• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ANTARA DOSA SPIRITUAL DAN DOSA SOSIAL

ANTARA DOSA SPIRITUAL DAN DOSA SOSIAL

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Saya terasa lama tidak mengikuti acara Ngaji Bahagia, yang bisa diselenggarakan pada hari Selasa ba’da Shubuh berjamaah. Kalau tidak salah selama tiga kali. Dan selama itu pula yang menjadi penceramah adalah Ustadz Dr. Cholil Uman, MPdI. Untunglah Pak Cholil, begitu saya memanggilnya,  seorang da’i yang ringan tangan, sehingga jika saya tidak bisa hadir, maka Pak Cholil yang menggantikannya. Bukan badal atau pengganti akan tetapi penceramah aslinya. Begitulah Pak Cholil, seseorang yang Ikhlas di dalam melakukan sesuatu, apalagi ceramah agama.

Hari Senin, 15/12/2025, saya dapat mengikuti acara tahsinan yang diselenggarakan di dalam jamaah atau Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), yang ketepatan melakukan tahsinan pada ayat-ayat terakhir Surat An Najm. Ayat yang menjelaskan tentang balasan atas tindakan seseorang di dunia.  Allah akan membalas tindakan yang baik dengan balasan surga dan orang melakukan tindakan kesalahan maka akan diganjar dengan neraka. Dan sebagaimana biasanya, maka saya menyampaikan sedikit uraian tentang perbuatan yang akan mendapatkan balasan di akherat, yaitu dosa yang dilakukan oleh manusia.

Pertama, dosa kepada Tuhan. Dosa adalah perbuatan yang yang dilakukan oleh manusia karena menyalahi hukum-hukum Tuhan. Di antara dosa tersebut adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Misalnya mencuri, merampok, menodong, menjambret, dan yang lebih besar adalah melakukan korupsi. Termasuk juga menebang pohon, melakukan deforestasi, pembalakan liar dan perusakan hutan terstruktur melalui kebijakan.

Kita melihat tindakan koruptif sedemikian massif dan besar. Dilakukan dengan cara-cara yang sistematis dan berjamaah. Korupsi dalam jumlah besar yang melibatkan berbagai actor dari dalam pemerintahan, bisa dari legislatif, eksekutif, dan juga yudikatif. Banyak anggota DPR/DPRD yang terlibat korupsi, banyak bupati dan pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi, banyak hakim dan jaksa yang melakukan korupsi. Banyak juga pengusaha yang terlibat korupsi. Mereka tidak melakukannya secara individual akan tetapi secara berjamaah. Dilakukannya bahkan berlindung di atas regulasi yang memang diberikan celah untuk melakukan tindakan koruptif.

Sungguh korupsi disebut sebagai kejahatan extra ordinary. Daya rusaknya sangat luar biasa. Bisa dibayangkan jika yang dikorupsi adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan kebutuhan fisik lainnya, maka akan menyebabkan kualitas infrastruktur tersebut akan berkurang kualitasnya. Infrastruktur yang seharusnya tahan kekuatannya selama 100 tahun akan bisa hanya 50 tahun bahkan kurang. Kualitas bangunan yang sesungguhnya memiliki standar yang kuat, akan tetapi dikurangi standarnya sehingga tidak kuat.

Jika korupsi itu menyangkut hajad hidup orang banyak misalnya alokasi anggaran bantuan untuk rakyat miskin, maka sungguh kesalahannya bertubi-tubi. Bantuan pendidikan, bantuan kesehatan, bantuan social dan bantuan untuk rekonstruksi pemukiman, maka yang dirugikan juga sangatlah banyak. Masyarakat yang seharusnya menerima manfaat bantuan tersebut menjadi  tidak merasakannya. Sungguh korupsi sudah mewarnai kehidupan para penyelenggara negara, pihak  pengusaha dan juga para elit masyarakat. Korupsi sudah menjadi penyakit social yang menembus jantung kehidupan masyarakat Indonesia.

Korupsi pengelolaan Batubara, dengan tingkat kerusakan lingkungan yang sangat besar sungguh telah merusak ecosystem lingkungan luar biasa. Banjir di beberapa wilayah di Padang, Sumatera Utara dan Aceh yang membuat meninggalnya warga negara sebanyak 1003 orang dan melukai dan merusak infrastruktur perumahan dan fasilitas umum merupakan contoh betapa daya rusak penyimpangan perilaku manusia atas kehidupan social.

Kedua, Dari perilaku manusia seperti ini yang memproduk wacana dosa social. Yaitu dosa yang mengakibatkan masalah di hadapan masyarakat. Mereka yang melakukannya dianggap memiliki dosa yang tidak hanya bermakna ketuhanan atau dosa spiritual, akan tetapi juga dosa social. Dosa social itu dosa di dalam pandangan masyarakat karena melakukan perbuatan yang melanggar norma social. Dosa yang dihasilkan dari ketidakjujuran, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan kebijakan dan sebagainya. Dosa ini berakibat atas pandangan minir atas seseorang yang melakukannya.

Tetapi Masyarakat Indonesia  memiliki daya toleransi yang luar biasa. Sebuah toleransi yang saya kira tidak pada tempatnya. Memaafkan atas kesalahan social bukan kesalahan individu tentu merupakan tindakan yang tidak relevan untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Memaafkan secara individu memang diajarkan oleh Islam. Agama Islam sangat menjunjung tinggi atas dosa individu, misalnya dosa yang dilakukan dalam kepentingan privat, akan tetapi memberikan kelonggaran atas dosa social tentu merupakan tindakan yang kurang bijak.

Saya terkadang berpikir, mengapa masyarakat di wilayah Scandinavia itu sangat jujur dan terpercaya padahal mereka orang yang tidak percaya kepada Tuhan atau atheis. Maka jawabannya bahwa mereka takut atas dosa social. Mereka tidak berurusan dengan apakah yan dilakukannya itu dosa individual kepada Tuhan, akan tetapi mereka sungguh takut akan dosa social dimaksud. Dengan takut atas kesalahan yang dilakukan kepada masyarakat, maka mereka menjadi jujur, amanah dan tidak melakukan penyimpangan yang berdampak negative atas masyarakat. Dengan kata lain, dosa di hadapan Tuhan itu tidak nyata tetapi dosa di hadapan masyarakat itu nyata.

Mungkin saja hal ini merupakan penafsiran yang salah, akan tetapi Masyarakat Indonesia yang dikenal sangat religious, akan tetapi melakukan banyak penyimpangan merupakan aib yang sangat besar. Seharusnya antara keimanan, kejujuran dan keterpercayaan merupakan suatu hal yang asimetris, bukan simetris. Masyarakat Indonesia melihat keyakinan kepada Tuhan dan melakukan tindakan menyimpang itu dua sisi yang berbeda tempatnya. Yakin kepada Tuhan benar, tetapi melakukan penyimpangan social adalah masalah lain. Keduanya bisa saja tidak bertemu.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..