pemikiran, memang tidak mampu menjangkau terhadap dunia keyakinan yang berada dibalik pemikiran manusia. Penjelasan fenomenologis bersifat empiris transendental. Ada di dalam dunia kehidupan manusia sehari-hari tetapi tidak bisa ditangkap melalui penginderaan. Ia bersifat meta empiris atau lebih tegas empiris-transendental.

Melalui konsepsi ini, maka dunia keyakinan yang semula tidak mampu dijelaskan, maka kemudian mampu dipahami. Maka muncullah ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk memahami relasi antara keyakinan dan ilmu pengetahuan. Kemudian muncullah fenomenologi agama, sosiologi agama, antropologi agama dan sebagainya. Ilmu ini mencoba untuk memahami dunia keyakinan, kepercayaan, Tuhan, akhirat dan sebagainya yang bisa dijelaskan dari perspektif ilmu sosial dan humaniora. Jadi,  ilmu pengetahuan kemudian bisa digunakan untuk memahami dunia keyakinan tersebut.

Di dalam jagat pembidangan ilmu pengetahuan, kemudian juga dikenal ada pemilahan yang sangat ketat tentang ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Siapa yang melakukan pembagian ini tentu tidak terlalu penting dibicarakan. Namun yang jelas kemudian pembagian ini menyelimuti seluruh mindset para akademisi dan intelektual di seluruh dunia. Sehingga kemudian juga mempengaruhi terhadap pembagian lembaga atau institusi yang mengembangkan pembidangan ilmu tersebut. Ada institusi pendidikan umum yang mengembangkan ilmu pengetahuan umum dan ada institusi pendidikan agama yang mengembangkan ilmu-ilmu agama.

Di tengah nuansa rigiditas pembidangan ilmu tersebut, maka kemudian terdengar nyaring keinginan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang saling menyapa. Ilmu agama dan ilmu umum yang saling menyapa. Dan inilah yang disebut sebagai ilmu Keislaman Multidisipliner. Keilmuan yang bercorak seperti ini dianggap penting bagi UIN atau IAIN yang memiliki program ilmu-ilmu umum dan agama.

Melalui pengkajian ilmu-ilmu keislaman yang multidisipliner tersebut, maka upaya yang telah digagas oleh Ismail Raqi al Faruqi melalui bagan konseptual Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan juga Kuntowijoyo melalui ilmu-ilmu profetik akan bisa dilakukan secara lebih memadai.

Hanya persoalannya adalah bagaimana komitmen semua insan akademis untuk melakukan pengkajian tersebut dan yang bersangkutan memperoleh tempat yang cocok untuk persemaiannya. Jadi,  sense of commitmen untuk melakukan pengkajian ini akan menjadi prasyarat bagi pengembangan ilmu keislaman multidispliner yang akan  menjadi corak khas dari pengembangan institusi pendidikan tinggi Islam di masa yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini