MENJAGA KEBAHAGIAAN ARWAH LELUHUR
MENJAGA KEBAHAGIAAN ARWAH LELUHUR
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Menjelang akhir tahun 2025, saya dan keluarga memang sengaja hadir di tempat kelahiran saya di Dusun Semampir, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak Tuban. Dan sebagaimana biasa pada Kamis Malam atau disebut sebagai Malam Jum’at diselenggarakan acara tahlilan dan yasinan yang dilakukan oleh para Ibu anggota Jam’iyah Tahlil dan Yasin di Masjid Raudhatul Jannah, 25/12/25. Sebuah tempat ibadah di depan rumah yang tanahnya adalah tanah wakaf. Demikian pula bangunan masjidnya.
Kepulangan saya ke Tuban bersama keluarga itu disambut kemacetan yang luar biasa. Bisa dibayangkan bagaimana perjalanan dari Surabaya ke Tuban itu terjadi selama enam jam. Pukul 16.00 WIB dari Universitas Airlangga dan sampai di rumah pada pukul 22.00 WIB. Perjalanan terpanjang durasi waktunya dari Surabaya ke Tuban. Untunglah tiga anak Sekolah Dasar, Vika, Arfa dan Echa, yang bersama saya tersebut dapat bergurau sepanjang perjalanan. Jadi mereka tidak merasa capek di dalam perjalanan panjang yang tidak biasanya itu. Kemacetan di Dupak menjelang masuk jalan Tol sampai keluar Tol Surabaya-Bunder sungguh luar biasa, dan ditambah dengan kemacetan di Lamongan. Komplit kemacetannya. Tetapi tetap saja ada kegembiraan di kala sampai rumah.
Sebagaimana biasanya, jika saya pulang ke rumah dan ada kegiatan keagamaan, maka saya didapuk menjadi penceramah. Karena di dalam nuansa acara tahlilan dan yasinan, maka saya sampaikan ceramah terkait dengan Upaya untuk membahagiakan leluhur kita, terutama keluarga yang sudah wafat. Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam moment berceramah kepada para Ibu anggota Jam’iyah Tahlil, yaitu:
Pertama, melahirkan rasa Syukur kepada Allah, karena hingga hari ini kita semua masih bisa merawat Jam’iyah Yasinan dan Tahlilan yang sudah berdiri semenjak tahun 1990-an. Jarang ada Jam’iyah atau organisasi informal seperti Jam’iyah Tahlil dan Yasin yang bertahan sedemikian lama. Tanpa jeda, tanpa berhenti dalam waktu yang sedemikian panjang. Hujan atau tidak, sama sekali tidak menjadi penghalang untuk melakukannya.
Saya berkeyakinan bahwa Allah dipastikan meridlai atas penyelenggaraan tahlilan dan yasinan yang kita lakukan. Oleh karena itu pantaslah kita bersyukur kepada Allah karena memiliki medium untuk dapat bersilaturahmi, membaca Fatihah, Yasin dan tahlil untuk keluarga kita khususnya yang sudah wafat. Mari kita meyakini bahwa Allah akan menerima bacaan-bacaan kita dan akan menyampaikannya kepada keluarga kita yang sudah meninggal.
Kedua, yang mendasar lagi adalah kita mendapatkan hidayah dengan tidak usah mencari-cari. Kita bisa menjadi umat Islam tanpa harus bersusah payah sebagaimana orang lain. Ada orang yang mencari hidayah Allah tetapi tidak mendapatkan dan bahkan menjadi lebih kafir. Menjadi atheis atau orang yang tidak percaya Tuhan.
Kita tanpa mencari dan langsung bertemu dengan hidayah Allah. Sungguh hal ini merupakan kebahagiaan yang sangat besar. Allah memberikan iman kepada kita karena factor keluarga dan lingkungan kita. Sedari kecil kita sudah meyakini akan adanya Allah dan semua rukun iman lainnya. Makanya, semenjak kecil kita sudah mengaji atau belajar Alqur’an. Kita sudah melakukan shalat, ikut puasa dan mengeluarkan zakat bagi yang memilki kekayaan.
Pengalaman kita di masa lalu, masa remaja, tentang keberagamaan merupakan contoh bagaimana kita telah mendapatkan hidayah di masa itu. Bisa dibayangkan ada orang yang sudah dewasa baru mendapatkan hidayah Allah, bahkan sampai mati tidak mendapatkan hidayah. Hal ini yang membuat kita harus bersyukur dengan lisan, dengan hati dan dengan amalan kita. Betapa Allah itu menyayangi kita semua.
Ketiga, kita dapat merawat kebahagiaan leluhur kita. Rasa syukur terkait dengan kemampuan kita untuk mengirimkan doa kepada para leluhur yang sudah wafat. Setiap malam Jum’at kita kirimi bacaan Yasin dan Tahlil dan doa-doa untuk keselamatan leluhur di alam kubur. Subhanallah. Betapa gembiranya, di kala semua bacaan kita tersebut diterimanya. Yakinilah bahwa doa, bacaan tahlil, bacaan yasin dan apa saja kalimat kebaikan atau kalimat thayyibah yang kita baca tersebut akan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Kita yang membaca mendapatkan pahala, dan semua orang yang dikiriminya akan mendapatkan kebaikan yang kita kirimkan.
Jika seseorang sudah mati, maka yang diharapkannya adalah kiriman doa dan bacaan Alqur’an yang ditujukan kepadanya. Terutama bacaan doa dan bacaan Alqur’an dari anak cucunya. Anak sholeh yang bisa membacakan doa dan bacaan Alqur’an dijamin oleh Allah akan disampaikan pahalanya. Demikian pula orang yang ikut mendoakannya. Yang penting jangan ada keraguan tentang sampai atau tidaknya doa yang dilantunkan oleh umat Islam.
Di dalam doa yang kita lantunkan kepada Allah berbunyi: “rabbana atina fiddunya hasanah wal akhirati hasanah”. Doa yang dinukil dari Alqur’an ini menyatakan dengan kata “kami” atau “kita” dan bukan hanya “aku”. Kebanyakan doa tersebut dibaca untuk kita bukan untuk aku. Makanya, Islam itu mengajarkan “kekitaan” dan bukan “keakuan”. Diri kita harus dilebur dengan diri orang lain, atau menjadi kita.
Kata “kita” tidak hanya untuk yang mati akan tetapi juga untuk yang hidup. Jika kita membaca doa biasanya ada tambahan kata: “rabbigh firli wali jami’il muslimin wal muslimat wal mu’minin wal mu’minat al ahyai minhum wal amwat”. Yang artinya: “Ya Allah ampunilah kesalahanku dan para jamaah kaum Muslimin dan muslimat, jamaah mu’minin dan mu’minat yang hidup maupun yang mati”.
Alangkah indahnya doa yang diajarkan oleh Islam, agama yang menyanyangi sesama umat Islam, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Lantunan doa yang harus diyakini akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.
